Sejak pagi Raka terus memandangi ponselnya, menunggu jawaban pesan dari kekasihnya. Pasalnya, sejak pagi, Jani tidak membalas pesannya. Raka takut kalau saja Jani merasa tidak nyaman karena tempo hari Raka terus memaksanya untuk datang ke wisudanya, sedangkan Rinjani selalu menolak dengan alasan ada pekerjaan kuliah. Padahal, Raka tau kalau Jani masih merasa canggung dan tidak nyaman untuk bertemu dengan keluarganya.

“Bisa meledak tuh HP di pantengin terus dari tadi.” Salah satu teman Raka yang duduk di sampingnya membangunkan Raka dari lamunannya.

“Lebay anjir.” Raka menyengir.

Saat acara dimulai ia mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya.


“Mbak Rinjani, ya?” Salah seorang pengendara taksi online berhenti di depan Rinjani.

“Oh iya pak..” Rinjani lantas masuk ke dalam mobil tersebut.

“Titiknya sudah sesuai ya mba?” Sang pengemudi memastikan kembali tujuannya.

“Iya pak, sudah sesuai. Tapi saya boleh minta tolong buat mampir dulu nggak ya? Nanti saya tambahin gapapa biayanya.”

Mobil tersebut lantas melaju menuju alamat baru yang diberikan oleh Rinjani. Selama perjalanan, ia tidak merasa tenang. Semakin mendekati tujuan, hatinya berdegup lebih cepat.

“Mbanya mau ngehadirin wisuda siapa nih?” Bapak pengemudi itu memecah kesunyian di dalam mobil.

“E-eh? Ohh itu pak, pacar saya.” Jani yang terkejut lantas kembali sadar dari lamunannya.

“Wah, senangnya pacarnya mba ini, wisudanya di datangi perempuan cantik seperti mba, bawa bunga segala, pasti sayang banget ya mbanya ini sama pacarnya? Hihihi...”

Rinjani hanya membalasnya dengan tertawa seadanya, hatinya sedang tidak bisa diajak basa-basi.

Perempuan itu memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan dia hadapi, akankah ia diterima oleh keluarga sang kekasih, atau justru ia akan di usir dan dipermalukan di hadapan orang banyak? Semua kemungkinan itu memenuhi pikirannya.

Ya, benar, Rinjani akhirnya memutuskan untuk menghadiri wisuda kekasihnya itu. Pagi-pagi buta ia sudah berangkat menuju kota tetangga, tempat dimana Raka sedang melangsungkan wisudanya.

“Mba, ini kayaknya macet banget di depan, saya berhentikan di halte depan saja gimana Mba? Kalo nunggu jalan bakal lebih lama, sepertinya ini sudah selesai acaranya juga.” Sang supir menjelaskan.

Rinjani akhirnya mengiyakan, dengan wajah yang jelas-jelas terlihat sangat tegang, ia berjalan menuju pelataran gedung dimana para wisudawan mulai keluar satu persatu dan berhambur dengan keluarga serta teman-temannya.

Ia mencoba menghubungi Raka, mencari tau dimana posisinya. Namun, ponsel Raka mati, ia tidak bisa di hubungi. Lantas Jani hanya bisa berusaha menerobos kerumunan untuk mencari kekasihnya sambil memeluk bunga yang sempat ia beli di perjalanan.

Hampir 10 menit ia masih belum menemukan kekasihnya itu, sudah hampir putus asa dibuatnya. Namun, saat hendak menyerah dan berhenti mencari, tiba-tiba ada seseorang yang menyapanya, “Jani?? Lo kok disini?”.

Itu Bella, teman sekaligus perempuan yang sempat dibenci oleh Rinjani, ia menyapanya dengan senyuman cantiknya, seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu.

“Eh, Bel? Apa kabar?” Sahut Jani yang merasa senang setidaknya bertemu dengan orang yang ia kenal.

“Baik! Lo sendiri gimana?” Balas Bella.

“Baik juga kok!”

“Lo kok sendiri? Raka mana?” Tanya Bella bingung.

“A-ah ini, gue kesini Raka nggak tau. Terus barusan gue hubungin dia nggak bisa, makanya sekarang lagi nyari-nyari.” Jelas Jani.

“OH! Ayo sini bareng gue! Anak teknik biasanya ngumpul di depan kalo habis wisuda.” Ujar Bella sambil menggandeng Jani agar tidak tertinggal.

Jani lantas mengekor di belakang Bella, mereka kembali menembus kerumunan orang-orang. Jani baru sadar, Bella tidak sendiri, ia bersama seorang laki-laki yang ia duga adalah kekasihnya.

Setelah berhasil menembus kerumunan, mereka akhirnya melihat segerombolan wisudawan yang sedang di kelilingi oleh pasukan yang memakai sergam korsa warna senada. Dari kejauhan akhirnya Jani bisa melihat kekasihnya yang sedang tertawa bersama dengan teman-teman dan adik tingkatnya.

“Jan...” Jani menoleh ke arah suara, Bella tiba-tiba memecah atensinya.

“Maafin gue dulu ya, dulu gue bener-bener nggak bisa mikir apa-apa. Gue bener-bener takut sama keadaan, dan saat itu satu-satunya orang yang bisa gue andelin cuma Raka.”

”...”

“Dari dulu Raka nggak pernah naruh hatinya buat siapapun selain lo, Jan. Juga mungkin kalo lo masih inget, dulu gue pernah bilang kalo kita pernah punya hubungan, itu gue bohong Jan.”

