sierrabcde

this spaceships sailing to heaven

Jani berjalan melewati lorong menuju mabes, seperti biasa, suasana di sekitar sangat sepi. Jam menujukkan pukul 09.15 WIB, namun belum ada satupun siswa yang keluar dari ruang ujiannya. Sepertinya soal-soal kali ini lebih sulit dibanding perkiraan, karena Dika yang sebelumnya yakin bahwa jam 09.00 sudah selesai, sampai sekarangpun belum terlihat.

Jani menyusuri lorong sambil tangan kanannya menggenggam susu strawberry kesukaanya.

Saat hendak berbelok ke koridor mabes, Jani berpapasan dengan seorang laki-laki yang belakangan menjadi sangat sulit dicari keberadaannya. Namun betapa terkejutnya Jani, melihat lelaki di hadapannya tersebut memiliki banyak luka lebam di wajahnya.

“Kak Raka kenapa?!!” Jani menghampiri Raka.

Raka yang terkejut dengan keberadaan Jani langsung menoleh, membalikkan badannya untuk menghindari Jani, menyadari kini ia tidak memakan penutup wajah sama sekali. Namun usahanya sia-sia, Jani sudah melihatnya.

Jani menarik lengan Raka, sedangkan Raka hanya bisa tertunduk, masih berusaha keras menutupi wajahnya.

“Kak Raka kenapa? Ngomong!!” Jani mengangkat wajah Raka secara perlahan. Air matanya lolos begitu saja.


“Udah jangan nangis, gue gapapa Jani...” Kini keduanya sedang terduduk di salah satu satu kursi panjang di depan ruang kesehatan. Raka sudah menyelesaikan ujiannya terlebih dahulu, berniat untuk pulang lebih awal.

“Kenapa bisa begini mukanya? Siapa yang mukulin Kak Raka? Kang Dika?!!” Tanyanya sambil sesegukan.

“Nggak, bukan Dika kok.” Raka menghapus air mata Jani.

“Terus siapa?”

Raka tidak bisa menjawab pertanyaan Jani.

“Gue ceritain lain kali aja ya, karena sekarang kita udah ketemu, ayo selesaiin yang kemarin.” Ucap Raka.

“Kak Raka, maaf ya Jani udah egois banget kemarin. Padahal bukan salah Kak Raka, tapi Jani malah marah-marah nyalahin Kak Raka. Maaf udah ngediemin Kak Raka juga, niatnya cuma biar kita sama-sama adem dulu, eh malah lama banget,”

“Maaf juga Kak Raka jadi kena pukul sama Kang Dika gara-gara Jani, apa mungkin luka yang banyak ini juga gara-gara Jani?” Jani kembali meneteskan air matanya. Hatinya benar-benar hancur melihat keadaan Raka sekarang.

Tulang pipinya lebam berwarna ungu, pelipisnya terlihat seperti luka yang cukup dalam. Dan di sisi bibirnya masih terlihat jelas, itu luka karena Jani.

“Nggak ada yang gara-gara Jani, gue dapetin ini semua karena kesalahan gue sendiri.” Raka mengelus surai hitam Jani, masih berusaha menenangkannya.

“Maaf ya Kak Raka, semenjak kenal Jani kayaknya ada aja hal buruk yang nimpa Kak Raka.”

“Apasih! Kenapa ngomong gitu?!”

“Tapi emang bener, mulai dari Kak Raka nggak lolos olim, terus nilai-nilai Kak Raka turun, bahkan sampai di hukum gara-gara berantem. Emang bener kata guru-guru, Jani bawa pengaruh buruk buat Kak Raka.”

“Jani, gue bener-bener sedih dan marah kalo lo mikir kaya gitu. Lo nggak pernah bawa pengaruh buruk apapun ke gue. Gue nggak pernah berpikiran kaya gitu, lo bawa bahagia buat gue,”

“Kalopun gue nerima hal buruk karena lo, gue akan terima itu dengan ikhlas.”

Yang mendengarnya justru makin larut dalam tangisannya.

“Maafin gue juga ya Jani, kemarin bukannya melarutkan masalah malah ikut kebawa emosi juga. Maaf gue nggak mikir panjang tentang hubungan senior junior lo sama Dika, cuma gue bener-bener pengen lo diperlakukan dengan baik sama Dika dan senior atau temen-temen lo yang lain.”

“Kak Raka jangan minta maaf, Kak Raka nggak salah apa-apa. Jani yang harusnya minta maaf ribuan kali.” Tanginya bukan berhenti, malah semakin menjadi-jadi.

Kalau saja mereka sedang tidak ada di sekolah, mungkin Raka sudah menarik Jani ke dalam pelukannya. Jujur, ia pun merindukan perempuan dihadapannya ini.

“Udah ya, jangan nangis lagi. Nanti gue dikira habis malakin lo nih...” Raka mencoba mencairkan suasana.

