ayah
Begitu ayah masuk, mata kita bertemu. Saat itu juga gue bangun dari duduk gue dan langsung menangis di pelukan ayah. Gue sedang berada pada titik terendah dalam hidup gue (lagi). Setelah masalah lomba paskib yang nggak berjalan dengan lancar dan juga tentunya soal gue sama Raka yang belakangan jadi makin merenggang. Gue udah nggak bisa nahan semua beban di pundak gue malam itu.
Selama beberapa detik, ayah nggak ngomong apa-apa, nggak nanya juga gue kenapa. Dibiarkannya gue menangis di pelukannya, luluh sudah semua tangis gue.
Ayah menenangkan gue, tangannya terus-terusan mengelus surai yang yang berantakan itu, dirapihkannya.
“Sudah tenang, kak?” Ditanyanya waktu gue udah berhenti menangis.
”...” Gue cuma menangguk dan melepas pelukannya, menghapus air mata.
“Kakak kenapa? Sama Raka?”
Saat ditanya kaya gitu gue mulai sedih lagi, mendengar nama Raka di ucapkan, semua ingatan tentangnya muncul lagi.
“Mau cerita sama ayah?” Gue mengangguk.
Akhirnya gue ceritakan semua keluh kesah gue soal Raka ke ayah, gue ceritakan semua tentang rasa sedih gue setelah tahu kalo belakangan ini Raka jadi lebih deket (lagi) sama mantannya, dan juga tentang gue yang sebenernya nggak punya kejelasan hubungan sama Raka.
“Yah, Jani sayang sama Kak Raka, bener-bener nggak mau kehilangan Kak Raka. Selama ini, semenjak kenal Kak Raka, hidup Jani jadi lebih berwarna, setiap Jani lagi kesusahan, setiap Jani lagi ngerasa capek, Kak Raka yang selalu ada buat Jani, Kak Raka juga yang selalu buat Jani seneng, yah,”
”-makanya belakagan ini setiap Jani sholat, nama Kak Raka ikut masuk ke salah satu hal yang Jani doain. Jani selalu berdoa sama Allah, biar dikasih kesempatan buat bahagia terus sama Kak Raka. Jani selalu berdoa ke Allah kalo emang Kak Raka yang terbaik buat Jani, tolong jangan dijauhkan. Tapi kalau memang bukan Kak Raka, tolong jangan buat perasaan ini jatuh terlalu dalam, Jani takut, yah.”
Ayah terus mendengarkan gue yang bercerita, sepanjang itu gue masih menangis. Sedangkan ayah dengan telaten menyisir rambut gue yang berantakan itu.
“Jani juga bingung yah, Jani nggak tau apa-apa soal Kak Raka. Banyak banget hal yang nggak Kak Raka ceritakan ke Jani. Kaya perihal keluarganya, hidupnya, dan bahkan rencana-rencana kedepan kaya dia mau apa dan kemana aja Jani nggak tau. Sedangkan dia tau semua tentang Jani, Kak Raka banyak nutupin hal-hal dari Jani, yah,”
”-awalnya Jani mikir, 'oh yaudah mungkin emang belum waktunya Jani tau', tapi lama-lama nggak bisa yah, Jani terus-terusan kepikiran. Jani jadi suka mikir, kenapa ya Kak Raka kaya gitu ke Jani? Apa Kak Raka nggak percaya sama Jani? Atau Kak Raka nyesel kenal Jani?”
”-Jani tau, kalo Jani udah mikir terlalu jauh. Tapi wajar kan yah kalo Jani mikir begitu? Karena Jani takut buat jatuh terlalu dalam, makanya Jani mau pastikan kalau memang bukan Kak Raka orangnya atau bukan.”
Kali ini ayah tersenyum ke arah gue, dengan tangannya yang masih mengelus lembut punggung tangan gue, mengirimkan mantra-mantra agar anak kesayangannya ini tenang.
“Kakak, ayah nggak nyangka kalo anak ayah sudah sebesar ini. Sudah banyak hal yang kakak persiapkan dari jauh, dan itu nggak salah, kak.”
