Tentang Raka

tw // car accident , mentioning of die

Malam itu, malam dimana gue 'terpaksa' memutus hubungan yang belum sempat dimulai antara gue dengan Jani, terjadi bukan tanpa sebab.

Setelah dapet kabar kalo nyokapnya Bella meninggal, gue langsung balik arah ke rumah sakit. Bella udah jatuh nangis di depan kamar nyokapnya. Pikiran gue kalut, satu sisi gue harus nenangin Bella, satu sisi lagi gue mikir gimana ngejelasin keadaan ke Rinjani.

Tapi yang bikin semuanya lebih rumit adalah kehadiran Ayah gue yang tiba-tiba itu. Seharusnya Ayah balik beberapa bulan kemudian, tapi entah karena alasan apa, beliau sudah hadir berdiri di depan gue saat itu.

Ayah narik gue waktu nyokap sama Bella lagi ngurusin administrasi rumah sakit, gue di tarik ke salah satu lorong gelap yang nggak tau menuju ke arah mana. Beliau nampar gue, bahkan saat itu tamparannya udah nggak terasa sama sekali di pipi gue. Saking terbiasanya.

“Mau kemana kamu tadi?!” Beliau nggak berteriak, sadar kalau ini di rumah sakit.

“Ada urusan sebentar Yah.” Ucap gue yang nggak berani natap wajah beliau.

“Urusan apa?!”

“Ada yah.”

“Apa? Saya tanya sama kamu Adraka!” Beliau mulai narik kerah baju gue.

“Bukan apa-apa yah.”

“Siapa? Rinjani?”

Gue langsung mendongak begitu denger nama Rinjani keluar dari mulut beliau. Gue kaget setengah mati, gimana caranya beliau ini bisa tau Rinjani.

“Siapa Rinjani ini sampai bisa membuat seorang Adraka mendongakan kepalanya di depan saya?”

“Bukan siapa-siapa yah, cuma adik kelas aja kok.”

“Adik kelas macam apa Rinjani ini sampai membuat kamu banyak berubah seperti ini?”

“Yah! Rinjani bukan siapa-siapa!” Gue mulai meninggikan suara.

“Kalau bukan siapa-siapa, jauhkan dia.”

“Kenapa sih Yah? Sekarang Raka mau temenan sama siapa aja juga jadi urusan Ayah?!”

“Dia yang sudah buat kamu berubah Adraka! Nilaimu turun! berantem sampai di hukum! Selalu pulang malam! Apa lagi yang kamu dapatkan dari berteman dengan dia?”

Gue nggak bisa jawab pertanyaan Ayah, gue yakin banget kalo Ayah tau banyak tentang gue dan Rinjani, entah dari mana.

“Kamu tau kan saya bisa lakukan apa saja yang saya mau?!”

Begitu beliau ngucapin kalimat itu gue langsung berlulut di depannya, gue tau banget kalo kalimat itu bukan sekedar kalimat buat nakut-nakutin gue, beliau pernah ngelakuin itu ke Mas Habil.


flashback

Cerita tentang Mas Habil, mungkin yang kalian tau gue cuma dua bersaudara, gue dan adik gue Bulan. Tapi enggak, gue sempet punya kakak laki-laki yang bernama Mas Habil.

Tapi sayangnya, Mas Habil sekarang udah nggak ada di tengah-tengah kita, dia udah pergi ninggalin kita semua.

Kepergian Mas Habil jadi salah satu penyebab berubahnya sikap Ayah gue jadi makin nggak terkendali. Dulu kita semua hidup dengan rukun, Ayah nggak pernah marah-marah, tapi sifat tegasnya emang udah ada dari dulu.

Ayah selalu membanggakan Mas Habil di depan keluarga besar dan teman-temannya, Mas Habil ini sosok paling sempurna yang gue kenal, pinter, well mannered, ganteng, kaya semua hal baik ada di dia. Yang bikin Ayah makin bangga-banggain Mas Habil salah satunya yaitu karena Mas Habil nggak pernah ngelawan perintah Ayah.

Waktu gue disuruh Ayah untuk ngejauhin Rinjani, gue sedikit deja vu. Gue inget banget dulu pernah ada kejadian yang sama, tapi bukan di diri gue melainkan Mas Habil. Dulu Mas Habil juga pernah diperintahkan Ayah sama seperti gue sekarang.

Mas Habil pernah nolak perintah Ayah yang nyuruh dia buat lanjutin kuliah di Jerman, alhasil Ayah bertindak, beliau pergi ke rumah kekasih Mas Habil saat itu yang diduga jadi salah satu alasan kenapa Mas Habil tetap mau melanjutkan studinya di tanah air.

