Penantian
Kepulangan Raka kali ini banyak terjadi perubahan, terutama sang Ayah. Biasanya Ayah Raka selalu saja menanyakan Raka terkait hal-hal akademiknya saja, seperti bagaimana nilai-nilainya, bagaimana progres penelitiannya, lalu apa yang sedang ia persiapkan untuk kedepannya, namun kali ini tidak.
Obrolan di meja makan jadi lebih ringan, sang Ayah banyak bertanya hal-hal yang sebelumnya tidak pernah iya tanyakan. Bagaimana kehidupannya selama di Jogja, apakah selama kuliah ia merasa kesulitan dalam menjalaninya, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan yang bukan tipe Ayah Raka.
Sampai tiba di suatu malam, saat mereka sedang makan malam, ayah Raka tiba-tiba membahas hubungan Raka dengan Bella, “Gimana kamu sama Bella?” Tanyanya.
Raka yang saat itu sudah tau Bella memiliki kekasih bingung setengah mati untuk menjelaskannya, “Hmm... baik-baik aja kok, yah.”
“Berarti kamu benar-benar menyanggupi permintaan Ayah Bella?”
“Belum tau yah, Raka masih belum memikirkan itu. Lagian juga kita masih sama-sama muda. Masih banyak hal-”
“Tapi saya dengar dia punya pacar lain?” Belum sempat Raka menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba sang Ayah memotong dengan sebuah fakta yang mengejutkan. Raka hampir saja tersedak liurnya sendiri.
“Kok Ayah tau?” Raka menatap Ayahnya bingung.
“Jadi kamu akan tetap sama Bella? Meskipun tau dia sudah punya pacar lain?”
“B-bukan gitu yah...” Raka mulai kebingungan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Ayahnya.
“Kamu ini masih saja tidak punya pendirian, jadi apa mau-mu sebenarnya?” Raka hanya terdiam.
“Lalu gimana dengan Rinjani-Rinjani itu?” Tanya sang Ayah sambil masih menyantap hidangannya.
Kali ini wajah Raka terangkat, mendengar nama itu keluar dari mulut Ayahnya membuatnya terkejut.
“Raka udah nggak pernah berhubungan sama dia lagi yah! Ayah kan udah janji sama Raka! Kalo Raka ikutin apa mau Ayah, Ayah nggak akan ngapa-ngapin Jani?!” Nada bicaranya mulai meninggi.
Kini giliran sang Ayah yang menatap sang anak, “Kamu tuh jadi lebay sekali ya, saya kan cuma nanya. Nggak ada saya bilang mau ngapa-ngapain dia?!”
Raka menyadari, responnya memang sangat berlebihan.
“Maaf yah,”
“Gimana kabarnya?”
Kini tidak hanya Raka, namun seisi meja, yaitu sang Ibu dan anak perempuannya pun ikut terkejut. Yang ditanya hanya diam termanggu.
“Saya tanya kamu, gimana kabarnya?”
“O-oh? Nggak tau yah, tapi kayaknya baik.”
Sang Ayah tertawa kecil, “Benar rupannya, kamu tidak tau apa-apa tentang dia.”
“Apa maksudnya, Yah? Ayah beneran nemuin Jani???”
“Sudah, habiskan dulu makananmu. Jangan membuat keributan di meja makan!”
“Yah!!”
Sang Ayah hanya diam melanjutkan makannya, meninggalkan Raka yang masih penasaran dengan ucapan sang Ayah Terakhir.
“Yah...” Raka menghampiri Ayahnya ketika sedang merokok di halaman depan rumahnya, lantas duduk di sampingnya.
“Mau nanya apa kamu?”
“Ayah beneran nyamperin Jani kaya dulu Ayah nyamperin pacar mas Habil?”
“Kalo saya bilang nggak juga kamu nggak akan percaya kan?”
“Tapi gimana Ayah bisa tau keadaan Jani?”
flashback
“Maaf bu, karena penerbangan kali ini full pax, jadi kita tidak bisa memindahkan ibu ke kursi lain.” Ujar salah satu pramugari di dalam pesawat.
“Tapi anak saya masih kecil mba, nggak mau di pisah. Nanti kalau nangis malah nggak enak sama penumpang lain.” Ujar salah seorang ibu yang kursinya terpisah oleh sang anak.
Tiba-tiba salah seorang perempuan bangun dari kursinya, “Ibu di kursi saya aja, biar saya yang pindah ke kursi ibu.”
Rinjani bangun dan pergi menuju kursi milik ibu tadi, diantar oleh pramugari tadi. “Silahkan kak, kursi 19F di ujung ya kak.”
Setelah mendapatkan kursi pengganti Rinjani langsung duduk, selang beberapa menit ada seorang pria paruh baya yang duduk di sampingnya. Ia menyadari, bahwa pria tersebut merupakan pria yang sejak di ruang tunggu memperhatikannya.
Ia semakin merasa tidak nyaman dan langsung menghubungi Dika, namun karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk ia pindah tempat duduk, akhirnya dengan berat hati Rinjani hanya sibuk melihat ke luar jendela disampingnya.