“Lukanya ayo diobatin...” Ajak Jani sambil mengelap air matanya.

“Nanti gue obatin sendiri di rumah kok, lo mau pergi kan sama Dika?”

Jani kembali menangis, “Kak Rakaaa maaf udah nyuruh obatin lukanya sendiriiii...”

“Hehhh!! udah jangan nangis!!”

“Jani nggak jadi pergi, mau ngobatin luka Kak Raka aja...”

“Lah? Jangan gitu dong, kan udah janji sama Dika duluan.”

“Bentar Jani mau ijin dulu.”

“Jan, sini...”

Sore itu setelah rapat selesai, Kang Dika manggil gue. Katanya ada yang mau di obrolin sama dia. Setelah anak-anak pulang duluan, gue yang sebagai sekertaris ini selalu pulang terakhiran. Karena pasti ada aja tambahan-tambahan yang dibicarain sama anggota inti panitia.

Oke, balik ke Kang Dika yang manggil gue. Dia ngajak gue ke pendopo yang ada di depan gedung IPS. Dia ngajak gue duduk disana sambil ngasih makan ikan-ikan di kolam.

“Nggak di tungguin Raka kan lo?” Gue mulai ngerasa nggak enak, karena pembukaannya udah mulai mengarah ke Raka.

“Enggak kok kang, saya pulang sendiri.”

“Udah gue, lo, aja. Udah di luar Paskib juga.”

“O-oh iya kang.” Bagaimanapun dia senior sekaligus MANTAN gue, canggung tetep ada.

“Gue mau ngobrol soal kemarin.” Dika naruh makanan ikannya dan duduk di samping gue.

“Iya, gimana?”

“Sorry ya..” GUE KAGET BUAKN MAIN. DIKA SAY SORRY. “Dari mana ya gue minta maafnya...?”

Gue masih nggak nyangka disitu, denger Dika ngomong alus sama gue aja udah aneh.

“Kayaknya mulai dari gue mutusin lo setahun yang lalu kali ya,” “Sorry ya Jan, dulu emang bener gue suka sama lo. Tapi kayaknya gue dulu masih main-main dan nggak serius ngejalin hubungannya sama lo.”

Gue masih diam mendengarkan.

“Cuma emang nggak tau dirinya gue, menganggap semua itu bukan apa-apa dan tetep memperlakukan lo dengan biasa, seakan-akan gue nggak ada salah sama lo. Maaf banget ya Jan.”

“Iya, gapapa. Udah gue maafin soal itu.”

“Terus kedua, gue minta maaf belakangan jadi sering nyuruh lu ini itu yang nggak jelas. Ngebawa-bawa emosi gue ke dalem organisasi.”

Ini yang paling buat gue jengkel sebenernya.

“Gue sebenernya nggak ada rasa benci atau dendam apapun sama lo, gue cuma ngelampiasin rasa benci gue sama Raka ke lo doang. Mungkin lo udah tau, gue dulu sama Raka rebutan slot buat olim. Cuma ya emang sayangnya banget gue nggak dapet dan Raka dapet,”

“Gue dari dulu nggak suka ngeliat Raka. Iya gue tau dia pinter, tapi gue nggak suka aja cara dia ngedeketin guru-guru biar dapet tambahan nilai lebih. Tapi ya... yaudah lah ya itu urusan gue sama Raka. Yang intinya gue bener-bener minta maaf sama lo, kedepannya gue nggak akan memperlakukan lo seenaknya kaya gini lagi. Sorry ya.”

“Iya kang, gue maafin,” “Tapi kalo gue boleh kasih pencerahan sedikit sama lo sih ya, kayaknya Raka deket sama guru-guru itu bukan karena dia caper atau gimana sih ya. Tapi kayaknya emang karena udah Raka-nya pinter, ganteng, supel, baik sama orang, jadi ya siapa yang ngeliat dia juga akan suka.”

“Jadi lo lagi membanggakan pacar lo depan gue nih?”

“Hahaha, bukan gitu Kang. Gue sama Raka belum ada apa-apa kok, kita masih temenan aja. Cuma karena gue sedikit banyak udah kenal dia, jadi gue bisa liat kenapa orang-orang suka sama dia. Terutama guru-guru, dia emang bener-bener anak kesayangan guru.”

“Ya ya ya, paham lah gue.”

“Jadi ya, gue juga berharap lo bisa nyelesein masalah lo sama Raka sih kang. Kaya, bentar lagi lo berdua juga udah sama-sama bakal lulus. Emang lo ada niatan buat ninggalin kisah nggak berbobot lo disini?”

“Ya engga lah...”

“Nah yaudah...”

Kita berdua diam selama beberapa detik, gue nggak menyangka akan tiba hari, dimana gue ngobrol sama Dika, dan obrolan gue berbobot! Selama gue pacaran sama dia waktu itu, astagaaaa... gue juga nggak tau itu bisa dibilang pacaran apa nggak. Literally dia cuma nanya gue udah makan apa belum setiap hari(?)

