Minggu, 14 Februari 2021
Akhirnya setelah perjalanan panjang, hari yang gue tunggu-tunggu tiba juga. Event LKBB Gelora ini diadakan setiap tahunnya, sudah jadi tradisi turun temurun yang wajib hukumnya untuk dilaksanakan.
Dari pagi gue udah mulai sibuk, bunyi pantofel gue berdetuk menginjak hampir seluruh lantai yang ada di sekolah. Gue agak panik, karena pas gue dateng semua anggota udah lagi briefing pagi. GUE KESIANGAN. Gara-gara semaleman nangisin Raka!!!
“Selesai acara lari keliling lapangan 10x untuk keterlambatan kamu.” Kang Ibra langsung nyemprot, begitu gue ijin masuk ke dalam barisan.
Setelah briefing pagi, gue langsung ngerjain semua pekerjaan gue. Mulai dari memastikan seluruh daftar peserta sudah tercetak dengan lengkap, nomer tanda peserta sudah tersedia, memastikan seluruh sekolah yang mendaftar sudah mendapatkan ruang tunggunya, dan juga memastikan lembar format penilaian.
Kerjaan gue banyak banget! Sedangkan Bagas, komandan sekaligus ketua pelaksana acara hanya berdiam diri duduk di bawah tenda, sambil menunggu kedatangan Bapak Wali Kota untuk melakukan seremoni pembukaan.
“Mil, lu punya makanan yang bisa gue makan nggak?”
“Lagian bisa-bisanya lu acara penting begini malah kesiangan! Kan gue bilang langsung tidur! Malah ngeliat story Raka!” Mila mengomel sambil memberikan sebuah kotak berisi jajanan pagi.
“Ya gimana lagi Mil...”
Setelah menyantap jajanan dari Mila, gue bergegas menuju ruang guru. Pekerjaan gue dilakukan disana, karena tugas gue adalah menjadi salah satu yang menghitung penilaian peserta lomba, maka gue bener-bener stay di dalam ruang guru. Kenapa nggak di mabes aja? Karena di ruang guru jauh lebih aman, menghindari adanya keributan-keributan yang mungkin muncul.
Gue seharian bener-bener nggak keluar dari ruang guru, bahkan makan siang aja gue lewatin karena se-begitu nggak ada waktunya.
“Jani, udah sana makan dulu. Ini biar gue aja yang gantiin.” Dika datang dari arah belakang.
“Gapapa kang, nanti aja gampang. Tadi juga udah sarapan.”
Gue yang sibuk dengan ngerekap lembar penilaian sama Teh Sinta, Kang Iyel, Keno, sama ada salah satu purna angkatan yang baru lulus masih terus menghitung nilai-nilai itu. Setelah selesai menghitung lembar penilaian, gue masih harus lanjut nge-print sertifikat dan berita acara untuk pengumuman. Bagas udah bolak balik nanyain gue udah selesai apa belum, dia lupa kayaknya kalo tangan gue cuma dua sama kaya dia.
“Jan, bisa dipercepet nggak? Ini udah ngaret setengah jam. Pelatih-pelatih udah mulai ribut.”
“Gas! Lu bisa diem dulu nggak? Kalo lu nanya mulu yang ada gue nggak selesai-selesai.” Gue yang juga lagi panik cuma bisa ngomel ke Bagas.
“Jani, ayo udah selesai belum?” Dari belakang Dika muncul, makin pengen gue acak-acak ruang guru saat itu.
Setelah satu persatu tugas gue selesai, dan acara sudah berada pada puncaknya, akhirnya gue pikir bisa sedikit bernafas. Namun ternyata salah, waktu gue bangun dari duduk dan berniat untuk gabung bersama panitia yang lain, Dika, Bagas, beberapa purna dan salah satu juri masuk ke dalam ruang guru. Langkah kaki gue terpaksa mundur.
“Jan, ini lo ada salah banyak banget!” Bagas langsung menodong gue.
“Salah apanya?”
