sierrabcde

this spaceships sailing to heaven

Hati Raka benar-benar hancur, ia memukul setir mobilnya berkali-kali. Ia sedang marah dengan dirinya sendiri, ia marah dengan keadaan. Keadaan yang membuatnya tidak bisa memilih.

Setelah mendengar kabar dari Bella, Raka kembali menuju rumah sakit, mengurungkan niatnya untuk bertemu Rinjani malam ini.

Namun sepanjang perjalanan, otaknya pun dibuat bertanya-tanya, kenapa ayahnya bisa menghubunginya melalui pesan langsung? Seingatnya, seharusnya ayahnya pulang 4 bulan lagi. Namun, sepertinya tidak. Raka harus kembali ke kenyataan pahitnya.


Sesampainya di rumah sakit, Raka melihat Bella yang terduduk menangis di depan bangsal yang menjadi ruang mamahnya beristirahat.

Saat melihat Raka yang kembali, Bella langsung berhambur ke dalam pelukan Raka. Dan Raka yang tidak memiliki pilihan lain, hanya memeluk balik Bella.

“Rak, mamah udah nggak ada...” Bella menangis sejadi-jadinya, merasa terpuruk. Di tinggal seorang diri oleh ibunda tercinta, dan tidak ada sosok ayah yang menemani. Ayahnya sedang berada di tengah lautan saat ini.

“Bel, gue turut berduka cita ya.” Raka menenangkan Bella.


Di sisi lain, Jani masih setia berbicara pada ombak di sekitar dermaga. Malam sudah sangat larut, waktu sudah menunjukkan pukul 22.10 WIB, namun sepertinya tanda-tanda kedatangan Raka belum terlihat.

Ajaibnya, malam itu Jani bercerita dengan elegan pada lautan. Tidak ada satupun air mata yang turun. Ia pikir, hatinya sudah menjadi kokoh.

Malam itu Raka mengemudikan mobilnya, melaju dengan cepat melintasi ibukota. Ia merasa sudah di ujung kesabarannya, ia sudah merindukan Rindunya. Ia sudah memutuskan, kalau malam ini segala hal yang ia tutupi akan ia ungkapkan di depan Rinjani.

Melihat Rinjaninya bersama dengan pria lain membuat hatinya bergemuruh, ia menahan sakit yang sakitnya melebihi pukulan ayahnya. Sepanjang perjalanan ia hanya memanjatkan doa, semoga malam ini semesta berpihak kepadanya.

Namun sayang seribu sayang, rupanya malam ini belum memihak Raka. Ada pesan masuk yang membuatnya menghentikan laju kendaraannya.

“Jani!” Dari jauh Dika sudah memanggil juniornya ini.

“Kang, ini tanda tangan dulu cepet!” Belakangan ini Jani menjadi semakin dekat dengan Dika, setelah insiden lomba tempo hari.

“Udah minta Bagas?”

“Udah, tinggal Kang Dika sama Kang Ibra doang yang belum, tapi ini katanya Kang Ibra hari ini nggak bisa ke sekolah, gimana dong? Pak Harsa udah minta hari ini soalnya.” Ujar Jani.

“Kang Ibra lagi dimana katanya?”

“Lagi di SMP 2, ngelatih anak-anak. Mau lomba katanya.”

“Yaudah samperin kesana aja gimana?” Tawar Dika.

“Kang, maaf nih...” Jani melempar senyum yang bermaksud.

“Apa nih? Dah nggak enak firasat gue.”

“Boleh nggak kalo Kang Dika aja yang ke sana?”

“Kan bener...” Tebakannya Dika tidak melenceng, pasti Jani ingin ijin.

“Mau kemana sih emang lu?”

“Ya nggak kemana-mana sih, tapi mau istirahat aja. Belakangan lagi ngerasa capek banget.” Dika paham, perempuan di hadapannya ini memang terlihat berbeda belakangan ini, warna di wajahnya terlihat memudar.

“Kalo nggak kemana-mana temenin gue lah... Nanti gue jajanin deh.” Dika mengajukan penawaran.

“Duh... sebenernya Jani mau pergi sih kang hehehe.”