“Gue juga mau minta maaf soal kemarin ya Jan, gue mukul Raka.”

“Kayaknya nggak harusnya lo minta maaf ke gue deh kang, tapi ke Raka-nya langsung.”

“Iya, gue bakal minta maaf ke dia langsung. Tapi gue juga mau minta maaf ke lo. Mungkin gara-gara gue lo berdua jadi berantem.”

“Oalah, hahaha.” KETAWA GUE CANGGUNG BANGET. Rasanya gue mau jedotin kepala gue ke kepala dia, terus gue bilang “IYA ANJING GARA-GARA LO GUE BERANTEM!!”

Tapi skenario itu gue simpen jauh-jauh di dalam otak gue doang! Gila, dia masih senior gue anjir, yang ada besok gue suruh muterin lapangan 50 kali.

“Gue kan pernah bilang ya sama lo, Raka suka mainin cewe? Itu jangan dipikirin ya, gue gatau dia baik apa nggak sama cewe. Cuma omongan gue waktu itu cuma omong kosong doang.”

“Oh, iya tenang aja. Gue nggak segampang itu juga kali nerima omongan orang.”

“Ya syukur deh...” “Pokoknya inti dari obrolan kita hari ini, gue minta maaf ya Jan. Minta maaf sama semua kesalahan gue ke lu yang disengaja ataupun nggak disengaja. Urusan sama Raka, nanti gue omongin sendiri sama dia.”

“Iya kang, makasih juga ya udah ngajak ngobrol gini. Gue juga jadi lega sih.”

“Yaudah, ini kan acara kita udah sebentar lagi. Persiapannya kita maksimalin ya Jan, biar gue bisa ninggalin kenangan yang baik juga disini.”

Sore itu ikan-ikan jadi saksi baikannya gue sama Dika yang sebenernya nggak tau dari mana jadi memburuk itu, OH ENGGAK! gue tau, ya semenjak Raka deket sama gue.

Raka kembali ke dalam tenda menemui Rinjani yang sudah siap dari atas sampai bawah, siap untuk bertempur.

“Main ninggal-ninggalin aja.” Jani berbisik mengomel.

“Kan tadi udah ada yang bantuin, YANG LEBIH NGERTI ATRIBUT.” Ucapnya sambil menekankan pada beberapa kata.

“Udah rapih belum?”

“Udah Jani...”

“Yaudah kalo gitu.” Jani terlihat salah tingkah, tangannya terus-terusan menyibukkan diri merapihkan pakaian yang sudah sempurna tersebut.

“Jadi mau apa kalo menang?”

“Mau susu strawberry aja, seminggu.”

Raka hanya tertawa mendengar permintaan aneh Jani. “Oke, deal.” Raka mengajak Jani bersalaman, kontrak persetujuan.

“Makanya harus menang ya! Biar dapet kipas sama susu seminggu.” Ucap Raka sambil membenarkan topi Jani yang sudah sangat benar itu. Sepertinya banyak kupu-kupu yang menari di dalam perutnya.


Kini giliran pasukan SMA 8 untuk tampil, Jani merupakan anggota yang tertinggi dalam barisan maka ia berdiri di ujung kanan, posisi saf satu banjar satu menjadi penjuru pasukan. Mereka sudah berada di daerah persiapan satu, tepat di pinggir lapangan. Menunggu pasukan yang sedang tampil untuk menyelesaikan performanya.

Dari jarak 100 meter wangi bunga melati yang terbawa angin membuat semua penonton membicarakannya. Andalan dari Paskibra SMA 8 adalah tradisi wangi melati yang akan mengharumkan seluruh tempat lomba. Bagaimana tidak, lima botol parfum wangi melati yang pekat harus di semprotkan habis ke seluruh pakaian pasukan lomba. Sehingga ketika berjalan, semua yang di lewatinya akan menoleh.

Kang Ibra, para senior dan Raka sudah berada di pinggir lapangan untuk melihat penampilan mereka. Suara Keno sebagai danton menggelegar penjuru lapangan, ditambah wangi bunga melati dan suasana hening dari para penonton membuat langkah masuk pasukan terlihat sangat keren.

Hampir seluruh pasukan dari sekolah lain juga ikut menonton penampilan SMA 8, karena pasukan SMA 8 merupakan salah satu pesaing berat bagi mereka, maka mereka bisa mengevaluasi awal siapa yang kira-kira akan jadi juara utamanya.

Tujuh belas menit berjalan dengan sangat rapih, semua penonton antusias memberikan tepuk tangan saat pasukan meninggalkan lapangan, tanda penampilan mereka sudah selesai.

Setelah menyelesaikan seluruh penampilan peserta, panitia langsung mempersiapkan lapangan untuk apel penutupan sekaligus pengumuman. Ini merupakan momen inti yang sangat ditunggu-tunggu.