“Ini sekolah SMK Satria Bangsa masa penilaian sementara sama akhir bisa lebih kecil yang akhir?! Kan nggak masuk akal.”
Gue langsung nyari lembar penilaian yang udah nggak tau letaknya di tumpukan mana.
“Lo gimana sih? Ini ada 3 sekolah lagi yang kaya gini! Bisa-bisa itu juga kandidat juara utamanya juga salah gimana?”
Gue mulai ketakutan, sambil masih mencari lembar penilaian dibantu Dika.
“Nih ketemu! Satria Bangsa.”
Dika langsung dengan sigap kembali menghitung ulang nilai di dampingi oleh juri yang merupakan seorang tentara tersebut dan purna-purna. “Jan, lanjut cari yang 3 lainnya.” Ujar Dika.
Sepanjang gue nyari, Bagas yang juga ngebantu nyari masih aja nyalah-nyalahin gue. Emosi gue juga makin campur aduk, di tambah tiba-tiba salah satu pelatih memasuki ruang guru, yang nota bene-nya merupakan area terlarang.
“Maaf kang, ini area terlarang. Jadi mohon tunggu di luar ya kang.” Bagas mencoba berbicara ke pelatih tersebut.
“Saya mau lihat penilaian kalian secara langsung! Aneh kalian itu! Bisa-bisanya acara sebesar ini salah melakukan penghitungan! Fatal tau nggak kalian?!” Nada bicara pelatih tersebut meningkat, gue bener-bener takut saat itu.
“Sudah, tenang dulu ya Kang. Saya disini coba melihat dimana kesalahannya.” Bapak tentara tersebut turun tangan.
“Ya pokoknya saya mau tunggu disini, kalo saja tadi saya tidak melihat perbedaanya bisa-bisa sekolah kita pulang dengan piala yang bukan seharusnya kami dapatkan! Baru pertama kali saya menemui permasalahan seperti ini selama saya jadi pelatih!”
“Jani, mana yang tiga-nya?” Dika menghampiri, berusaha kerja dengan sangat cepat, sebelum semuanya semakin berantakan.
Namun benar saja, ketiga pelatih dari sekolah lainnya juga ikut memasuki ruang guru, diikuti oleh anak buahnya yang gue yakini mereka semua danton.
“Gimana kang ini kejelasannya?” Salah satu diantara mereka terus mendesak.
Bapak tentara tidak bisa berbuat apa-apa, karena tau ini memang kesalahan kita. Atau mungkin lebih tepatnya, salah gue. Beliau hanya terus mencoba menenangkan para pelatih tersebut.
Disitu gue udah bener-bener nahan nangis, saking takut dan rasa bersalah gue.
“Neng, kamu yang hitung ya? Kamu dibayar sama sekolah lain buat menangin mereka?” Jantung gue berhenti berdetak sepersekian detik. Air mata gue lolos.
“Maaf kang, saya nggak ada berbuat hal-hal yang seperti itu. Ini murni kesalahan saya.” Dengan terbata-bata gue berbicara.
“Karena kesalahan kamu, ini sekarang pengumuman jadi nggak jelas. Yang juara satu aja belum tentu itu nilainya bener!”
“Kang, maaf ya, ini sudah saya cross check lagi. Memang benar ada kesalahan penghitungan, ada salah satu aspek yang terlewat dimasukkan ke dalam penjumlahan, dan setelah semua diperbaiki, SMK Satria Bangsa menjadi juara umum 3.”
“Nah kannn... ini udah salah banget kang, saya sarankan aja sih lebih baik dihitung kembali seluruh sekolah. Dari pada yang seharusnya dapat malah jadi nggak dapat karena kesalahan panitia.” Lagi-lagi pelatih tersebut angkat bicara.
“Baik kang terima kasih sarannya, ini akan segera saya cross check semua sekarang. Mohon ditunggu di luar dulu ya Kang, mohon maaf atas kejadiannya.” Dika mencoba menengahi permasalahan.
Keno yang baru saja masuk untuk menannyakan perkembangan akhirnya dikirim balik untuk memberikan info terkait kemunduran pengumuman yang bisa di bilang sudah berjalan dan hampir selesai itu.
