Luka yang Belum Pulih

tw // kekerasan fisik , mentioning of blood , family abuse

“Bi Surni, coba tolong dilihatkan di kamarnya, Raka sudah bangun atau belum.” Ucap ibu Raka.

“Baik bu...”


tok tok tok

“Mas Raka...” Panggil Bi Surni dari depan pintu.

Yang dipanggil lalu menampakkan wajahnya yang masih terlihat sangat berantakan dan masih separuh tertidur. “Kenapa Bi?” Tanya Raka.

“Sama Ibu disuruh turun, Mas.”

Setelahnya Raka menuruni tangga dan menuju ruang makan, sudah ada kedua orang tuanya disitu.

“Sini sarapan Mas, temani Ayah mau berangkat hari ini.”

Raka yang sebenarnya masih belum berniat untuk sarapan turut duduk di meja makan, meskipun hanya meminum susunya, ia harus tetap berada di meja makan itu.

“Kamu sudah selesai ujian?” Tanya Ayah Raka yang sedang menyantap sarapannya.

“Sudah, Yah.”

“Gimana nilainya menurut kamu?”

“Belum tau, Yah.” Raka hanya bisa menunduk, memainkan jari-jarinya.

“Gimana bisa belum tau?! Kamu kan yang mengerjakan soalnya bukan?! Kamu harus sudah bisa prediksi nilai dari hasil pekerjaanmu dong!”

Raka terdiam, tidak ada pembelaan yang bisa ia ucapkan.

“Kamu sudah kelas tiga, awas sampai nilai-nilaimu turun ya! Saya tidak akan tinggal diam.”

“Sudah Yah, Raka juga selama ini sudah belajar dengan terus-terusan. Nilainya juga tidak pernah turun kan?” Ibu Raka ikut menimpali, membantu meredakan suasana.

“Gimana bisa dibilang belajar terus-terusan?! Lihat saja mukanya kemarin, pulang-pulang dengan keadaan habis berantem kan? Masih bisa-bisanya kamu ribut-ribut di luar sana ya! Buat malu saya di depan Ayah Bella!”

“Tapi kan setelah itu Ayah juga yang hancurkan muka Raka.” Kini Raka mulai berbicara, mengangkat wajahnya untuk menatap sang Ayah.

“Kamu berani ya melawan saya!! Siapa yang ajarkan kamu begitu? Mamah-mu?!” Ayah Raka berdiri dari kursinya.

“Jangan bawa-bawa Mamah, Yah. Mamah selalu ngajarin Raka hal-hal baik, beda dengan Ayah!”

Setelahnya sebuah gelas melayang begitu saja, tepat terkena wajah Raka dan berakhir pecah berhamburan di lantai. Ayahnya menghampiri Raka dan menamparnya.

“Ngomong di depan saya!” Ayah Raka mencengkram kerah baju tidurnya.

“Ayah egois!”

Sebuah pukulan mendarat di wajahnya, luka yang kemarin sudah mulai mengering tiba-tiba terbuka kembali. Darah mulai mengalir dari pelipis Raka, turun mengenai pipinya.

“Ayah!!!” Ibu Raka yang panik dengan apa yang terjadi di hadapannya langsung berlari ke arah Raka, dipeluknya erat.

“Raka, sudah masuk kamarmu Mas.” Ucap sang Ibunda.

“Masih bisa-bisanya kamu membela anak yang tidak tau diuntung ini! Biarkan dia saya kasih pelajaran! Biar tidak membangkan ke orang tuanya!”

Raka yang baru saja ingin maju mendekat ke Ayahnya di peluk mundur oleh ibunya, terdengar tangisan yang tersedu-sedu di telinga Raka.

“Mas, udah ya... Kamu masuk kamar aja.” Ujar Ibu Raka sambil masih menangis.

Raka yang sudah tidak kuat menahan emosinya langsung menyambar kunci mobil yang ada di meja, ia berjalan keluar meninggalkan kegaduhan yang ada.

“Raka!!! Mau kemana kamu!!! Mulai berani ya kamu kabur! Tidak usah kamu kembali lagi ke rumah ini!!!” Dari dalam Ayah Raka terus berteriak.

Tanpa mengganti pakaiannya, Raka langsung melajukan mobilnya menjauh dari rumahnya. Tanpa disadari air matanya sudah melolos begitu saja, semua emosi yang memuncak keluar begitu saja.

Tanpa membawa apapun Raka hanya memacu kendarannya menembus jalanan, tanpa arah dan tujuan.