Satu persatu kategori pemenang di umumkan, beruntungnya SMA 8 sudah dipanggil sebanyak dua kali atas penghargaan danton terbaik untuk Keno dan konstum terbaik. Kini pengumuman yang ditunggu-tungu semua orang termasuk Jani, yaitu perebutan Juara Umum I dan Piala Bergilir Presiden.

“Yel lo percaya 8 bisa bawa piala bergilir nggak?” Tanya Raka di sela-sela pengumuman.

“50:50 sih Rak, mereka keren banget tapi nggak dipungkirin juga ada beberapa sekolah yang nggak kalah keren.” Ujar Adriel.

“Kalo gue percaya mereka bawa pulang piala bergilir masa Yel.”

Adriel hanya menatap diam Raka yang terlihat lebih ambisius daripada Adriel, senior Paskibra SMA 8 itu sendiri.

“Selanjutnya Juara Umum III dengan nilai 1788 jatuh kepada...” MC yang sedang membacakan pengumuman membuat semua anggota apsukan menunduk berdoa agar cepat-cepat di panggil, lebih baik dari pada tidak dipanggil sama sekali.

“Selamat kepada SMA 1!!”

“Duh anjir, kenapa 8 nggak di panggil-panggil sih?!” Jantung Jani berdegup kencang.

“Bentar Jan, habis ini ya!” Axel yang berdiri di sebelahnya tidak kalah gugupnya.

Pengumuman dilanjutkan, “Selanjutnya Juara Umum II dengan nilai 1867, jatuh kepada...” Semua anggota sudah bersiap berteriak.

“Selamat kepada SMA 8!!” Luluh sudah semua tegang di dalam badan Rinjani. Ia berteriak memeluk Axel dengan erat.

“Cel, lo yang ambil Cel! Maju!” ujar Jani kepada Axel.

Axel yang sangat bahagia itu langsung berlari ke depan sambil mengelap air mata harunya menuju barisan, bergabung dengan perwakilan sekolah lain yang juga menerima piala termasuk Mila dan Keno yang menerima piala danton terbaik dan kostum terbaik.

“Gue kira bakal dapet umum satu, taunya belum rejekinya ya Yel.” Ujar Raka turut bahagia melihat kemenangan yang didapat.

“Iya Rak, banyak lawanan 8 yang pada keluar, makanya dapet umum II gini aja gue udah bangga banget sama mereka.”

Kini tinggal tersisa pengumuman untuk peraih Piala Bergilir Presiden, semua anggota pasukan kembali berdoa dan menguatkan satu sama lain. Berharap sedalam-dalamnya agar bisa membawa pulang piala tersebut.

“Sebagai puncaknya, sekarang saya akan mengumumkan Piala Bergilir Presiden 2021.” MC melanjutkan pengumuman. “Pemenang Piala Bergilir Presiden 2021 jatuh kepada peserta dengan total nilai 5938 yang dimenangkan oleh...”

Semua anggota berbisik kecil, “SMA 8 bisa yuk, SMA 8, SMA 8...”

“SELAMAT KEPADA SMA...”

“DELAPAN!!!!!”

Seluruh anggota mematung, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Terdiam beberapa saat dan setelah itu mereka semua berteriak.

“AAAAAHHHHH!!!!!”

Situasi sudah tidak terkondisikan, semua senior dan junior berhambur ke arah pasukan untuk memeluk mereka. Saat itu Jani terjatuh, otaknya masih saja memproses apakah yang baru saja ia dengan adalah benar??

“JANIIII!!! JUARA UTAMA JANN!!!” Dika menghampiri Jani, membantunya berdiri dan langsung memeluknya.

“K-kkang... ini bener kan ya?” Jani sedikit terisak.

“Silahkan untuk perwakilan dari SMA 8 untuk maju ke depan menerima piala...” MC memotong sebentar kegembiraan mereka.

“Jan ambil! Let's go!!” Ucap Dika sambil mendorong Jani perlahan.

Jani sambil menangis tersedu-sedu maju memeluk Mila, Keno dan Axel yang sudah terlebih dahulu berdiri di depan.

“Jan! Beneran menang anjingggg!!!!” Mila berseru sambil memeluk Jani erat.

Jani menerima piala berbahan crystal bening yang sangat indah tersebut. Dipandanginya piala tersebut dan di dekapnya erat agar aman.

Selesai selesai mereka kembali ke barisan pasukan untuk merayakan kemenangan mereka bersama. Karena ini merupakan kemenangan yang baik, maka evaluasi dilakukan saat itu juga. Mereka membuat lingkaran besar dan melingkari empat piala yang berhasil di bawa pulang hari ini.

“Terima kasih untuk semua usaha kalian semua selama dua bulan belakangan ini, berlatih dengan giat dan membuahkan hasil yang baik pada hari ini!” Kang Ibra memimpin evaluasi.