Rasa bersalah, malu, takut, semua jadi satu. Gue bener-bener nggak punya muka buat ngehadepin Kang Ibra dan semua panitia dan purna-purna.
Gue, Kang Dika, Bagas, salah seorang purna dan salah satu juri yang membantu akhirnya menyelesaikan cross check penilaian, dan kesalahan memang cuma terdapat di empat sekolah tadi saja. Setelah itu pengumuman akhirnya dilanjutkan kembali. Dan gue memutuskan untuk tetap di dalam ruang guru, berpura-pura membenahi meja supaya tidak perlu keluar saat itu juga.
Di ruangan yang hanya ada gue seorang diri, gue tumpahkan semua tangisan yang gue tahan mati-matian. Namun juga gue berusaha untuk menata pikiran gue supaya bisa berhenti menangis, gue nggak mau di lihat dengan keadaan yang seperti ini. Gue bener-bener ngumpet di bawah salah satu meja guru.
“Jan, disuruh ke lapangan. Udah mau eval.” Jantung gue mulai berdegup kencang lagi. Jujur, gue bener-bener takut.
Saat gue keluar dan menuju lapangan, gue udah melihat semua panitia dalam keadaan turun (push-up), gue langsung lari dari ujung dan ijin masuk ke dalam barisan.
Kang Ibra dan para purna yang banyak itu berdiri mengelilingi panitia. Pikir gue saat itu, udah fix habislah gue.
“Rinjani, salah kamu apa aja hari ini?” Kang Ibra langsung to the point nanya ke gue.
“SIAP! Tadi pagi saya datang terlambat.”
“Terus?”
“SIAP! Saya melakukan salah penghitungan nilai.”
“Terus?”
Gue diam, nggak tau apa lagi kesalahan yang gue lakuin. TAPI GUE DIPAKSA KEADAAN UNTUK JAWAB. Tipikal.
“APA RINJANI! JAWAB!” Gue masih gagap, nggak bicara apa-apa.
“Bisa-bisanya sekertaris datang terlambat di hari acara?! Kenapa kamu terlambat dek?! JAWAB SAYA!” Salah seorang purna yang dulunya juga seorang sekertaris ngebentak tepat di depan muka gue. Teh Rani namanya, dia salah satu purna paling galak yang gue kenal.
“Kalo kamu nggak mau jawab saya biarkan semua panitia terus-terusan dalam keadaan turun!” Ucap Kang Ibra.
“SIAP! Mohon maaf kang saya tidak tahu!” Gue bener-bener clueless sama jawaban yang dimau mereka!
“Semua bangun!!” Bentak Kang Ibra.
Sore itu semua panitia termasuk senior (angkatan Kang Dika) di evaluasi habis-habisan sama Kang Ibra dan purna. Terutama gue.
“Rinjani kenapa kamu kerjakan sendiri cross check nilai???” Tanya Kang Ibra.
“Siap, Teh Sinta sudah bantu saya kang, sama Keno, Kang Iyel, dan beberapa purna, tapi karena tiba-tiba hujan dan panita di lapangan butuh bantuan, saya iyakan untuk mengerjakan sendiri kang.”
“Ya makanya itu! Kenapa kamu iyakan? Tugasmu di dalam ruangan itu memang tidak menguras tenaga banyak, tapi emosi dan mentalmu harus stabil! Dari pagi aja kamu sudah datang terlambat, di hari besar ini, Rinjani!”
“Siap, maaf kang!”
“Kamu udah ngerasa hebat bisa ngerjain semuanya sendiri?” Teh Rani ngedeket ke arah gue, jarak wajah kita bener-bener cuma beberapa sentimeter aja!!!
“SIAP TIDAK TEH! Tapi maaf teh sebelumnya, tadi setelah saya melakukan penilaian, semua hasil saya serahkan lagi ke Teh Bintang untuk di cross check ulang.” Jelas gue.
“OH JADI KAMU NYALAHIN SAYA?” Teh Bintang maju dan langsung nyamperin gue.