“Mau kemana sih? Tadi katanya mau istirahat? Bohong ya lu?” Dika menujuk jidat Jani. Mereka terlihat lucu bersama, siapapun yang melihatnya mungkin lupa, kalau dulu mereka pernah berselisih.

“Mau ke pantai kang, udah lama banget nggak kesana. Kangen.”

“Mau ngapain lu di pantai? Sama siapa kesananya?” Dika mulai banyak tanya.

“Kepo nih Kang Dika!!”

“Yaudah gini deh, kita cari Kang Ibra dulu nanti lu gue supirin ke pantai. Dah pilih mau pantai mana aja gue turutin deh.”

Jani sedikit terkejut dengan penawaran Dika. Pasalnya, tujuan Jani ke pantai tidak lain dan tidak bukan adalah ingin melepaskan semua bebannya. Namun, terlihat tidak lucu bukan, apabila tangisannya nanti dilihat oleh seniornya tersebut?

“Nggak usah deh kang, makasih banyak sebelumnya udah mau nawarin. Tapi, pertama Jani nggak enak masa di supirin senior sendiri. Terus kedua, Jani lagi pengen sendirian.”

“Oke, pertama, anggep aja yang mau nganter lu ini bukan senior lu. Hmm.. anggep aja mantan lu deh, eh nggak-nggak kakak kelas lu aja deh. Kedua, nggak bakal gue iyain kalo lu mau ke pantai sendirian. Gila kali.”

Entah mengapa, orang-orang di sekitar Jani jadi lebih terlihat memaksa kalau sudah berurusan dengannya. Mulai dari Keno, Raka, sekarang Dika.

“Udah nggak usah banyak mikir, ayo gue temenin kalo lu mau nangis-nangisan di pantai. Tapi nggak sendiri.” Dika langsung menarik Jani untuk bergegas menemui Kang Ibra terlebih dahulu.


Kini mereka sudah di dalam mobil Jani, akhirnya Dika menitipkan motornya di rumah Rinjani.

Sepanjang perjalanan menuju SMP 2, tempat dimana Kang Ibra berada, mereka hanya terdiam. Tidak ada pembicaraan sama sekali. Merka sama-sama diselimuti kecanggungan. Bagaimana tidak? Saat masih menyandang status sepasang kekasih, hal seperti ini tidak pernah terjadi pada mereka. Namun kali ini, mereka justru dihadapkan pada kecanggungan ini.

“Kenapa harus ke pantai sih, Jan?” Dika membuka percakapan, menghilangkan kecanggungan.

“Hmm... kenapa ya? Gatau juga kang, setiap ke pantai rasanya nyaman aja. Kaya lagi di peluk sama angin pantai.”

“Aneh-aneh banget sih lu, kalo di peluk angin pantai kan bisa sakit. Mending cari yang meluknya bisa nenangin aja.” Ujar dika sambil menatap Jani.

Jani terkekeh, “Yang biasa meluk buat nenanginnya lagi nggak tersedia kang, lagi bertugas nenangin yang lain kayaknya.”

Keduanya terdiam, Dika tau arah pembicaraan Jani, memilih untuk diam saja.

Begitu ayah masuk, mata kita bertemu. Saat itu juga gue bangun dari duduk gue dan langsung menangis di pelukan ayah. Gue sedang berada pada titik terendah dalam hidup gue (lagi). Setelah masalah lomba paskib yang nggak berjalan dengan lancar dan juga tentunya soal gue sama Raka yang belakangan jadi makin merenggang. Gue udah nggak bisa nahan semua beban di pundak gue malam itu.

Selama beberapa detik, ayah nggak ngomong apa-apa, nggak nanya juga gue kenapa. Dibiarkannya gue menangis di pelukannya, luluh sudah semua tangis gue.

Ayah menenangkan gue, tangannya terus-terusan mengelus surai yang yang berantakan itu, dirapihkannya.

“Sudah tenang, kak?” Ditanyanya waktu gue udah berhenti menangis.

”...” Gue cuma menangguk dan melepas pelukannya, menghapus air mata.

“Kakak kenapa? Sama Raka?”

Saat ditanya kaya gitu gue mulai sedih lagi, mendengar nama Raka di ucapkan, semua ingatan tentangnya muncul lagi.

“Mau cerita sama ayah?” Gue mengangguk.