“Meskipun tidak membawa pulang Juara Umum I, tapi besyukur kita bisa bawa pulang Piala Presiden, umum II, danton terbaik untuk Keno, dan kostum terbaik.”

“Selamat untuk kita semua! Semoga kemenangan ini bisa terus kita pertahankan sampai angkatan-angkatan selanjutnya! Dan ingan tentang hal yang selalu saya tanamkan kepada kalian untuk tidak gampang berpuas hati namun tetap rendah hati. Paham?”

“SIAP PAHAM!” Semua masih menangis haru, namun suaranya tetap menggelegar lapangan, membuat pasukan lain yang ada di sekitar bertepuk tangan memberi selamat.

“Oke kita siap-siap untuk pulang dan istirahat!”

Setelah menyelesaikan evaluasi dan yel-yel, mereka tetap melakukan tradisi kemenangan mereka. Turun untuk push-up untuk membayar kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin mereka lakukan dan dibiarkan tertinggal di tempat itu.

Semua pasukan dari sekolah lain terkagum-kagum, masih melemparkan tepukan tangan meriah ikut merayakan kemenangan SMA 8.

Rinjani POV

“Kamu kok kelewatan sih Jan?”

“Hah? kelewatan kenapa?” Gue terheran-heran.

“Kelewatan cantiknya tau nggak?”

Gue sedang mengutuk dalam hati, siapa pula yang ngajarin Raka buat gombal macem gitu. Gue jadi susah buat nutupin muka yang udah merah kaya kepiting rebus.

“Kamu nggak pantes gombal kak, nyupir aja yang bener.”

Sepanjang perjalanan gue banyak ngobrol sama Raka sambil dengerin playlist punya dia yang bukan gue banget sebenernya. Gue banyak berbagi cerita sama dia jadi sekarang sedikit banyak gue tau tentang keluarganya hari ini. Gue bertukar cerita tentang gimana kehidupan keluarga pinus gue dan keluarga Raka yang baru gue tau ternyata kisah seperti itu ada.

“Si Bulan kemarin pas telpon cerita, kalo waktu itu ada kakak-kakak yang nyariin gue sampe ke dia. Sepanik itu kamu ngeliat aku nggak ada kabar?”

“Nggak panik sih, biasa aja sebenernya.” Raka ngelirik ke arah gue dibalik kemudinya dengan tatapan ngeledek.

“Serius?”

“Ya panik dikit sih, orang biasanya aku ngeliat kamu terus nggak ngeliat kan jadi bertanya-tanya gitu. Siapa tau lo kenapa-kenapa kan nggak ada yang tau? Dan bener aja kan kamu sakit? Untung aja ada bibi kamu, lah kalo nggak ada gimana?”

“Makasih ya...”

Gue merinding, dia ngelus kepala gue. Ini emang bukan yang pertama kali kita skinship, tapi sebelum-sebelumnya VIBESNYA NGGAK SECANGGUNG INI. Entah yang pas lagi hujan deres, atau pas gue nangis-nangis nggak jelas itu. Nggak ada yang setenang saat ini.

Minggu ini merupakan minggu yang cukup terbilang berat untuk Jani dan kawan-kawannya. Meskipun event yang mereka adakan masih satu setengah bulan lagi namun persiapan yang mereka kerjakan benar-benar sudah di maksimalkan sejak awal.

Akhir-akhir ini Jani sering mengorbankan jam istirahatnya untuk mengejar deadline yang diberikan Bagas selaku ketua pelaksana dan Dika selaku pembimbing.

“Jan, lu tuh kalo jamnya istirahat ya istirahat Jan. Acara kita masih satu setengah bulan lagi. Pelan-pelan aja ngerjainnya.” Mila yang baru saja kembali dari kantin kembali ke tempat duduknya.

“Mil, gue juga pengennya pelan-pelan aja ngerjainnya. Tapi lo tau sendiri kan, Kang Dika rewelnya minta ampun. Gue dikejar-kejar terus sama Bagas sama Keno juga.”

“Iyasih, tapi lo juga jangan sampe nggak jaga kesehatan Jan.”

“Iyaa...” Ujar Jani. “Nanti habis pelajaran Geo gue cabut ke mabes ya Mil, gue mau ngeprint surat keluar dulu Dinas. Mau dianter sama Bagas Keno soalnya.”

“Mau gue temenin nggak?”

“Nggak usah, bilang aja pengen cabut kelas juga kan lo.” Sudah tertebak arah pikiran Mila.

“Hehehe.”


13.00

Keno sudah mulai ribut menghubungu Jani berkali-kali, memintanya untuk bergegas ke mabes untuk mencetak surat keluar yang akan ia antarkan siang ini.

Setelah meminta ijin kepada guru pengajar, Jani langsung berlari menuju mabesnya. Menenteng beberapa berkas di tangannya dan tidak lupa hidup dan matinya saat ini, laptop biru kesayangannya.