”-ayah mau ceritakan sesuatu yang belum pernah ayah ceritakan ini ke kamu ataupun Kira.”
“Dulu, ayah pernah punya satu perempuan yang Ayah sayangi sebelum menikahi mamah-mu.” Jujur, gue sedikit terkejut dengernya. Ayah gue bukan tipikal yang suka menceritakan hal-hal seperti ini ke anak-anaknya.
”-dulu kita bertetangga, rumahnya nggak jauh dari rumah eyang. Dulu ayah selalu ke sekolah bareng perempuan itu, pulang bareng, dan main bareng. Waktu itu kita SMA satu sekolah, saking seringnya bareng, eyang kakung tau kalau diantara kita ada perasaan satu sama lain.”
Gue malah yang jadi lebih penasaran sama cerita ini, mulai lupa sama masalah gue sendiri. “Terus, yah?”
“Tapi sayangnya, saat itu eyang kakung punya pilihannya sendiri, untuk ayah. Dan saat itu, ayah nggak punya keberanian untuk menolak perintah eyang dan jujur dengan hati ayah sendiri,”
”-ayah dipaksa mundur oleh keadaan, ayah mulai menjauh dari perempuan yang ayah sayangi dulu itu. Sampai akhirnya, ayah harus merantau ke Jakarta dan meninggalkan semua kisah cinta ayah di Yogyakarta.”
Gue bener-bener speachless mendengarnya, gue pikir kisah cinta macam itu nggak ada di lingkungan hidup gue. Ternyata, ayah sendiri yang merasakan.
“Terus gimana ayah dengan perempuan itu? Gimana juga ayah bisa jadi sama mamah?” Gue benar-benar penasaran.
Ayah justru tertawa, “Cerita itu nanti akan ayah ceritakan di lain hari, sekarang ayo kita tata hati Kakak Jani dulu.”
Seketika pikiran gue kembali, menghadapi realita kisah cinta yang lagi gue hadapin.
“Kak, meskipun nak Raka nggak pernah ngomong apapun tentang perasaanya dia terhadap kamu ke ayah, tapi ayah bisa lihat semuanya, kak. Ayah bisa lihat ketulusan di matanya,”
”-dari bagaimana dia menggambarkan sosok kamu sebagai seorang perempuan, ayah bisa lihat semuanya, kak. Nak Raka juga mencintai kamu.”
Air mata gue lagi-lagi lolos begitu saja.
“Tapi kenapa dia bersikap gitu yah?”
“Sekarang kamu bisa belajar dari cerita ayah kak, mungkin saja ada hal-hal yang harus terpaksa ia lakukan karena pilihan orang lain. Ayah nggak tau itu apa, kak. Cuma kamu sama Nak Raka yang tau. Ayah percaya banget kalo Nak Raka nggak se-pengecut ayah, kak. Ayah percaya, untuk perempuan yang di cintainya, dia bakal melakukan hal apapun. “
Gue terdiam, mencerna ucapan ayah baik-baik. Mencoba berpikir secara tenang.
“Selagi masih ada kesempatan, di bicarakan baik-baik. Menjalin hubungan itu harus dua arah, kamu harus tau apa pikirannya, begitupun juga dengan dia. Kalau kamu cuma sekedar menerka-nerka pikiranmu sendiri, selamanya nggak akan ada jalan keluarnya.” Tambah ayah.
“Jani takut, yah.”
“Jangan takut, ayah selalu di belakang Jani. Ayah selalu siap jadi rumah buat kakak.”
Gue menghambur ke pelukan ayah, betapa bersyukurnya gue punya seorang ayah seperti ayah gue di hidup ini.
Malam ini, setidaknya beban yang ada di pelupuk mata gue udah turun. Tugas gue habis ini yaitu harus bisa memantapkan diri gue untuk berhadapan dengan Raka, menyiapkan diri untuk mendengar apapun kalimat yang terucap dari bibirnya.