Akhirnya gue ceritakan semua keluh kesah gue soal Raka ke ayah, gue ceritakan semua tentang rasa sedih gue setelah tahu kalo belakangan ini Raka jadi lebih deket (lagi) sama mantannya, dan juga tentang gue yang sebenernya nggak punya kejelasan hubungan sama Raka.

“Yah, Jani sayang sama Kak Raka, bener-bener nggak mau kehilangan Kak Raka. Selama ini, semenjak kenal Kak Raka, hidup Jani jadi lebih berwarna, setiap Jani lagi kesusahan, setiap Jani lagi ngerasa capek, Kak Raka yang selalu ada buat Jani, Kak Raka juga yang selalu buat Jani seneng, yah,”

”-makanya belakagan ini setiap Jani sholat, nama Kak Raka ikut masuk ke salah satu hal yang Jani doain. Jani selalu berdoa sama Allah, biar dikasih kesempatan buat bahagia terus sama Kak Raka. Jani selalu berdoa ke Allah kalo emang Kak Raka yang terbaik buat Jani, tolong jangan dijauhkan. Tapi kalau memang bukan Kak Raka, tolong jangan buat perasaan ini jatuh terlalu dalam, Jani takut, yah.”

Ayah terus mendengarkan gue yang bercerita, sepanjang itu gue masih menangis. Sedangkan ayah dengan telaten menyisir rambut gue yang berantakan itu.

“Jani juga bingung yah, Jani nggak tau apa-apa soal Kak Raka. Banyak banget hal yang nggak Kak Raka ceritakan ke Jani. Kaya perihal keluarganya, hidupnya, dan bahkan rencana-rencana kedepan kaya dia mau apa dan kemana aja Jani nggak tau. Sedangkan dia tau semua tentang Jani, Kak Raka banyak nutupin hal-hal dari Jani, yah,”

”-awalnya Jani mikir, 'oh yaudah mungkin emang belum waktunya Jani tau', tapi lama-lama nggak bisa yah, Jani terus-terusan kepikiran. Jani jadi suka mikir, kenapa ya Kak Raka kaya gitu ke Jani? Apa Kak Raka nggak percaya sama Jani? Atau Kak Raka nyesel kenal Jani?”

”-Jani tau, kalo Jani udah mikir terlalu jauh. Tapi wajar kan yah kalo Jani mikir begitu? Karena Jani takut buat jatuh terlalu dalam, makanya Jani mau pastikan kalau memang bukan Kak Raka orangnya atau bukan.”

Kali ini ayah tersenyum ke arah gue, dengan tangannya yang masih mengelus lembut punggung tangan gue, mengirimkan mantra-mantra agar anak kesayangannya ini tenang.

“Kakak, ayah nggak nyangka kalo anak ayah sudah sebesar ini. Sudah banyak hal yang kakak persiapkan dari jauh, dan itu nggak salah, kak.”

”-ayah mau ceritakan sesuatu yang belum pernah ayah ceritakan ini ke kamu ataupun Kira.”

“Dulu, ayah pernah punya satu perempuan yang Ayah sayangi sebelum menikahi mamah-mu.” Jujur, gue sedikit terkejut dengernya. Ayah gue bukan tipikal yang suka menceritakan hal-hal seperti ini ke anak-anaknya.

”-dulu kita bertetangga, rumahnya nggak jauh dari rumah eyang. Dulu ayah selalu ke sekolah bareng perempuan itu, pulang bareng, dan main bareng. Waktu itu kita SMA satu sekolah, saking seringnya bareng, eyang kakung tau kalau diantara kita ada perasaan satu sama lain.”

Gue malah yang jadi lebih penasaran sama cerita ini, mulai lupa sama masalah gue sendiri. “Terus, yah?”

“Tapi sayangnya, saat itu eyang kakung punya pilihannya sendiri, untuk ayah. Dan saat itu, ayah nggak punya keberanian untuk menolak perintah eyang dan jujur dengan hati ayah sendiri,”

”-ayah dipaksa mundur oleh keadaan, ayah mulai menjauh dari perempuan yang ayah sayangi dulu itu. Sampai akhirnya, ayah harus merantau ke Jakarta dan meninggalkan semua kisah cinta ayah di Yogyakarta.”