“Lama banget sih, bukannya dari tadi aja keluarnya.” Bagas sang ketua pelaksana mengomel pada Jani.

“Ya orang tadi gurunya masih ngejelasin, yakali gue ijin gitu. Nggak enak lah.”

“Yaudah cepetan gue sama Keno mau berangkat.”

“Ya sabar! Duduk aja belum.”

Atmosfer di dalam ruangan tersebut seketika memanas. Semenjak beban pekerjaan sama-sama makin berat, komunikasi antar anggota juga semakin sulit untuk dikendalikan. Tidak sesekali mereka saling meninggikan suara saat sedang berdiskusi.

“Udah Jan gapapa, gue tungguin kok santai aja. Buat yang PPI sekalian udah kan ya?” Keno mencoba mencairkan suasana.

“Udah, bentar gue print semua.”

Jani bekerja dalam diam, sebenarnya Jani merupakan orang yang memiliki emosi yang mudah meluap. Hatinya mudah tergerak oleh hal-hal kecil, merasa lawan bicaranya meninggi saja ia bisa langsung menangis.

Seperti sekarang, sebenarnya ia benar-benar menahan tangisnya. Namun rasa malunya membuat ia harus menahan air mata yang sedang ia bendung.

Keno yang menyadari perubahan pada mata Jani langsung berdiri di depan meja yang sedang digunakan Jani untuk mengeprint surat. Keno berdiri membelakangi Jani, berusaha menutupi kalau saja air mata Jani tidak sanggup ditahan lagi. Benar saja, setelah itu air mata Jani menetes, merasa enggan dilihat seperti anak cengeng Jani segera mengelap air matanya.

“Nih udah semua.” Jani memberikan amplop yang berisikan surat untuk Dinas dan PPI.

“Oke thankyou ya Jan, lo kalo mau balik ke kelas balik aja gapapa. Kerjaan nanti di lanjut pulang sekolah aja.” Ucap Keno.

“Proposal udah di tanda tangan pihak sekolah semua? Proposal untuk sekolah yang di sebar sama sponsorship?” Bagas menyela pembicaraan Jani dan Keno.

“Udah.”

“List sekolah yang bakal kita bagi sama kita kirim e-mail udah semua?” Tambah Bagas.

“Belum, gue masih ngerjain beberapa revisi proposal buat sponsor sama ngelist sponsor mana aja yang bakal di bagiin.”

“Yaudah lo nggak usah balik ke kelas, lanjut aja disini.”

Mendengar ucapan Bagas, Jani hanya menghembuskan nafasnya berat.

Benar saja, setelah Bagas dan Keno keluar dari mabes air mata Jani meluncur dengan derasnya di kedua pipinya. Jani terduduk dilantai menangis sejadi-jadinya.

Jani masih mencernya pesan dari Raka, jelas-jelas tadi pagi Raka bilang bahwa ia akan berangkat menuju Bandung untuk melaksanakan OSN. Namun malam ini Raka bilang akan menuju rumahnya.

Jani tidak langsung bergegas untuk bersiap-siap, karena merasa sedang dibohongi oleh Raka. Namun saat sedang membaca ulang pesan yang di kirim Raka, tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk, Kira memanggil.

“Kakak, ada yang cari di depan.” Mendengar ucapan adiknya, Jani lantas bangun dari duduknya terkejut, apakah itu benar-benar Raka?

Jani lantas bergegas keluar dan menuruni anak tangga menuju teras rumahnya yang sudah terbuka pintunya itu.

Dan benar saja, ia dikejutkan dengan sosok Raka yang sedang duduk bersama ayahnya di kursi teras rumah.

“Loh kok belum siap-siap? Katanya mau pergi?” Ayah Jani bertanya. Yang di tanya masih mengumpulkan kesadarannya melihat Raka di depannya.

“Lo kok disini beneran? Kenapa nggak di Bandung?” Jani mengabaikan pertanyaan ayahnya, keberadaan Raka lebih membingungkannya.

“Nanti gue ceritain, udah cepet ganti baju kalo nggak pake jaket aja.”

Jani seperti orang linglung kembali menuju kamarnya untuk mengambil jaketnya lalu kembali turun.

“Ingat ya nak Raka, jangan lewat dari jam dua belas. Kalau lewat satu detik aja ban mobil kamu om pecahkan sebelah ya.”

“Siap om, nanti di pastikan Jani sudah di rumah pukul 23.59 WIB.” Ucapnya sambil cengengesan.


Sepanjang perjalanan Jani terus menanyakan bagaimana Raka bisa ada disini.

“Mau makan aja nggak?”

“Ihh Ka Raka jawab dulu! Kenapa nggak di Bandung?!”

“Dibilang nanti di ceritain, sekarang mau makan apa?” Keduanya berdebat hal yang berbeda.

“Yaudah apa aja deh, yang penting jawab dulu!” Jani masih kekeh ingin mendengar jawaban dari Raka.

