Setelah mendapat pesan dari Jani, Dika langsung membangunkan Raka, yang kini sedang menumpang tinggal sementara di kosnya.
“Woy!” Dika menendang pelan kaki Raka.
“Emmm…” Raka tidak bergeming, hanya bersuara
“Ini Jani,”
Sedetik kemudian nyawanya langsung penuh, duduk tegak menghadap Dika menampakkan wajah berantakannya.
“Mana?” Tanya Raka.
“Ya di kosannya lah…”
Raka hanya melemparkan tatapan sinisnya, “Lu kalo mau bercanda ntar dulu ya, gue masih ngantuk banget sumpah.” Lalu ia melanjutkan tidurnya.
“Ini anaknya minta jemput gue, motornya mogok lagi. Gimana nih?”
Raka bangun kembali dari tidurnya, kini ia seratus persen telah tersadar.
“Yaudah jemput lah.” Ujar Raka.
“Katanya sekarang Jani udah mau lu jagain sepenuhnya? Giliran suruh gerak malah nyuruh gue?” Dika mengomel.
“Ya maksud gue besok gitu, ini gue mesti harus adaptasi dulu lah minimal.”
“Udah deh lu majuin aja tuh proses-proses lu, keburu Jani di gebet orang lu ntar depresi lagi. Ini ada kating fakultasnya dia yang kayaknya lagi balik deketin dia lagi, malah sekarang jadi asdos penyusunan proposalnya pula,” Jelas Dika.
Raka yang mendengarnya menjadi bimbang, sepertinya untuk kembali lagi seperti dulu akan terlihat sulit, mengingat tempo hari saat keduanya bertemu saja Jani menghindari Raka.
“Dah lu jangan banyak mikir, kasian ntar anaknya telat juga. Gue mau berangkat duluan, kelas gue lima menit lagi,” Dika melenggang keluar kamarnya.
“Jangan lupa kunci ya!”
Raka masih teduduk termenung, memikirkan apa yang harus ia lakukan, kini ia sudag menggenggam ponselnya, siap menghubungi Rinjani.