bahu jalan

Dika melajukan mobilnya kembali, sepanjang perjalanan Jani hanya menatap gelapnya langit dari jendela di sampingnya. Tidak ada bintang yang terlihat malam itu, langit digantungi awan hitam yang mungkin sebentar lagi akan menumpahkan bulirnya.

Sepertinya pengobatan kali ini gagal, Jani tidak pulang dalam keadaan baik-baik saja. Ia tidak menangis sama sekali, tapi matanya seperti sudah terlalu lelah untuk menahan.

Dika menghentikan mobilnya di bahu jalan, jalanan malam itu sangat sepi, hanya ada satu motor yang melintasi mereka. Mungkin semua orang sudah berada di dalam rumahnya masing-masing, menerka bahwa sebentar lagi turun hujan.

Dika melemparkan jaketnya ke wajah Jani, sempurna menutupi seluruh kepalanya. “Gue mau ngerokok dulu, dua batang aja. Sebentar ya.”

Lantas Dika keluar dari mobil sambil menenteng sebuah payung, ia berdiri di depan kap mobil, memandang jauh ke depan sambil mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya. Sedangkan yang ditinggalnya di dalam mobil, nafasnya mulai menderu. Matanya mulai terasa panas, dan saat itu juga air matanya turun bersamaan dengan turunnya air hujan di luar.

Rinjani menangis.

Tangisannya begitu menyakitkan untuk di dengar, mungkin ini tangisan terhebat Rinjani. Semua tenaganya lolos bersama dengan air matanya, ia menjerit dalam diam. Tangisnya ia tahan sekuat tenaga, merasa malu untuk di dengar bahkan oleh seekor semut pun.

Jani sedang tidak baik-baik saja, benar-benar hancur. Di kepalanya penuh oleh Reino Adraka. Rinjani tidak menduga akan mendapati kisahnya berakhir secepat ini, bahkan ketika semuanya belum di mulai.

Ketakutan Rinjani yang selama ini ia pendam sendiri benar-benar terjadi, ia takut kalau saja ia terlalu cepat jatuh hati, dan benar saja, Rinjani telah jatuh cinta dengan prianya itu. Jatuh yang sejatuh-jatuhnya.

'Kebahagiaanya' sudah hilang malam itu.

Rinjani masih ingin berharap, masih ingin setidaknya untuk sebentar saja memeluk Adraka dan menangis di hadapannya. Masih ingin menanyakan, apa harapan yang selama ini Adrakanya berikan ini merupakan harapan yang sebenarnya dibuat sendiri oleh Rinjani?

Namun, sepertinya sudah tidak ada muka lagi baginya untuk menghadap Raka. Rakanya sudah memilih untuk pergi, bukan? Adrakanya memilih hadir, namun sepertinya bukan untuk RInjani.