“Bawel banget sih!” Raka mencubit pipi Jani.

“AHHHH!! Sakittttt!!!”

“Astaga lebay banget, itu nggak pake tenaga sama sekali Jani...”

Akhirnya Raka bisa membuat Jani terdiam sesaat, setidaknya hingga mereka sampai di tempat tujuan.

Raka mengarahkan mobilnya menuju alun-alun kota, hari ini tidak begitu ramai karena bukan akhir minggu. Namun alun-alun tetaplah alun-alun, masih banyak pengunjung yang berdatangan meskipun esok hari mereka semua tetap menjalankan aktivitas seperti biasa.

Raka memarkirkan mobilnya di ujung lahan parkiran, satu-satunya tempat yang tersisa. Meskipun jauh dari tempat makan namun lebih baik dari pada tidak mendapat parkiran.

“Mau makan dulu apa cerita dulu?” Raka membenarkan posisi duduknya menghadap ke arah Jani, siap untuk mendengar keluh kesahnya.

“Cerita apa? yang tadi bilang capek bercanda doang...”

“Emang lo nggak beneran capek?”

Jani termenung, pertanyaan sederhana Raka menarik dirinya kembali mengingat buruknya hari yang telah ia lalui.

“Dari kemarin lagi kenapa? Nggak biasa-biasanya lo pulang cepet.”

Jani menatap Raka, seketika air matanya meluncur di pipinya dengan begitu saja. Raka yang melihatnya sontak terkejut, perasaan Jani benar-benar tidak bisa di tebak. Baru saja ia mendengar Jani yang sedang rewel menanyakan tentang keberadaan dirinya, kini sudah terisak menangis di hadapannya.

“Eh? Kenapa nangis?”

“Ka Rakaa....” Jani malah makin terisak.

“Pelan-pelan aja ceritanya.” Di usapnya surai Jani lembut, berharap tangisnya mereda.

“Jani capek banget, kaya capek semuanya kak! Capek fisik, capek hati, capek batinnya.”

“Siapa? Bagas lagi?”

“Nggak cuma Bagas aja, semua orang! Semua tiba-tiba jadi nyebelin banget ke Jani. Semua orang ngasih kerjaannya ke Jani, nyuruh Jani untuk ini dan itu padahal kan kerjaan Jani juga udah banyak banget. Bagas suka seenaknya ngasih kerjaan, Kang Dika juga, AHHHH KESELLL!!!” Tangisnya makin menjadi.

“Dika ngapain Jani lagi? Hmm?” Tangannya masih sibuk mengelus rambut Jani.

“Tadi Kang Dika malu-maluin Jani pas rapat, dibilang kalo Jani nggak serius lah sama acara ini! Dan dia ngomong itu di depan semua anggota rapat! Ada pelatih, senior, angkatan Jani sama junior juga! Padahal dia gatau gimana mati-matiannya Jani nurutin deadline dia sama Bagas!! Usaha Jani bener-bener nggak dihargain sama sekali!! Terus juga Jani di bilang bukannya ngerjain kerjaan Jani malah pacaran mulu sama Ka Raka! PADAHAL KAN JANI SAMA KA RAKA JUGA NGGAK PACARANN!!!!”

Raka justru tertawa kecil melihat Jani yang mengadu seperti anak kecil ke ibunya kalau di tempat bermain ia dimusuhi oleh teman-temannya.

“Terus juga Ka Raka!!! Kenapa Ka Raka yang pinter harus deket-deket Jani sih?!”

“Loh kok gue juga ikutan kena? Kan gue nggak ngapa-ngapain?”

“Ya Ka Raka enggak, tapi kan jadi omongan orang...”

“Siapa yang ngomongin?!”

Jani terdiam, amarah dan air mata yang ia tahan sejak kemarin benar-benar sudah ia tumpahkan semuanya malam ini, di hadapan Raka.

Ditariknya tangan Jani yang sedari tadi sibuk menyeka air mata yang terus-terusan turun, di hapusnya air mata tersebut.

“Siapa yang ngomongin Jani enggak-enggak? Hmm?” Suara beratnya terdengar jelas di telinga Jani.

“Guru-guru...”

“Ngomong gimana sama Jani?”

“Waktu itu Bu Yanti manggil Jani buat ke ruang guru pas jam istirahat, Jani di tanya kenapa sering banget nggak masuk jam pelajaran Bu Yanti. Ya Jani bilang aja waktu itu nggak masuk karena ijin buat ngurusin surat kan, tapi pas kebetulan aja seringnya di jam pelajaran Bu Yanti makanya dikira Jani selalu bolos pelajaran Bu Yanti-”

“Padahal kan sebenernya Jani mau masuk, tapi selalu aja sama Bagas di suruh nyelesein berkas ini lah itu lah di mabes aja. Yang bikin Jani kesel lagi Bu Yanti bilang katanya Jani bohon soal ngurusin surat-surat itu, katanya ada yang bilang ke Bu Yanti kalo Jani malah pacaran berduaan di mabes sama Ka Raka lagi. Ya emang bener kemaren sempet berduaan, tapi itu kan gara-gara Jani mimisan abis itu juga Jani ikut Ka Raka ke perpus...”