Ayah pergi tanpa sepengetahuan Mas Habil. Alhasil hubunga Mas Habil dan kekasihnya kandas, Mas Habil diputus secara sepihak oleh kekasihnya dulu. Hal tersebut mengganggu pikirannya dan akhirnya mau nggak mau Mas Habil berangkat ke Jerman untuk ngelanjutin studinya.

Sampai pada saat tahun ketiga kuliah, Mas Habil pulang ke Indonesia. Berniat untuk melepas rindu setelah tiga tahun tidak pulang sama sekali, dan kebetulan juga saat itu bertepatan dengan ulang tahun gue yang nggak lama lagi.

Namun nahasnya, saat perjalanan menuju bandara, taxi yang ditumpangi Mas Habil terlibat kecelakaan beruntun. Saat mendengar kabar bahwa Mas Habil mengalami kecelakaan, Mamah langsung terbang menuju Jerman sendirian, karena posisi Ayah yang sedang berlayar dan gue yang masih sekolah diminta untuk menemani Bulan di rumah.

Mas Habil sempat kritis beberapa hari di rumah sakit dan berakhir meninggal. Gue nggak bisa apa-apa saat itu cuma bisa nangis dan nenangin Bulan yang juga ikut terpukul mendenga kabar tersebut.

Mas Habil dikubur di Jerman, karena keadaannya yang nggak memungkinkan untuk dibawa ke Indonesia. Setelahnya disitu semua berubah, saat pertama kali Ayah pulang ke rumah selepas Mas Habil meninggal, beliau berubah derastis.

Ayah jadi lebih banyak diam dan nggak berbicara ke gue pun Bulan. Sampai pada saat kita lagi makan malam di meja makan, Ayah bicara. Beliau bilang kalau kepergian Mas Habil semua gara-gara gue.

kalau aja kamu nggak minta-minta Habil untuk pulang, mungkin dia nggak akan pergi ninggalin kita semua

Sebenarnya saat itu Ayah udah melarang Mas Habil untuk pulang dulu, karena juga posisinya Ayah sedang tidak ada di rumah maka kepulangannya pun tidak bisa mengobati rasa rindu Ayah.

Tapi bodohnya gue yang gatau apa-apa, merengek minta Mas Habil untuk pulang karena sudah lama sekali tidak bertemu.


“Raka udah nggak bahagia sama sekali hidup di dunia ini. Yah, bunuh Raka aja, Yah,” Gue masih berlulut di depan Ayah.

“Raka selama ini udah berusaha mati-matian untuk ikutin semua kemauan Ayah yang minta Raka untuk gantiin posisi Mas Habil! Tapi Raka bukan Mas Habil, Yah!”

Air mata gue mulai menetes, gue merasa bener-bener sedang berada di titik terrendah.

“Yah, jangan lakuin hal yang Ayah lakuin ke pacar Mas Habil dulu ke Rinjani, Yah. Dia beneran nggak ada hubungannya sama kelakuan Raka!”

“Nggak! Untuk kebaikan anak-anak saya, semua hal yang mengganggu nggak akan saya biarkan!”

Entah dapat keberanian dari mana gue bangun, “Kebaikan anak-anak Ayah? Nggak yah, ini semua semata-mata hanya untuk ego Ayah, sama sekali bukan untuk kebaikan anak-anak Ayah!”

”-Mas Habil pergi ninggalin kita semua bukan karena Raka ataupun kecelakaan itu yah! Itu semua gara-gara Ayah! Ayah yang maksa Mas Habil untuk kuliah di sana! Kalo aja Ayah nggak maksa Mas Habil untuk kuliah disana, sekarang Mas Habil masih ada di tengah-tengah kita!”

Beliau cuma diam, nggak menjawab satupun perkataan gue, raut wajahnya berubah dan tangannya hanya diam mematung. Gue keluarkan semua emosi yang selama ini penuh di hati, saat itu rasanya gue udah nggak takut kalau aja gue bakal mati dihajar sama beliau.

“Raka udah nggak mau yah ikutin semua perintah Ayah, Raka mau hidup dengan pilihan Raka sendiri!”

“Silahkan, maka kamu tanggung sendiri konsekuensinya.”

“Yah!!!” Untuk pertama kalinya dalam hidup gue ngebentak beliau tepat di depan wajahnya.

“Kamu sudah tidak usah banyak tingah, cukup jalani hidup yang sudah semestinya kamu jalani.”

“Kalo Ayah masih bersih keras nggak mau denger omongan Raka, jangan salahkan Raka kalo Ayah akan kelihangan seorang anak yang Ayah pergunakan, untuk yang kedua kalinya.” Gue melenggang pergi gitu aja, meninggalkan beliau di dalam kegelapan lorong rumah sakit.