Minggu ini merupakan minggu yang cukup terbilang berat untuk Jani dan kawan-kawannya. Meskipun event yang mereka adakan masih satu setengah bulan lagi namun persiapan yang mereka kerjakan benar-benar sudah di maksimalkan sejak awal.
Akhir-akhir ini Jani sering mengorbankan jam istirahatnya untuk mengejar deadline yang diberikan Bagas selaku ketua pelaksana dan Dika selaku pembimbing.
“Jan, lu tuh kalo jamnya istirahat ya istirahat Jan. Acara kita masih satu setengah bulan lagi. Pelan-pelan aja ngerjainnya.” Mila yang baru saja kembali dari kantin kembali ke tempat duduknya.
“Mil, gue juga pengennya pelan-pelan aja ngerjainnya. Tapi lo tau sendiri kan, Kang Dika rewelnya minta ampun. Gue dikejar-kejar terus sama Bagas sama Keno juga.”
“Iyasih, tapi lo juga jangan sampe nggak jaga kesehatan Jan.”
“Iyaa...” Ujar Jani. “Nanti habis pelajaran Geo gue cabut ke mabes ya Mil, gue mau ngeprint surat keluar dulu Dinas. Mau dianter sama Bagas Keno soalnya.”
“Mau gue temenin nggak?”
“Nggak usah, bilang aja pengen cabut kelas juga kan lo.” Sudah tertebak arah pikiran Mila.
“Hehehe.”
13.00
Keno sudah mulai ribut menghubungu Jani berkali-kali, memintanya untuk bergegas ke mabes untuk mencetak surat keluar yang akan ia antarkan siang ini.
Setelah meminta ijin kepada guru pengajar, Jani langsung berlari menuju mabesnya. Menenteng beberapa berkas di tangannya dan tidak lupa hidup dan matinya saat ini, laptop biru kesayangannya.
“Lama banget sih, bukannya dari tadi aja keluarnya.” Bagas sang ketua pelaksana mengomel pada Jani.
“Ya orang tadi gurunya masih ngejelasin, yakali gue ijin gitu. Nggak enak lah.”
“Yaudah cepetan gue sama Keno mau berangkat.”
“Ya sabar! Duduk aja belum.”
Atmosfer di dalam ruangan tersebut seketika memanas. Semenjak beban pekerjaan sama-sama makin berat, komunikasi antar anggota juga semakin sulit untuk dikendalikan. Tidak sesekali mereka saling meninggikan suara saat sedang berdiskusi.
“Udah Jan gapapa, gue tungguin kok santai aja. Buat yang PPI sekalian udah kan ya?” Keno mencoba mencairkan suasana.
“Udah, bentar gue print semua.”
Jani bekerja dalam diam, sebenarnya Jani merupakan orang yang memiliki emosi yang mudah meluap. Hatinya mudah tergerak oleh hal-hal kecil, merasa lawan bicaranya meninggi saja ia bisa langsung menangis.
Seperti sekarang, sebenarnya ia benar-benar menahan tangisnya. Namun rasa malunya membuat ia harus menahan air mata yang sedang ia bendung.
Keno yang menyadari perubahan pada mata Jani langsung berdiri di depan meja yang sedang digunakan Jani untuk mengeprint surat. Keno berdiri membelakangi Jani, berusaha menutupi kalau saja air mata Jani tidak sanggup ditahan lagi. Benar saja, setelah itu air mata Jani menetes, merasa enggan dilihat seperti anak cengeng Jani segera mengelap air matanya.
“Nih udah semua.” Jani memberikan amplop yang berisikan surat untuk Dinas dan PPI.
“Oke thankyou ya Jan, lo kalo mau balik ke kelas balik aja gapapa. Kerjaan nanti di lanjut pulang sekolah aja.” Ucap Keno.
“Proposal udah di tanda tangan pihak sekolah semua? Proposal untuk sekolah yang di sebar sama sponsorship?” Bagas menyela pembicaraan Jani dan Keno.
“Udah.”
“List sekolah yang bakal kita bagi sama kita kirim e-mail udah semua?” Tambah Bagas.
“Belum, gue masih ngerjain beberapa revisi proposal buat sponsor sama ngelist sponsor mana aja yang bakal di bagiin.”
“Yaudah lo nggak usah balik ke kelas, lanjut aja disini.”
Mendengar ucapan Bagas, Jani hanya menghembuskan nafasnya berat.
Benar saja, setelah Bagas dan Keno keluar dari mabes air mata Jani meluncur dengan derasnya di kedua pipinya. Jani terduduk dilantai menangis sejadi-jadinya.