Esok, Lusa, dan Hari-hari Setelahnya

tw // mentioning of blood

Setelah mendengar kabar bahwa Raka sudah menunggu di pos jaga dekat rumahnya, Jani segera mengumpulkan nyawanya dan berjalan menuju tempat tersebut.

Dari jauh ia sudah melihat ada mobil hitam yang terparkir di bawah pohon yang rindang, dengan langkah kaki yang masih sempoyongan, Jani berjalan mendekat. Meskipun dari luar tidak terlihat orang di dalamnya, namun ia yakin bahwa mobil tersebut adalah mobil Raka.

Dibukanya pintu bangku penumpang, dan betapa terkejutnya Jani mendapati Raka yang bajunya sudah banyak dilumuri darah.

“Kak Raka kenapaaaa???” Seperti dugaan, Jani terlihat sangat panik saat melihat Raka.

“Tenang dulu, gue gapapa.”

“Gimana gapapa?! Ini berdarah semuaaaa.” Tangisnya semakin kejer.

“Boleh peluk gue dulu nggak, Jan?”

Tanpa berpikir panjang Jani langsung memeluk laki-laki dihadapannya tersebut. Runtuh sudah semua emosi yang ada di dada Raka. Tangisnya pun ikut pecah, bagaimana tidak, tangan Jani dengan lembut mengusap punggung yang bergetar itu.

“Kak Raka kenapa? kok bisa beginiii?” Jani kembali menanyakan keadaannya.

“Bisa kaya gini dulu sebentar nggak? Gue capek banget Jan...”

“Tapi ini diobatin dulu ya Kak, nanti infeksi.”

Raka masih belum mau melepas pelukannya, yang ia butuhkan sekarang hanyalah Rinjani di dekapnya.

Perempuan dipelukannya terus menenagkan dirinya, tangannya masih sibuk mengirimkan mantra-mantra. Dilepasnya pelukan hangat tersebut, perempuannya sudah berhenti menangis, lalu di sekanya air mata yang masih tertinggal di pelupuk mata Jani.

“Maaf ya, baju lo jadi kena darah gini...”

“Ini bisa hilang, tapi ini sembuhnya bakal lama kalo nggak di obatin,” Ucap Jani sambil mengelap darah yang keluar dari pelipis wajah Raka.

“Ayo ke rumah sakit...” Lanjut Jani.

“Nggak usah, lo obatin aja ya...” Tangannya memohon, memegang tangan Jani.

“Mana bisa gue ngobatin, gue kan anak Paskib, bukan anak PMR.”

“Yaudah ke apotik aja ya, beli salep sama perban.” Ucap Raka.

“Kak Raka... yang bener aja dong.”

Tidak bisa menang atas permintaan Raka, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke apotik terdekat, membeli beberapa obat-obatan. Karena Jani tidak mau mengambil resiko tiba-tiba Raka pingsan, maka kini ia yang mengendarai mobil.

Tidak ada pembicaraan selama di perjalanan, Raka hanya menyenderkan kepalanya yang mulai terasa sakit ke bantalan kepala jok mobilnya.


Setelah mendapatkan semua obat, Jani mengendarai mobil menuju alun-alun. Ia yakin Raka belum menyuap sesendok nasi pun.

“Tunggu disini, gue beliin makan dulu.”

Jani mengerjakan semuanya dalam diam, tidak dalam keadaan panik, namun juga tidak lambat. Ia dengan sigap melakukan pekerjaan untuk Raka.

Sekembalinya dari membeli seporsi bubur, Jani mendapati Raka yang tengah tertidur. Hatinya kembali sakit melihat keadaan Raka, darah yang keluar dari pelipis wajahnya sudah berhenti, namun masih tertinggal mengering di kulitnya.

Tidak ingin membangunkan Raka, Jani menutup pintu mobil secara perlahan, kemudian ia mengeluarkan semua obat-obatan yang ia beli dari apotek dan mulai membersihkan luka di wajah Raka secara perlahan.

Disekanya secara lembut wajah Raka, dilihatnya tiap inci. Bahkan lebam biru yang belum sempat ia obati kemarin kini bertambah lagi luka yang lebih dalam.

“Maaf ya, aku jadi ngerepotin kamu.” Raka membuka matanya, irisnya saling bertemu.

“Kalo waktu itu Kak Raka yang bilang mau terus-terusan di repotin Jani, sekarang biar Jani yang bilang kaya gitu. Jani mau direpotin terus sama Kak Raka,”

“Kalo Kak Raka mau, Kak Raka boleh ngeluh ke Jani, Kak Raka juga boleh nangis sepuasnya di bahu Jani. Kalo mau main ke rumah juga boleh kapan aja, Kak Raka mau apa aja boleh sama Jani,”

“Tapi, Kak Raka nggak boleh luka kaya gini. Jani nggak pernah punya luka kaya yang diterima Kak Raka, tapi Jani tau itu sakit, jadi jangan terluka ya kak, Jani sedih.”

“Maaf ya Jan, kamu harus lihat aku begini.”

Jani mengelus surai Raka, merapihkannya. “Iya, diamaafin.”

“Maaf juga, aku belum bisa cerita.”

“Gapapa, masih ada besok, lusa, dan hari-hari setelahnya.” Ucap Jani tak menuntut.