Gue bener-bener speachless mendengarnya, gue pikir kisah cinta macam itu nggak ada di lingkungan hidup gue. Ternyata, ayah sendiri yang merasakan.

“Terus gimana ayah dengan perempuan itu? Gimana juga ayah bisa jadi sama mamah?” Gue benar-benar penasaran.

Ayah justru tertawa, “Cerita itu nanti akan ayah ceritakan di lain hari, sekarang ayo kita tata hati Kakak Jani dulu.”

Seketika pikiran gue kembali, menghadapi realita kisah cinta yang lagi gue hadapin.

“Kak, meskipun nak Raka nggak pernah ngomong apapun tentang perasaanya dia terhadap kamu ke ayah, tapi ayah bisa lihat semuanya, kak. Ayah bisa lihat ketulusan di matanya,”

”-dari bagaimana dia menggambarkan sosok kamu sebagai seorang perempuan, ayah bisa lihat semuanya, kak. Nak Raka juga mencintai kamu.”

Air mata gue lagi-lagi lolos begitu saja.

“Tapi kenapa dia bersikap gitu yah?”

“Sekarang kamu bisa belajar dari cerita ayah kak, mungkin saja ada hal-hal yang harus terpaksa ia lakukan karena pilihan orang lain. Ayah nggak tau itu apa, kak. Cuma kamu sama Nak Raka yang tau. Ayah percaya banget kalo Nak Raka nggak se-pengecut ayah, kak. Ayah percaya, untuk perempuan yang di cintainya, dia bakal melakukan hal apapun. “

Gue terdiam, mencerna ucapan ayah baik-baik. Mencoba berpikir secara tenang.

“Selagi masih ada kesempatan, di bicarakan baik-baik. Menjalin hubungan itu harus dua arah, kamu harus tau apa pikirannya, begitupun juga dengan dia. Kalau kamu cuma sekedar menerka-nerka pikiranmu sendiri, selamanya nggak akan ada jalan keluarnya.” Tambah ayah.

“Jani takut, yah.”

“Jangan takut, ayah selalu di belakang Jani. Ayah selalu siap jadi rumah buat kakak.”

Gue menghambur ke pelukan ayah, betapa bersyukurnya gue punya seorang ayah seperti ayah gue di hidup ini.

Malam ini, setidaknya beban yang ada di pelupuk mata gue udah turun. Tugas gue habis ini yaitu harus bisa memantapkan diri gue untuk berhadapan dengan Raka, menyiapkan diri untuk mendengar apapun kalimat yang terucap dari bibirnya.

“Mas Raka mau kemana mas?” Supir sekaligus penjaga rumah baru mereka yang sedang berjaga di depan rumah, menyapa.

“Mau keluar sebentar pak, ada urusan.” Sahut Raka sambil masuk ke dalam mobil.

“Perlu saya antar tidak mas?”

“Nggak perlu pak, saya bisa nyupir sendiri.”

Sampai sekarang Raka masih memikirkan, alasan apa yang membuat ayahnya mengirimkan penjaga tersebut ke rumahnya. Karena selama ini juga Pak Pardi sudah cukup untuk menjaga sekaligus supir yang mengantar sang Ibunda.

Sejujurnya Raka sudah memiliki firasat kalau saja orang suruhan ayahnya ini hanya untuk memantau pergerakan Raka selama ditinggal ayahnya berlayar.

Setelah sedikit berurusan dengan penjaga tersebut, Raka langsung melajukan mobilnya menuju rumah Bella. Sepanjang perjalanan Bella terus-terusan menelfon.

Bella: “Rak, mamah udah nangis-nangis! Gue bingung harus apa!” Raka: “Gue bentar lagi sampe Bel, ini udah deket. Lo siap-siap aja dulu, kita langsung ke rumah sakit

Bella nggak mematikan telponnya, dari jauh Raka mendengar suara Bella yang sedikit bergetar membantu mamah-nya untuk bangun.

Setelah sampai di rumahnya, Raka langsung bergegas melajukan mobil menuju rumah sakit terdekat. Sampai sana, ibu Bella langsung di tangani oleh dokter, menyisakan Bella yang terduduk di kursi sambil menangis.

