“Kak Ren, ini mau kemana ya?” Jani bertanya ketika keduanya sudah berada di sebuah jalan utama yang dipadati hotel-hotel.
“Udah tenang aja, urusan gue bentar doang kok.” Ucap sang kakak tingkat.
Sejujurnya Jani sudah tidak merasa enak, sejak ia diperingati oleh Dika tempo hari, ia jadi merasa lebih was-was.
Mobil yang dikendarai oleh Randy melesat jauh melewati jalanan kota, hingga akhirnya Randy menghentikan mobilnya di salah satu bangunan yang di depannya banyak berjejer mobil-mobil lainnya.
“Rin ikut turun yuk,” ajak Randy.
Rinjani merasa tidak nyaman, bagaimana tidak kini di depannya adalah salah satu bar terbesar di kota itu, dan bar bukanlah suatu tempat yang ramah baginya.
“Duh, nggak usah deh kak. Aku disini aja ya nunggu,” Jani menolak dengan baik.
“Yah masa gitu sih, udah ikut aja, nanti proposal lo gue bantuin sampe selesai. Gue punya salinan proposal temen gue yang satu permasalahan sama lo,” Randy masih memaksa.
“Maaf kak, tapi sebelumnya aku belum pernah ke tempat-tempat kaya gini,”
“Nah yaudah pas tuh, sekarang gue kasih tau di dalem ada apa aja.”
Jani sudah kehabisan alasan, ingin sekali rasanya ia menelepon Dika untuk minta di jemput, namun karena panik, Jani hanya bisa berdiam diri dan tidak melakuka apa-apa.
Randy sudah keluar dari mobil, dan kini menghampiri Jani dan membuka pintu mobilnya. Jani yang masih ragu hanya berdiam diri. Randy terus menerus meyakinkan Jani agar mau ikut dengannya. Kedua tangan Randy bersangga pada kedua lututnya, mendekatkan diri ke arah Jani.
“Sebentar aja kita masuk, kalo lo nggak nyaman, nanti kita pindah deh.” Ujar Rendy meyakinkan.
Jani yang sudah tidak ada kata-kata menolak akhirnya turun dan mengekor di belakang Randy.
Mereka berjalan masuk menuju salah satu meja yang sudah diisi oleh beberapa orang laki-laki yang disampingnya ada perempuan-perempuan berbaju cukup terbuka.
Jani yang tidak tau harus apa hanya duduk dan melihat ke sekeliling, melihat para perempuan yang duduk di samping laki-laki yang diketahui adalah teman-teman Randy dengan tatapan yang canggung.
“Rinjani emang nggak pernah ke bar kaya gini ya?” Tanya Viktor salah satu teman Randy.
“Oh nggak, nggak begitu suka.” Ucap Jani setengah berteriak, karena suasana di salam sangat bising.
Selama disana Randy bukannya menemani Jani, ia malah asik mengobrol dengan teman-temannya dan meninggalkan Jani sendirian di ujung kursi.
“Kak, aku ijin ke toilet sebentar ya.” Ijin Jani kepada Randy.
Jani berhasil kabur, setidaknya untuk sementara, karena kabur pun tidak bisa, tas dan berkas-berkasnya ia tinggal di mobil Randy. Setelah ia masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi, ia langsung mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menelpon Dika. Namun sayangnya, Dika tidak bisa di hubungi sama sekali, sepertinya ponselnya mati.
“Duh... gue minta tolong siapa...” Gerutu Jani dalam hati.
Terlintas nama Raka di layar ponselnya, sebenarnya pilihan itu patut untuk di coba, siapa tau Raka bisa menolongnya keluar dari sini. Tapi hanyalah tapi, Jani tidak memiliki keberanian untuk menghubungi Raka terlebih dahulu.
Saat sedang menimbang-nimbang haruskah ia menelpon Raka atau tidak, tiba-tiba ponselnya berdering, Randy menelpon. Rupanya kakak tingkatnya itu sudah menunggu di depan toilet.
“Kenapa lama banget? Gue tungguin dari tadi tau...” Ucap Randy setelah bertemu Jani.
“Eh? Maaf kak, tadi agak antri.”
“Yaudah ayo, kita mau pindah ke ruangan atas.”
Jani sudah merasa tidak nyaman disana, selain ia tidak nyaman dengan suara yang keras, asap rokok sudah membuatnya sedikit sesak.
“Kak, kayaknya aku mau pulang aja deh. Kita reschedule aja bimbingannya, boleh nggak?” Ucap Jani.
“Loh? Kenapa? Bentar lagi ya, di atas enak loh nggak seberisik disini.” Randy masih mencoba menahan Jani.
“Duh, gimana ya kak?”
Jani adalah manusia paling bodoh ketika harus menolak tawaran, ia selalu saja merasa tidak enak dan sungkan untuk menolaknya.
“Setengah jam deh, kita beneran keluar. Oke?”
Tanpa menunggu jawaban dari Jani, Randy langsung menarik tangannya untuk mengikutinya. Sepanjang jalan menuju ruangan yang dituju, Jani mencoba menghubungi Dika berkali-kali, tapi tetap saja, tidak ada jawaban.
Hingga sudah di depan pintu ruangan, Jani menyempatkan untuk mengirim pesan kepada Dika, takut membayangkan di dalam ia tidak bisa menghubungi Dika kembali.