ketidak tahuanku
tw // panic attack
“Kok kamu pake baju kaya gitu sih?” Tanya Raka ketika mereka baru saja memasuki mobil.
“Ih kenapa? Aneh yaa? Yaudah aku ganti dulu deh...” Jani terlihat panik.
“Nggak, nanti kalo ketuker sama peri kebun gimana?”
“RAKAAAA!!!!” Jani memukul lengan Raka dengan keras, menutupi rasa malunya.
Sepanjang perjalanan mereka menghabiskan waktu dengan mendengarkan beberapa lagu dari playlist Raka. Ditemani love story by Taylor Swift, Jani menggigit jagung yang ia beli di abang-abang keliling. Di tengah kemacetan Jani sudah mulai bosan, duduknya sudah tidak anggun lagi, lupa ia sedang mengenakan dress putih.
“Tau macet gini kita nggak usah main jauh-jauh ya kak, kamu kalo cape bilang ya nanti aku yang nyupir.” Ucap Jani di sela-sela menggigit jagungnya.
“Emang kamu udah punya SIM?” Tanya Raka sambil mengambil remahan jagung yang menempel di pipi perempuan di hadapannya.
“Yaa.. belum sih.”
“Kok kemaren berani-beraninya kamu nyupirin aku ke alun-alun???”
“Aku mah udah bisa bawa mobil, cuma belum punya SIM aja. Kata yayah besok aja bikinnya kalo mau kuliah.”
Raka masih menunggu kemacetan, tidak bosannya ia menatap Jani yang sedang melakukan private mukbang untuk Raka. Dilihatnya perempuan yang menggemaskan di hadapannya, tidak bisa ia menahan senyumannya.
“Ngomong-ngomong soal kuliah, Kak Raka mau kuliah dimana?”
“Hmm... belum kepikiran sih.”
“Dih?? Gimana belum kepikiran? Sebentar lagi udah mulai pendaftaran-pendaftaran kan?” Jani menaruh jagungnya.
“Ya nanti aja gampang, masih agak lama. Nggak usah ngomongin itu ya.”
“Tapi di Indo kan kak? Apa keluar negeri?” Jani masih penasaran.
Raka membenarkan posisi duduknya, kembali menghadap kedepan. Ia membuka kaca mobilnya, tiba-tiba dadanya mulai terasa sesak. Ia memukul dadanya dengan tangannya.
Melihat perubahan wajah pada Raka, Jani menjadi ikut panik. “Kak Raka kenapa? Apa yang sakit?”
Raka lantas meminggirkan mobilnya, menepi di pinggiran jalan, mencoba menenagkan dirinya.
Jani yang melihat ada warung di depan lantas keluar dari mobil menuju warung tersebut. Sedangkan Raka yang merasa sesak tersebut lantas keluar dari mobil dan berdiri di sisi mobil sebelah kiri. Ia memandang jauh ke depan hamparan kebun teh.
“Kak Raka, ini minum dulu.” Jani kembali membawa segelas teh hangat.
Tangan Jani mengusap punggung Raka, menunggunya sampai kembali tenang. Raka mencoba terus menatap jauh pandangannya ke hamparan kebun teh, mengontrol nafasnya yang mulai normal kembali.
“Mau duduk?” Tanya Jani.
Tanpa berbicara, Jani sudah mengerti jawaban Raka. Dibukanya pintu mobil tempatnya duduk.
“Ini minum lagi tehnya, biar nggak kedinginan.” Ujar Jani sambil menyodorkan teh hangat tersebut.
Bukan menerima teh tersebut, namun Raka justru menarik Jani, memeluk perempuan di depannya tersebut.
“Maaf ya...” Raka membuka suaranya.
“Kenapa minta maaf?” Jani mengelus lembut kepala Raka yang sedang bersandar pada tubuhnya tersebut.
“Aku bikin kamu panik terus...”
“Nggak kok, kan kamu tau aku emang anaknya lebay. Nggak ada apa-apa juga aku panik hahaha,” Jani mencoba mencairkan suasana.
“Kalo kamu nggak kuat gapapa, aku yang gantiin nyetir ya. Kita pulang aja yaa...”
“Nggak kok, aku udah gapapa. Aku kan yang pengen banget ngajak kamu ke kebun mamahku.” Raka melepas pelukannya.
“Bener udah nggak apa-apa?” Tanya Jani memastikan.
“Iyaa...” “Bener kayaknya kata Bi Surni, perawatku canggih banget.” Ledek Raka.
“Kekuatan teh hangat anak PMR keren juga ya ka, hahaha.” Keduanya tertawa.
Mereka lantas melanjutkan perjalanannya.