“Udah nggak usah nangis, udah di tanganin sama dokter. Habis ini pasti membaik kok Bel.” Raka mencoba menenangkan Bella.

Ibu dari Bella memang diketahui memiliki penyakit leukemia, sudah hampir setahun ini keluarga mereka sering bolak balik ke Jakarta untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik, namun karena papah Bella merupakan seorang pelaut sama seperti ayah Raka, jadi mau tidak mau mereka hanya bisa meminta tolong kepada keluarga Raka.

Akhirnya setelah perjalanan panjang, hari yang gue tunggu-tunggu tiba juga. Event LKBB Gelora ini diadakan setiap tahunnya, sudah jadi tradisi turun temurun yang wajib hukumnya untuk dilaksanakan.

Dari pagi gue udah mulai sibuk, bunyi pantofel gue berdetuk menginjak hampir seluruh lantai yang ada di sekolah. Gue agak panik, karena pas gue dateng semua anggota udah lagi briefing pagi. GUE KESIANGAN. Gara-gara semaleman nangisin Raka!!!

“Selesai acara lari keliling lapangan 10x untuk keterlambatan kamu.” Kang Ibra langsung nyemprot, begitu gue ijin masuk ke dalam barisan.

Setelah briefing pagi, gue langsung ngerjain semua pekerjaan gue. Mulai dari memastikan seluruh daftar peserta sudah tercetak dengan lengkap, nomer tanda peserta sudah tersedia, memastikan seluruh sekolah yang mendaftar sudah mendapatkan ruang tunggunya, dan juga memastikan lembar format penilaian.

Kerjaan gue banyak banget! Sedangkan Bagas, komandan sekaligus ketua pelaksana acara hanya berdiam diri duduk di bawah tenda, sambil menunggu kedatangan Bapak Wali Kota untuk melakukan seremoni pembukaan.

“Mil, lu punya makanan yang bisa gue makan nggak?”

“Lagian bisa-bisanya lu acara penting begini malah kesiangan! Kan gue bilang langsung tidur! Malah ngeliat story Raka!” Mila mengomel sambil memberikan sebuah kotak berisi jajanan pagi.

“Ya gimana lagi Mil...”

Setelah menyantap jajanan dari Mila, gue bergegas menuju ruang guru. Pekerjaan gue dilakukan disana, karena tugas gue adalah menjadi salah satu yang menghitung penilaian peserta lomba, maka gue bener-bener stay di dalam ruang guru. Kenapa nggak di mabes aja? Karena di ruang guru jauh lebih aman, menghindari adanya keributan-keributan yang mungkin muncul.

Gue seharian bener-bener nggak keluar dari ruang guru, bahkan makan siang aja gue lewatin karena se-begitu nggak ada waktunya.

“Jani, udah sana makan dulu. Ini biar gue aja yang gantiin.” Dika datang dari arah belakang.

“Gapapa kang, nanti aja gampang. Tadi juga udah sarapan.”

Gue yang sibuk dengan ngerekap lembar penilaian sama Teh Sinta, Kang Iyel, Keno, sama ada salah satu purna angkatan yang baru lulus masih terus menghitung nilai-nilai itu. Setelah selesai menghitung lembar penilaian, gue masih harus lanjut nge-print sertifikat dan berita acara untuk pengumuman. Bagas udah bolak balik nanyain gue udah selesai apa belum, dia lupa kayaknya kalo tangan gue cuma dua sama kaya dia.

“Jan, bisa dipercepet nggak? Ini udah ngaret setengah jam. Pelatih-pelatih udah mulai ribut.”

“Gas! Lu bisa diem dulu nggak? Kalo lu nanya mulu yang ada gue nggak selesai-selesai.” Gue yang juga lagi panik cuma bisa ngomel ke Bagas.

“Jani, ayo udah selesai belum?” Dari belakang Dika muncul, makin pengen gue acak-acak ruang guru saat itu.

Setelah satu persatu tugas gue selesai, dan acara sudah berada pada puncaknya, akhirnya gue pikir bisa sedikit bernafas. Namun ternyata salah, waktu gue bangun dari duduk dan berniat untuk gabung bersama panitia yang lain, Dika, Bagas, beberapa purna dan salah satu juri masuk ke dalam ruang guru. Langkah kaki gue terpaksa mundur.