Sampai take off, semua terlihat baik-baik saja, para pramugari mulai membagikan snack dan minuman kepada penumpang. Jani yang sedang pura-pura tertidur, dibangunkan oleh pria di sebelahnya, “Mba...mba...”
Ternyata lelaki paruh baya tadi membantu pramugri yang ingin menawari Jani minuman, diselimuti kecanggungan, Jani hanya berusaha bersikap senatural mungkin.
“Kamu kuliah di Semarang, Mba?” Lelaki tersebut membuka pembicaraan.
Jani yang terkejut menoleh, “E-eh? Iya Pak, saya kuliah.”
“Sudah kuliah semester berapa?”
Percakapan berlanjut, suasana canggung diantara keduanya sudah hilang. Mereka saling berbagi cerita dan pengalaman sampai lelaki tersebut bertanya, “Itu foto di ponsel mba, pacarnya ya?” Secara reflek Jani mengambil ponsel yang ia letakkan di meja kecil di depannya.
“Ahh... hahaha, bukan Pak, cuma temen aja.” Ucapnya canggung.
“Wah temennya beruntung banget punya temen kaya kamu, sampai di jadikan wallpaper...” Ledek bapak tersebut.
Jani ikut tertawa, jawabannya tidak masuk akal memang, “Sebenernya bukan temen juga sih Pak, ini cowo yang pernah saya sayang, dan masih sampai saat ini hehehe...”
Entah dari mana keberanian itu muncul, Jani memulai bercerita tentang kisahnya dengan orang yang baru ia temui dan sempat ia curigai awalnya.
“Loh? Kamu suka sama dia tapi nggak pacaran kenapa? Dia nggak suka sama kamu?”
Jani tertawa kecil, menyadari realita pahit itu, “Hmm... kayaknya sih gitu Pak, sekarang dia udah punya pacar juga, tapi saya aja yang belum bisa ngelupainnya.”
“Emang dia udah ngelakuin apa aja sampai kamu nggak bisa lupain dia?” Tanya si Bapak penasaran.
“Hmm... banyak banget, kita dulu waktu SMA pernah deket, tapi entah kenapa tiba-tiba dia ngejauh dari saya. Kita udah nggak pernah berhubungan lagi setelah dia nyuruh saya buat nggak nunggu dia...”
Menceritakan hal tersebut membuat memori masa lalunya yang kelam kembali muncul, rasa sakit yang begitu dalam ia rasakan kembali terkuak.
“Tapi kenapa kamu masih sayang sama dia?”
Jani terdiam, mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.
“Karena cinta?”
Kini giliran Bapak itu yang terdiam, mendengar jawaban dari perempuan cantik di sampingnya ini membuatnya merasa berat hati.
“Meskipun saya tau dia sudah punya yang lain, tapi jujur, di dalam hati saya yang terdalam, saya masih berharap banyak sama dia, Pak. Saya percaya kalau suatu saat dia akan balik lagi ke saya” Lanjut Jani.
“Karena entah segimanapun cara saya buat lupa sama dia, pada akhirnya saya selalu gagal. Lagi-lagi saya jatuh cinta sama dia. Sampai akhirnya saya merasa lelah untuk berusaha terus-menerus melupakan dia, dan akhirnya saya hanya bisa menerima semua keadaan ini,”
“Saya tetap hidup ngejalanin apa yang saya hadapi, tanpa berusaha buat lupain dia.”
“Maaf ya nak, saya tidak tahu ada perempuan sebaik dan setulus kamu.” Ucap sang Bapak.
“Loh? kok Bapak yang minta maaf sih? Hahahah. Emang Bapak salah apa?” Jani terheran mendengar ucapan sang Bapak.
flashback end
“Saya pikir selama ini dia tidak pernah baik-baik saja, saya tau dari suaranya yang bergetar saat menceritakan sosok laki-laki di wallpaper ponselnya.” Ucap Ayah Raka.
”...” Raka terkejut dengan cerita sang Ayah.
“Saya tidak pernah menyesal mendidik kamu dengan keras selama ini, karena saya mendidik kamu dengan keras bukan tanpa alasan, saya paham betul apa yang saya lakukan,” Sang Ayah menghela nafasnya.
“Tapi jujur, saya menyesal pernah mengambil keputusan yang mungkin membuat orang lain menanggung akibatnya. Mungkin karena keputusan saya, beberapa tahun terakhir ini tidurnya tidak pernah tenang, tawanya digantikan oleh tangis,”
Ini adalah kali pertama, Ayah Raka berbincang terbuka dengan Raka sepeninggal Habil, sang anak sulung.
“Sekarang, saya pikir kamu sudah dewasa, sudah bisa bertanggung jawab dengan hal-hal bodoh yang mungin akan kamu lakukan kedepannya. Jadi, silahkan ambil komando hidupmu sendiri, detik ini juga saya lepaskan seutuhnya.”
Air mata Raka lolos begitu saja, ia tidak kuat menahan tangis bahagia atas hal yang beberapa tahun terakhir ia perjuangkan mati-matian. Terbayar sudah semua penantiannya.