“Duhh... maaf ya, lo jadi di tuduh-tuduh yang enggak-enggak gara-gara gue.”

“Itu nggak seberapa Ka, Jani masih bisa maklumin karena itu salah paham. Tapi yang bikin Jani nggak habis pikir Bu Yanti ngomong itu di depan beberapa guru perempuan juga, dan setelah itu Bu Sri jadi nimbrung. Ibunya bilang kalo misal Jani jangan ganggu Ka Raka yang lagi latihan buat olim, kalo Ka Raka nggak lolos berarti gara-gara Jani.”

“Jani bener-bener udah nggak punya muka Ka di depan guru-guru. Semua kaya salah Jani. Jani ngapain aja salah di depan mereka.” Tangis Jani semakin pecah, nafasnya sudah tidak beraturan.

Raka menarik Jani ke dalam pelukannya, merasa bersalah melihatnya menangis sesegukan. Di usapnya kepala Jani dalam pelukan, benar-benar tempat yang aman baginya untuk meluluhkan semua beban di pundak.


Setelah tangisnya mulai mereda Raka melepas pelukannya, dilihatnya wajah cantik yang sudah sangat acak-acakan ini. Hidungnya yang merah dan matanya yang sangat sembab membuat keduanya tertawa saat bertabrakan mata.

“AHHH! Malu banget nangis giniiiii...” Jani menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Jani liat gue sini...” Raka memegang kedua tangan Jani kembali.

”...”

“Pertama gue minta maaf dulu ya karena gue lo jadi kena masalah.” “Soal urusan Paskib, gue nggak bisa bantu apa-apa karena itu di luar kendali gue. Tapi gue tau, kalo Jani yang gue kenal bukan orang yang lemah kan? Kalo capek, bilang aja sama mereka...”

“Mereka nggak mau denger Ka!!!”

“Yaudah kalo mereka nggak mau denger, ngeluh aja ke gue. Setiap lo capek, lo kesel, lo mau marah pokoknya ngeluh aja ke gue. Bakal selalu gue dengerin...”

Mata Jani kembali berkaca-kaca.

“Kalo soal guru-guru, jangan di masukin ke hati ya. Gue ini Raka, Raka ya pribadi gue sendiri. Terlepas gue punya hubungan sama siapapun gagal suksesnya gue ya semua karena gue. Besok gue bantu jelasin ke Bu Yanti ya...”

“Dan soal kenapa gue nggak ada di Bandung, itu karena gue gagal lolos.”

“Gara-gara gue?” Ujar Jani.

“Kan udah gue bilang, apapun yang terjadi ke gue ya semua karena gue Jani, bukan karena lo.”

“Terus kenapa gagal lolos?”

“Ini salah sekolah sebenernya, waktu awal anak yang gue gantiin ini bilang buat nggak bisa lanjut sekolah langsung minta gue buat gantiin kan? Gue dari awal udah bilang, kalo gue nggak akan lolos screening validasi data. Karena gue udah kelas 12 kan...”

“Tapi sekolah masih ngotot kalo gue bisa gantiin, kata mereka pernah ada kasus kaya gini dan itu tetep bisa. Sampai pada akhirnya gue iyain aja daripada ribet urusannya lagi.”

“Dan bener aja kan, tadi setelah gue validasi data panitia bilang gue nggak bisa ikut. Sekolah jelas tetep ngusahain gue buat bisa lanjut, tapi sampe ketua pelaksananya turun tangan gue tetep nggak bisa lanjut. Dan ya udah gue berakhir disini, dengerin anak rewel nangis...” Raka tertawa kecil.

“Terus usaha lo selama ini fokus buat olim sia-sia dong? Padahal minggu depan kan lo udah TO.”

“Nggak ada yang sia-sia soal belajar Jani, berkat ini gue jadi ngulang lagi materi-materi yang udah gue lupa. Dan berkat ini juga gue bisa nemenin anak yang mimisan di mabes buat numpang tidur di perpus.”

Wajah Jani memerah, malu mengingat-ingat kejadian tempo hari yang membuatnya juga di tuduh bukannya belajar malah pacaran oleh beberapa orang.

“Sekarang udah lebih lega kan? atau masih ada yang ngeganjel?”

“Enggak, udah semua. Gue sebenernya bukan tipe orang yang suka mikirin kata-kata orang lain. Pada akhirnya gue cuma bakal ngebenci orang itu dan lupain gitu aja, tapi bisa ngeluapin semua yang numpuk jadi beban pikiran udah ngebantu banget.”

“Syukur deh kalo gitu, sekarang ayo makan. Kata ayah lo tadi dari pulang sekolah belom makan kan?”