tidak tersedia
“Jani!” Dari jauh Dika sudah memanggil juniornya ini.
“Kang, ini tanda tangan dulu cepet!” Belakangan ini Jani menjadi semakin dekat dengan Dika, setelah insiden lomba tempo hari.
“Udah minta Bagas?”
“Udah, tinggal Kang Dika sama Kang Ibra doang yang belum, tapi ini katanya Kang Ibra hari ini nggak bisa ke sekolah, gimana dong? Pak Harsa udah minta hari ini soalnya.” Ujar Jani.
“Kang Ibra lagi dimana katanya?”
“Lagi di SMP 2, ngelatih anak-anak. Mau lomba katanya.”
“Yaudah samperin kesana aja gimana?” Tawar Dika.
“Kang, maaf nih...” Jani melempar senyum yang bermaksud.
“Apa nih? Dah nggak enak firasat gue.”
“Boleh nggak kalo Kang Dika aja yang ke sana?”
“Kan bener...” Tebakannya Dika tidak melenceng, pasti Jani ingin ijin.
“Mau kemana sih emang lu?”
“Ya nggak kemana-mana sih, tapi mau istirahat aja. Belakangan lagi ngerasa capek banget.” Dika paham, perempuan di hadapannya ini memang terlihat berbeda belakangan ini, warna di wajahnya terlihat memudar.
“Kalo nggak kemana-mana temenin gue lah... Nanti gue jajanin deh.” Dika mengajukan penawaran.
“Duh... sebenernya Jani mau pergi sih kang hehehe.”
“Mau kemana sih? Tadi katanya mau istirahat? Bohong ya lu?” Dika menujuk jidat Jani. Mereka terlihat lucu bersama, siapapun yang melihatnya mungkin lupa, kalau dulu mereka pernah berselisih.
“Mau ke pantai kang, udah lama banget nggak kesana. Kangen.”
“Mau ngapain lu di pantai? Sama siapa kesananya?” Dika mulai banyak tanya.
“Kepo nih Kang Dika!!”
“Yaudah gini deh, kita cari Kang Ibra dulu nanti lu gue supirin ke pantai. Dah pilih mau pantai mana aja gue turutin deh.”
Jani sedikit terkejut dengan penawaran Dika. Pasalnya, tujuan Jani ke pantai tidak lain dan tidak bukan adalah ingin melepaskan semua bebannya. Namun, terlihat tidak lucu bukan, apabila tangisannya nanti dilihat oleh seniornya tersebut?
“Nggak usah deh kang, makasih banyak sebelumnya udah mau nawarin. Tapi, pertama Jani nggak enak masa di supirin senior sendiri. Terus kedua, Jani lagi pengen sendirian.”
“Oke, pertama, anggep aja yang mau nganter lu ini bukan senior lu. Hmm.. anggep aja mantan lu deh, eh nggak-nggak kakak kelas lu aja deh. Kedua, nggak bakal gue iyain kalo lu mau ke pantai sendirian. Gila kali.”
Entah mengapa, orang-orang di sekitar Jani jadi lebih terlihat memaksa kalau sudah berurusan dengannya. Mulai dari Keno, Raka, sekarang Dika.
“Udah nggak usah banyak mikir, ayo gue temenin kalo lu mau nangis-nangisan di pantai. Tapi nggak sendiri.” Dika langsung menarik Jani untuk bergegas menemui Kang Ibra terlebih dahulu.
Kini mereka sudah di dalam mobil Jani, akhirnya Dika menitipkan motornya di rumah Rinjani.
Sepanjang perjalanan menuju SMP 2, tempat dimana Kang Ibra berada, mereka hanya terdiam. Tidak ada pembicaraan sama sekali. Merka sama-sama diselimuti kecanggungan. Bagaimana tidak? Saat masih menyandang status sepasang kekasih, hal seperti ini tidak pernah terjadi pada mereka. Namun kali ini, mereka justru dihadapkan pada kecanggungan ini.
“Kenapa harus ke pantai sih, Jan?” Dika membuka percakapan, menghilangkan kecanggungan.
“Hmm... kenapa ya? Gatau juga kang, setiap ke pantai rasanya nyaman aja. Kaya lagi di peluk sama angin pantai.”
“Aneh-aneh banget sih lu, kalo di peluk angin pantai kan bisa sakit. Mending cari yang meluknya bisa nenangin aja.” Ujar dika sambil menatap Jani.
Jani terkekeh, “Yang biasa meluk buat nenanginnya lagi nggak tersedia kang, lagi bertugas nenangin yang lain kayaknya.”
Keduanya terdiam, Dika tau arah pembicaraan Jani, memilih untuk diam saja.