Setelah mendengar kabar dari Dika, Raka langsung melajukan mobilnya melesat melewati ramainya kota malam itu. Meskipun apartement Raka tidak jauh, namun keramaian malam itu terbilang sulit untuk di tembus.

Sepanjang jalan Raka terus menerus menelpon Rinjani, namun tidak ada balasan sama sekali dari perempuannya. Raka hanya bisa berteriak frustasi dalam mobilnya, merasa tidak berdaya di kemacetan tersebut.

Ia berpikir bahwa dengan adanya dia di dekat Rinjani, mungkin akan membuat perempuan yang ia sayangi itu menjadi aman. Namun ternyata tidak, bagaimana bisa Raka melindungi Rinjani ketika ia saja selalu bimbang ketika ingin menghubungi Rinjani kembali.

Setelah berhasil menembus kemacetan, Raka langsung memarkirkan mobilnya asal dan masuk ke dalam bar tersebut, ia mencari ruangan yang sebelumnya sudah di kirim oleh Dika.

Tanpa basa-basi setelah ia menemukan ruangan tersebut, ia langsung membuka paksa ruangan di depannya, dan ia mendapati hatinya terasa sakit sekaligus marah. Wanita yang selama ini ingin ia jaga sepenuh hati sedang berada di samping laki-laki brengsek yang menggodanya.

“Kak Raka?” Jani sangat terkejut melihat Raka di depannya, ia langsung menangis dan hendak berdiri, namun tangannya di tahan oleh Randy.

“Lepasin dia, selagi gue masih ngomong baik-baik.” Ucap Raka yang masih berdiri di ujung pintu.

“Lo siapa? Ada urusan apa disini?”

Raka yang sudah kehabisan kesabaran karena kemacetan tadi tidak lagi berbasa-basi, ia maju menaiki meja marmer di hadapannya dan langsung menendang wajah Randy.

Laki-laki itu lantas tak sadarkan diri, Raka benar-benar menendang wajah Randy tepat di wajahnya menggunakan sepatu boots lapangannya. Genggaman tangan Randy dengan Rinjani terlepas, dan Raka langsung menarik Rinjani keluar dari ruangan tersebut. Namun ternyata tidak semudah itu, kacung-kacungnya masih punya nyawa untuk meladeni Raka. Salah seorang teman Randy menghalangi Raka dan Rinjani di depan pintu.

“Gue udah nggak ada tenaga banget buat ngeladenin lo semua, jujur. Mending udah ya, sebelum gue sebar foto lo semua dan sampe ke dekan rektor univ lo?” Ucap Raka sambil mengambil gambar para penjahat tersebut.

“Gue tau lo semua udah di tahap akhir kan? Dari pada usaha lo selama ini ancur karena kasus ini kesebar? Gamau kan lo?”

Yang awalnya Raka berpikiran akan menjadi malam yang panjang untuk meladeni segerombolan nyamuk ini ternyata salah, mereka tidak sebernyali itu. Dengan sedikit ancaman dari Raka, nyali mereka menciut dan kembali terduduk.


Raka langsung membawa Jani menuju mobilnya, dan meninggalkan daerah tersebut. Keduanya tidak berbicara sama sekali, Jani yang menahan tangisnya dan Raka yang masih dengan pikiran yang panas.

Setelah menembus keramaian kota, mereka akhirnya sampai di depan kost Jani. Raka sadar bahwa seharusnya ia menanyakan keadaan Rinjani terlebih dahulu, namun karena emosinya ia hanya berdiam diri sepanjang jalan.

“Maaf, aku kebawa emosi.” Raka menghadapkan diri ke arah Rinjani. “Kamu gapapa?”

Tangis yang sedari tadi ia tahan akhirnya lolos, “Aku takut banget...”

Raka langsung menarik Jani ke dalam pelukannya, dan Rinjani menangis sejadi-jadinya. Saat ini pikiran Rinjani sedang kusut dibuatnya, disamping ia masih gemetar karena kejadian tadi, ia juga merasa bahagia bahwa ada Raka di sampingnya.

“Maafin aku ya, nggak bisa jagain kamu.” Ucap Raka sambil mengelus rambut Jani.

Jani tak menjawab apa-apa, kehadiran raka sudah cukup baginya.

Setelah dirasa cukup tenang, Jani melepaskan pelukannya dan menghapus air mata yang sudah membasahi baju Raka.

“Kamu gapapa kan? Nggak ada yang luka?” Tanya Raka memastikan.

Jani hanya menggeleng, nafasnya masih tersenggal karena tangisannya.

“Aku takut...” Jani memberanikan diri berbicara.

“Kamu lagian kenapa bisa-bisanya kesana? Kamu kan tau sendiri kena asap rokok aja kamu nggak bisa? Ini pake segala mau-mau aja diajak ke tempat kaya gitu?!”

Jani menoleh ke samping, “Kamu pikir aku mau ke tempat gituan?! Aku dipaksa sama dia! Aku udah nolak berkali-kali, tapi aku takut! Aku nyoba buat ngehubungin Dika siapa tau dia bisa bantu aku, tapi nggak bisa di hubungin! Setiap aku mau pergi, aku selalu di tahan sama dia! Dan kamu masih bisa bilang aku mau-mau aja diajak ke tempat kaya gitu?”

“Nggak, ak-”

“Kamu nggak tau apa-apa tapi bisanya selalu nyalahin aku, dari dulu kayaknya emang aku nggak pernah bener ya di mata kamu! Sampai dengan gampangnya kamu ninggalin aku secara sepihak tanpa kejelasan?”

Jani yang tersulut semosinya langsung keluar dari mobil meninggalkan Raka diiringi tangisan yang semakin menjadi-jadi. Sedangkan Raka sangat merasa bersalah telah berbicara tanpa pikir panjang yang menyakiti hati Jani.