Jani menarik lembut lengan Bella, “Gue udah nggak mikirin yang lalu-lalu, Bel. Gue udah tau semuanya dari Raka, dan gue juga nggak nyalahin lo sama sekali. Mungkin kalo gue ada di posisi lo dulu, gue juga akan ngelakuin hal yang sama.”

“Tapi sekarang gue ikut bersyukur, lo udah bisa nemuin seseorang yang bisa ngedampingin lo setulus hatinya, tanpa paksaan siapapun. Gue juga berharap lo bisa menemukan kebahagiaan dengan pilihan lo sendiri ya, Bel.”

Bella memeluk Jani, “Thanks ya Jan, gue juga berharap lo sama Raka bisa selamanya bersatu, dan nggak ada hal lain yang misahin kalian.”

Siapa sangka, di waktu dan tempat yang tidak terduga ini ada hubungan yang kembali terikat, pertemanan antara Jani dan Bella.


“Gue panggilin Raka ya, lo tunggu sini aja.”

Saat dilihat acara “keluarga besar” fakultas sudah selesai, Bella dan sang kekasih berjalan menuju tengah lapangan, menuju segerombolan wisudawan. Sedangkan Rinjani masih dengan rasa gugupnya yang sudah berkurang sedikit karena melihat pancaran wajah bahagia Raka, jalan perlahan ikut menghampiri kekasihnya.

Saat Bella memberitahu bahwa Jani ada di sana, mata Raka langsung mencari keberadaan kekasihnya yang kedatangannya mengejutkannya. Dari jauh ia dapat melihat perempuannya berjalan ke arahnya sambil tersenyum anggun, mengenakan tweed jacket dan skirt dengan warna senada.

Raka berlari menuju Jani, belum sempat Jani mengucapkan selamat, kekasihnya itu sudah terlebih dahulu berlari memeluknya erat, membuatnya mundur beberapa langkah.

“Katanya kamu nggak mau dateng? Aku udah sedih banget padahal!” Raka langsung menyerocos.

“Siapa yang bilang nggak mau? Kan kemarin aku bilang kayaknya nggak bisa.”

Raka melepas pelukannya, melihat ke wajah kekasihnya yang cantik itu, “Aku tau kamu dari awal nolak buat dateng karena belum siap ketemu keluarga aku kan?”

Jani yang mendengar ucapan Raka sedikit terkejut, “Maaf ya.” Ucapnya dengan raut penyesalan.

“Nggak apa-apa, yang penting pacar aku yang cantik ini udah ada di hadapan aku! Makasih banyak ya sayang.” Ucap Raka sambil mengelus surai Rinjani.

“My pleasure, sayang.”


Setelah dibuat lupa sedikit dengan keadaan, kini Jani kembali menegang. Pasalnya, mereka kini sudah dalam perjalanan menuju halaman samping gedung pertemuan untuk bertemu dengan keluarga Raka.

“Jangan takut, Ayah baik orangnya.” Melihat kekasihnya terlihat memucat, Raka hanya bisa menertawai dan menyemangati Jani.

Jani sudah tidak bisa memikirkan apapun, ia hanya fokus berjalan lurus di samping Raka, sampai, “Mas Raka!!” Dari kejauhan ada perempuan cantik yang melambaikan tanggan ke arah mereka, Jani yakin itu Bella, dan kedua orang tua mereka.

Sesampainya bertemu dengan keluarga Raka untuk yang pertama kalinya, mereka langsung bergantian memeluk anaknya yang telah diwisuda tersebut.

“Selamat ya, Mas. Kamu berhasil sampai sejauh ini.” Sang Ayah terlebih dahulu memeluk dan memberi selamat.

Lalu sang ibunda, “Mas, mamah bangga sekali sama kamu. Selamat ya Mas, sudah menyandang status sarjana dan menjadi salah satu mahasiswa terbaik.” Mendengar itu Jani memandang ke arah Raka, tidak ada habis-habisnya Raka membuatnya merasa kagum.

“MAS!!!! SELAMAT YAAA!!!” Terakhir, giliran adik perempuannya yang langsung memeluk erat kakak laki-lakinya. Sangat terlihat jelas, hubungan baik antar keduanya.

Setelah mereka semua menyelamati Raka, secara refleks mereka semua menoleh tipis ke arah Rinjani, seakan bertanya “Siapa perempuan ini?”, meski nyatanya tidak, mereka semua tentu sudah tau dan mengenal Rinjani, meski tidak secara langsung.

“Yah, Mah, Lan, kenalin ini Rinjani, pacar Raka.” Ucap Raka.

Dengan sedikit terbata-bata, Rinjani memperkenalkan dirinya, “Halo, Om, Tante, Bulan, saya Rinjani.”

Inilah saat-saat yang sangat ditakuti Jani, yaitu saat-saat menunggu respon orang tua Raka terhadapnya.

Lelaki paruh baya di hadapannya berjalan maju ke arahnya, “Halo Rinjani, yang mungkin sudah lupa saya?” Sambil tangannya mengulur ke arahnya.

“E-eh? G-gimana maksudnya Om?” Sambil tangannya membalas salam dari ayah Raka.

Yang ditanya tidak menjawab, hanya menjauh sambil melemparkan senyuman hangat.

Belum sempat memproses keadaan, kini giliran sang ibunda yang berjalan menghampiri Jani, namun betapa terkejutnya, perempuan itu memeluk anak gadis di samping Raka yang justru diam mematung.

“Halo Rinjani, tante senang akhirnya kesempatan untuk bertemu kamu secara datang juga. Terima kasih ya nak, sudah bertahan sejauh ini.” Ucap sang ibunda sambil mengelus punggung Rinjani lembut.