Gue lupa pasal nomer 1, senior tidak pernah salah.
Kadang gue benci banget sama pasal itu, sebagai junior gue nggak punya power apa-apa meskipun gue punya pembenaran.
Kini giliran Kang Ibra yang maju, gue bener-bener dikelilingin mereka sendiri, “Dari awal, tugas seorang sekertaris itu yang paling berat diantara semua pekerjaan. Maka dari itu sejak awal saya percayakan penuh tugas ini ke kamu! Tapi kalo hasilnya kaya gini, saya bener-bener kecewa sama kamu, Jani.”
“Siap!” Badan gue bergetar, mata gue mulai panas, gue nangis.
“Kenapa nangis? Kan kata kamu saya yang salah?!” Teh Bintang kembali menodong gue.
“Semua anggota bangun!” Kang Ibra ngasih perintah.
“Lari dua puluh keliling untuk seluruh panitia, dan untuk Rinjani tambah sepuluh putaran! Jelas?!” tambah Kang Ibra.
“SIAP JELAS!” Ucap seluruh panitia.
Setelah diberi aba-aba, gue dan panitia lainnya memulai hukuman kita. Gue lari sambil nangis, karena rasa bersalah gue ini, di pikiran gue, gue rela lari sampe besok pagi kalau diminta.
Kita semua lari sambil nyanyi yel-yel, lima putaran pertama lagu dinyanyikan secara lantang, masuk ke putaran sepuluh, volume kita sudah menurun.
Di putaran ke tiga belas salah satu junior ada yang jatuh, dibantu angkat sama beberapa purna. “Lari di tempat! Grak!”
“Siapa yang sudah tidak sanggup?!” Tanya Kang Ibra. Jelas saja, nggak ada yang berani buat ngomong. Namun setelahnya Kang Ibra langsung memberhentikan kita.
“Masih sanggup nggak nih?” Tanya salah seorang purna.
“Siap tidak kang!” Akhirnya Bagas buka suara!
“Masa baru tiga belas putaran udah nggak sanggup?! Lemah bangett!!”
“Terus mau bagaimana, Bagas?” Tanya Kang Ibra.
“SIAP! Maaf kang, teh, kalo boleh kita lanjutkan hukumannya besok!”
“Masa hukuman di cicil!” Sindir salah seorang purna lainnya.
Kang Ibra yang melihat seluruh panitia sudah sangat kelelahan akhirnya mengijinkan kita untuk melanjutkan hukumannya besok. “Oke, lanjutkan besok tapi tambah 5 putaran lagi! Mengerti?!”
“Tapi itu sekertaris kan seharian cuma di ruang guru aja kang, selesein sekarang juga sanggup lah!” Teh Rani menyindir gue. Jujur, gue masih sanggup buat ngelanjutin ini. Tapi gue takut banget kalo bakal di tatar lebih lama sendirian.
“Sanggup nggak Jani?” Tanya Teh Rani lagi. “Siap sanggup teh!”
“Oke semua bereskan mabes lalu langsung pulang, selain Rinjani!” Setelah Kang Ibra membubarkan barisan, akhirnya hanya tersisa gue. Tapi ternyata nggak cuma gue aja yang menetap di barisan, ada Kang Dika, Kang Iyel, Bagas, dan Keno.
“Kalian mau ngapain disini?” Tanya Teh Rani.
“Siap! Saya mau menyelesaikan hukuman hari ini teh!” Ucap Kang Dika.
“Nggak ada, semua pulang selain Rinjani ini.” Kata Teh Rani dengan suara nyebelinnya.
TAPI KANG DIKA NGGAK ERGERAK SEDIKITPUN. BEGITU JUGA DENGAN YANG LAINNYA.
“Oke, kamu sama Rinjani aja yang disini. Sisanya pulang!” Ucap Teh Rani lagi.
“Kang, Teh, mohon ijin unt-” Belum selesai Kang Iyel ngomong ucapannya udah di potong sama Teh Rani.