“Jan, ini lo ada salah banyak banget!” Bagas langsung menodong gue.

“Salah apanya?”

“Ini sekolah SMK Satria Bangsa masa penilaian sementara sama akhir bisa lebih kecil yang akhir?! Kan nggak masuk akal.”

Gue langsung nyari lembar penilaian yang udah nggak tau letaknya di tumpukan mana.

“Lo gimana sih? Ini ada 3 sekolah lagi yang kaya gini! Bisa-bisa itu juga kandidat juara utamanya juga salah gimana?”

Gue mulai ketakutan, sambil masih mencari lembar penilaian dibantu Dika.

“Nih ketemu! Satria Bangsa.”

Dika langsung dengan sigap kembali menghitung ulang nilai di dampingi oleh juri yang merupakan seorang tentara tersebut dan purna-purna. “Jan, lanjut cari yang 3 lainnya.” Ujar Dika.

Sepanjang gue nyari, Bagas yang juga ngebantu nyari masih aja nyalah-nyalahin gue. Emosi gue juga makin campur aduk, di tambah tiba-tiba salah satu pelatih memasuki ruang guru, yang nota bene-nya merupakan area terlarang.

“Maaf kang, ini area terlarang. Jadi mohon tunggu di luar ya kang.” Bagas mencoba berbicara ke pelatih tersebut.

“Saya mau lihat penilaian kalian secara langsung! Aneh kalian itu! Bisa-bisanya acara sebesar ini salah melakukan penghitungan! Fatal tau nggak kalian?!” Nada bicara pelatih tersebut meningkat, gue bener-bener takut saat itu.

“Sudah, tenang dulu ya Kang. Saya disini coba melihat dimana kesalahannya.” Bapak tentara tersebut turun tangan.

“Ya pokoknya saya mau tunggu disini, kalo saja tadi saya tidak melihat perbedaanya bisa-bisa sekolah kita pulang dengan piala yang bukan seharusnya kami dapatkan! Baru pertama kali saya menemui permasalahan seperti ini selama saya jadi pelatih!”

“Jani, mana yang tiga-nya?” Dika menghampiri, berusaha kerja dengan sangat cepat, sebelum semuanya semakin berantakan.

Namun benar saja, ketiga pelatih dari sekolah lainnya juga ikut memasuki ruang guru, diikuti oleh anak buahnya yang gue yakini mereka semua danton.

“Gimana kang ini kejelasannya?” Salah satu diantara mereka terus mendesak.

Bapak tentara tidak bisa berbuat apa-apa, karena tau ini memang kesalahan kita. Atau mungkin lebih tepatnya, salah gue. Beliau hanya terus mencoba menenangkan para pelatih tersebut.

Disitu gue udah bener-bener nahan nangis, saking takut dan rasa bersalah gue.

“Neng, kamu yang hitung ya? Kamu dibayar sama sekolah lain buat menangin mereka?” Jantung gue berhenti berdetak sepersekian detik. Air mata gue lolos.

“Maaf kang, saya nggak ada berbuat hal-hal yang seperti itu. Ini murni kesalahan saya.” Dengan terbata-bata gue berbicara.

“Karena kesalahan kamu, ini sekarang pengumuman jadi nggak jelas. Yang juara satu aja belum tentu itu nilainya bener!”

“Kang, maaf ya, ini sudah saya cross check lagi. Memang benar ada kesalahan penghitungan, ada salah satu aspek yang terlewat dimasukkan ke dalam penjumlahan, dan setelah semua diperbaiki, SMK Satria Bangsa menjadi juara umum 3.”

“Nah kannn... ini udah salah banget kang, saya sarankan aja sih lebih baik dihitung kembali seluruh sekolah. Dari pada yang seharusnya dapat malah jadi nggak dapat karena kesalahan panitia.” Lagi-lagi pelatih tersebut angkat bicara.

“Baik kang terima kasih sarannya, ini akan segera saya cross check semua sekarang. Mohon ditunggu di luar dulu ya Kang, mohon maaf atas kejadiannya.” Dika mencoba menengahi permasalahan.

Keno yang baru saja masuk untuk menannyakan perkembangan akhirnya dikirim balik untuk memberikan info terkait kemunduran pengumuman yang bisa di bilang sudah berjalan dan hampir selesai itu.

