Selama perjalanan mood jani sedang pada keadaan yang sangat baik, mulutnya melakukan banyak sekali perkejaan, mengeluh tentang liburannya yang sangat membosankan, makan snack yang ia beli di minimarket, bersenandung ria. Ia pergi dalam keadaan tanpa beban.
Dika mengendarai mobilnya dengan cepat, tidak terasa dua jam lewat mereka sudah sampai di daerah Yogyakarta. Sesampainya di sana, Dika membangunkan Jani yang terlelap di kursi penumpang.
“Jan, bangun ayo sarapan dulu!” Ucap Dika lembut.
“U-uudah nyampeee?” Jani menggeliat, menegakkan sandaran kursinya.
“Udah, makan dulu ayo.”
Mereka memasuki salah satu rumah makan yang menyediakan khas masakan daerah tersebut, tepat disamping sebuah Universitas besar.
“Kok lu tau tempat makan gini sih Kak?”
“Semua orang yang ke Jogja juga tau kali Jan tempat ini mah...”
“Kok gue gatau ya?”
“Lu mah taunya apa sih, di jalan tadi ada kuda ngamuk aja nggak tau kan lu?”
“HAH??? DEMI APAA??” Jani terkejut, membuatnya menghentikan suapan makanannya.
“Makanya jangan tidur mulu! Katanya mau liburan...”
“Ya gimana, gue gabisa tidur dari semalem saking excitednya tau gaa!”
“Lebayy...”
Mereka melanjutkan makannya. Setelah selesai makan dan membayar, mereka kembali lagi ke dalam mobil. Bukan langsung pergi, Dika justru sibuk dengan handphone di tangannya.
“Kok nggak berangkat?” Tanya Jani mendesak tidak sabar.
“Bentar, gue lagi ngehubungin temen gue dulu.” Ujar Dika sambil tangannya masih sibuk mengetik.
“Oiya ya, kita mau ketemu temen lu dulu. Btw, siapa deh temen lu? Gue kenal?”
“Hmm... kenal.”
“Hah? Siapaaa?” Jani kaget mendengar jawaban Dika, pasalnya ia mengira bahwa teman yang ingin ditemuinya adalah teman rumah atau SMPnya.
Dika tidak menjawab pertanyaan Jani, ia menengok ke arah Jani yang masih menunggu jawabannya.
“Raka...”
Jani terdiam, saking terkejutnya ia sampai tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Dalam pikirannya kini ia sedang sibuk menerka-nerka, 'sejak kapan Dika punya hubungan se-deket itu sama Raka?'
“Kok bisa?”
“Bisa apannya?” Tanya Dika bingung.
“Temenan sama Raka??”
“Udah lama sih sebenernya...” Jani terdiam, banyak hal yang tiba-tiba melintas ke dalam pikirannya.
“Terus gue gimana?”
“Gimana apanya?”
“Ya gimana gue ketemu Raka!!!”
“Ya tinggal ketemu aja...kan?”
“KA DIKAAAA!!!!!!” Jani memukul tangan Dika dengan keras, pikirannya telah kembali, dan ia mulai panik.
“Gapapa kan?” Tanya Dika.
“Gue nggak mau ikut turun.”
“Kenapa?”
“Kok lu pake nanya kenapa sih? Gue selama ini mati-matian berusaha buat ngelupain dia, lu tau sendiri kak gimana gilanya gue! Tapi sekarang lu malah buat gue ketemu lagi sama dia?!”
Dika duduk menghadap ke arah Jani, “Jan, lu ngerasa kan kalo selama ini lu hanya berdiri diam di satu titik, dan nggak pernah pergi barang se-inchi-pun?”
”-tau kenapa?” Tanya Dika.
”...” Yang ditanya hanya terdiam.
“Karena baik lu ataupun Raka, dari awal nggak pernah ada kata jelas. Semuanya menggantung di langit-langit hati kalian masing-masing. Kalo lu mau beban di hati lu hilang, maka selesein, Jan.”
Jani masih terdiam, sudah lama sekali ia tidak di hadapkan dengan sebuah pilihan yang berhubungan dengan Raka.
“Tapi kan dia yang ninggalin gue kak, apa lagi yang mau di selesein dari kita? Bagi dia mungkin kisah kita udah selesai dari lama, dan emang hanya gue yang masih memilih buat diam di tempat itu. Hadirnya gue lagi juga nggak akan ngerubah apa-apa, dan mungkin malah akan lebih nyakitin buat gue nantinya!”
“Lu nanya langsung ke Raka tentang perasaannya?”
Jani menoleh, “Kak, Raka udah punya Bella. Gue nggak mau ngerusak apapun dari hubungan mereka. Gue tau banget rasanya diusik, dan gue nggak mau jadi pengusik.”
“Gue nggak akan maksa lu, Jan. Gue cuma mau bantu lu aja biar bisa keluar dari semua ini. Karena gue tau banget gimana perjuangan lu selama ini, makanya gue mau lu buat selesein semua ini.”
Keduanya lalu terdiam, Dika memberikan waktu untuk Jani berpikir lebih dalam.
“Kalo lu nggak mau turun gapapa kok, nanti gue aja yang ketemu dia.”
Sejujurnya di dalam hati Jani terdalam, ingin sekali rasanya melihat Raka secara langsung. Ada rindu yang tiba-tiba kembali merabung setelah sekian lama ia simpan rapat-rapat.
“Tapi gue mau nitip bunga...” Jani bersuara.
“Oke, kita cari florist dulu.”
Dika langsung kembali melajukan mobilnya meninggalkan.