“Nggak ada! Kalian semua selain Rinjani dan Dika pulang! Kalo tetep ngotot hukuman mereka saya tambahkan!” Jelas Teh Rani.
Karena nggak bisa berbuat apa-apa lagi jalan satu-satunya untuk menyelamatkan gue dan Kang Dika adalah pulang, mereka akhirnya balik ke mabes dan menyisakan gue sama Kang Dika di lapangan.
Gue akhirnya melanjutkan hukuman lari gue yang masih tujuh belas putaran lagi, gue bisa melihat temen-temen gue satu persatu pulang dan para purna masih ngobrol di pinggir lapangan sama Kang Ibra.
Awal gue lari semua baik-baik aja, tapi tiba-tiba gue NANGIS! Gatau kenapa tiba-tiba air mata gue turun gitu aja. Gue pikir itu cuma keringat yang menetes, tapi nggak hati gue juga ikutan sakit.
Sepanjang lari gue bener-bener marah sama diri gue sendiri, marah karena gue nggak bisa apa-apa lagi selain nangis. Gue ngerasahidup gue berantakan banget saat itu, acara nggak berjalan sesuai ekspetasi gue, di tambah lagi gue lagi kehilangan Raka. Rasanya gue pengen ngehilang aja dari bumi ini saat itu.
Usaha yang selama ini gue jalanin hancur gitu aja, ekspetasi gue tentang acara yang berjalan lancar, gue dapet pujian dari semua orang, pulang dengan rasa puas dan bisa dapet pelukan dari Raka hilang gitu aja.
Emang hal yang paling salah itu kalo udah berekspetasi sama yang namanya manusia, even itu diri kita sendiri.
“Jangan nangis, nanti lo makin cape.” Dari belakang Kang Dika berusaha menenangkan gue. Mendengar itu gue malah makin nangis sejadi-jadinya.
Di putaran ke dua puluh purna-purna mulai ijin ke Kang Ibra untuk pulang, sekarang udah hampir maghrib dan mereka melenggang pergi gitu aja tanpa inget YANG NGASIH GUE ABA-ABA LARI ITU TEH RANI YANG SEKARANG UDAH MAU PULANG!!!
“Masih kuat nggak?” Kang Dika memelankan tempo larinya, menyetarakan langkahnya dengan gue.
“S-siap, masih kang.” Gue menjawab dengan sisa-sisa tenaga gue.
Hukuman lari Kang Dika udah selesai, dua puluh putaran. Tapi dia tetep nemenin gue lari!
Masuk ke putaran dua puluh dua, kaki gue mulai melemah, sampai akhirnya gue tersandung kaki gue sendiri dan berakhir terjatuh di pinggir lapangan, tepat di sebrang Kang Ibra.
Kang Dika ngebantu gue untuk bangun, dan Kang Ibra menghampiri kami.
“Rinjani masih punya tenaga?” Ucap Kang Ibra.
“S-ssiap! Masih kang!” Nafas gue udah pendek banget, rasanya oksigen dalam tubuh gue kaya udah kekuras habis.
“Masih punya tenaga untuk nangis?”
“Siap! Tidak kang!” Gue menghapus air mata yang bercampur dengan air keringat itu.
Kaki gue udah bener-bener lemes, beberapa kali badan gue hampir jatuh, untung aja beberapa kali itu Kang Dika megang pundak gue, ngebantu gue buat tetep berdiri dengan baik.
“Udah, besok di lanjut lagi. Saya mau pulang.” Kang Ibra langsung melenggang pergi gitu aja ke mabes, dan setelahnya gue beneran jatuh di tengah lapangan.
Gue masih sadar, tapi nafas gue bener-bener habis. Gue udah nggak sanggup bangun dan berakhir tiduran di tengah lapangan di susul Kang Dika yang juga ikutan ngelurusin punggungnya nggak jauh dari tempat gue.
Menatap langit sore itu yang berwarnakn jingga bercampur orange membuat gue tertawa pilu, ternyata dunia tetap berjalan dengan semestinya, meskipun dunia gue sedang hancur.