seribu maaf

Jani berjalan melewati lorong menuju mabes, seperti biasa, suasana di sekitar sangat sepi. Jam menujukkan pukul 09.15 WIB, namun belum ada satupun siswa yang keluar dari ruang ujiannya. Sepertinya soal-soal kali ini lebih sulit dibanding perkiraan, karena Dika yang sebelumnya yakin bahwa jam 09.00 sudah selesai, sampai sekarangpun belum terlihat.

Jani menyusuri lorong sambil tangan kanannya menggenggam susu strawberry kesukaanya.

Saat hendak berbelok ke koridor mabes, Jani berpapasan dengan seorang laki-laki yang belakangan menjadi sangat sulit dicari keberadaannya. Namun betapa terkejutnya Jani, melihat lelaki di hadapannya tersebut memiliki banyak luka lebam di wajahnya.

“Kak Raka kenapa?!!” Jani menghampiri Raka.

Raka yang terkejut dengan keberadaan Jani langsung menoleh, membalikkan badannya untuk menghindari Jani, menyadari kini ia tidak memakan penutup wajah sama sekali. Namun usahanya sia-sia, Jani sudah melihatnya.

Jani menarik lengan Raka, sedangkan Raka hanya bisa tertunduk, masih berusaha keras menutupi wajahnya.

“Kak Raka kenapa? Ngomong!!” Jani mengangkat wajah Raka secara perlahan. Air matanya lolos begitu saja.


“Udah jangan nangis, gue gapapa Jani...” Kini keduanya sedang terduduk di salah satu satu kursi panjang di depan ruang kesehatan. Raka sudah menyelesaikan ujiannya terlebih dahulu, berniat untuk pulang lebih awal.

“Kenapa bisa begini mukanya? Siapa yang mukulin Kak Raka? Kang Dika?!!” Tanyanya sambil sesegukan.

“Nggak, bukan Dika kok.” Raka menghapus air mata Jani.

“Terus siapa?”

Raka tidak bisa menjawab pertanyaan Jani.

“Gue ceritain lain kali aja ya, karena sekarang kita udah ketemu, ayo selesaiin yang kemarin.” Ucap Raka.

“Kak Raka, maaf ya Jani udah egois banget kemarin. Padahal bukan salah Kak Raka, tapi Jani malah marah-marah nyalahin Kak Raka. Maaf udah ngediemin Kak Raka juga, niatnya cuma biar kita sama-sama adem dulu, eh malah lama banget,”

“Maaf juga Kak Raka jadi kena pukul sama Kang Dika gara-gara Jani, apa mungkin luka yang banyak ini juga gara-gara Jani?” Jani kembali meneteskan air matanya. Hatinya benar-benar hancur melihat keadaan Raka sekarang.

Tulang pipinya lebam berwarna ungu, pelipisnya terlihat seperti luka yang cukup dalam. Dan di sisi bibirnya masih terlihat jelas, itu luka karena Jani.

“Nggak ada yang gara-gara Jani, gue dapetin ini semua karena kesalahan gue sendiri.” Raka mengelus surai hitam Jani, masih berusaha menenangkannya.

“Maaf ya Kak Raka, semenjak kenal Jani kayaknya ada aja hal buruk yang nimpa Kak Raka.”

“Apasih! Kenapa ngomong gitu?!”

“Tapi emang bener, mulai dari Kak Raka nggak lolos olim, terus nilai-nilai Kak Raka turun, bahkan sampai di hukum gara-gara berantem. Emang bener kata guru-guru, Jani bawa pengaruh buruk buat Kak Raka.”

“Jani, gue bener-bener sedih dan marah kalo lo mikir kaya gitu. Lo nggak pernah bawa pengaruh buruk apapun ke gue. Gue nggak pernah berpikiran kaya gitu, lo bawa bahagia buat gue,”

“Kalopun gue nerima hal buruk karena lo, gue akan terima itu dengan ikhlas.”

Yang mendengarnya justru makin larut dalam tangisannya.

“Maafin gue juga ya Jani, kemarin bukannya melarutkan masalah malah ikut kebawa emosi juga. Maaf gue nggak mikir panjang tentang hubungan senior junior lo sama Dika, cuma gue bener-bener pengen lo diperlakukan dengan baik sama Dika dan senior atau temen-temen lo yang lain.”

“Kak Raka jangan minta maaf, Kak Raka nggak salah apa-apa. Jani yang harusnya minta maaf ribuan kali.” Tanginya bukan berhenti, malah semakin menjadi-jadi.

Kalau saja mereka sedang tidak ada di sekolah, mungkin Raka sudah menarik Jani ke dalam pelukannya. Jujur, ia pun merindukan perempuan dihadapannya ini.

“Udah ya, jangan nangis lagi. Nanti gue dikira habis malakin lo nih...” Raka mencoba mencairkan suasana.

“Lukanya ayo diobatin...” Ajak Jani sambil mengelap air matanya.

“Nanti gue obatin sendiri di rumah kok, lo mau pergi kan sama Dika?”

Jani kembali menangis, “Kak Rakaaa maaf udah nyuruh obatin lukanya sendiriiii...”

“Hehhh!! udah jangan nangis!!”

“Jani nggak jadi pergi, mau ngobatin luka Kak Raka aja...”

“Lah? Jangan gitu dong, kan udah janji sama Dika duluan.”

“Bentar Jani mau ijin dulu.”