Rasa bersalah, malu, takut, semua jadi satu. Gue bener-bener nggak punya muka buat ngehadepin Kang Ibra dan semua panitia dan purna-purna.

Gue, Kang Dika, Bagas, salah seorang purna dan salah satu juri yang membantu akhirnya menyelesaikan cross check penilaian, dan kesalahan memang cuma terdapat di empat sekolah tadi saja. Setelah itu pengumuman akhirnya dilanjutkan kembali. Dan gue memutuskan untuk tetap di dalam ruang guru, berpura-pura membenahi meja supaya tidak perlu keluar saat itu juga.

Di ruangan yang hanya ada gue seorang diri, gue tumpahkan semua tangisan yang gue tahan mati-matian. Namun juga gue berusaha untuk menata pikiran gue supaya bisa berhenti menangis, gue nggak mau di lihat dengan keadaan yang seperti ini. Gue bener-bener ngumpet di bawah salah satu meja guru.

“Jan, disuruh ke lapangan. Udah mau eval.” Jantung gue mulai berdegup kencang lagi. Jujur, gue bener-bener takut.

Saat gue keluar dan menuju lapangan, gue udah melihat semua panitia dalam keadaan turun (push-up), gue langsung lari dari ujung dan ijin masuk ke dalam barisan.

Kang Ibra dan para purna yang banyak itu berdiri mengelilingi panitia. Pikir gue saat itu, udah fix habislah gue.

“Rinjani, salah kamu apa aja hari ini?” Kang Ibra langsung to the point nanya ke gue.

“SIAP! Tadi pagi saya datang terlambat.”

“Terus?”

“SIAP! Saya melakukan salah penghitungan nilai.”

“Terus?”

Gue diam, nggak tau apa lagi kesalahan yang gue lakuin. TAPI GUE DIPAKSA KEADAAN UNTUK JAWAB. Tipikal.

“APA RINJANI! JAWAB!” Gue masih gagap, nggak bicara apa-apa.

“Bisa-bisanya sekertaris datang terlambat di hari acara?! Kenapa kamu terlambat dek?! JAWAB SAYA!” Salah seorang purna yang dulunya juga seorang sekertaris ngebentak tepat di depan muka gue. Teh Rani namanya, dia salah satu purna paling galak yang gue kenal.

“Kalo kamu nggak mau jawab saya biarkan semua panitia terus-terusan dalam keadaan turun!” Ucap Kang Ibra.

“SIAP! Mohon maaf kang saya tidak tahu!” Gue bener-bener clueless sama jawaban yang dimau mereka!

“Semua bangun!!” Bentak Kang Ibra.

Sore itu semua panitia termasuk senior (angkatan Kang Dika) di evaluasi habis-habisan sama Kang Ibra dan purna. Terutama gue.

“Rinjani kenapa kamu kerjakan sendiri cross check nilai???” Tanya Kang Ibra.

“Siap, Teh Sinta sudah bantu saya kang, sama Keno, Kang Iyel, dan beberapa purna, tapi karena tiba-tiba hujan dan panita di lapangan butuh bantuan, saya iyakan untuk mengerjakan sendiri kang.”

“Ya makanya itu! Kenapa kamu iyakan? Tugasmu di dalam ruangan itu memang tidak menguras tenaga banyak, tapi emosi dan mentalmu harus stabil! Dari pagi aja kamu sudah datang terlambat, di hari besar ini, Rinjani!”

“Siap, maaf kang!”

“Kamu udah ngerasa hebat bisa ngerjain semuanya sendiri?” Teh Rani ngedeket ke arah gue, jarak wajah kita bener-bener cuma beberapa sentimeter aja!!!

“SIAP TIDAK TEH! Tapi maaf teh sebelumnya, tadi setelah saya melakukan penilaian, semua hasil saya serahkan lagi ke Teh Bintang untuk di cross check ulang.” Jelas gue.

“OH JADI KAMU NYALAHIN SAYA?” Teh Bintang maju dan langsung nyamperin gue.

Gue lupa pasal nomer 1, senior tidak pernah salah.

Kadang gue benci banget sama pasal itu, sebagai junior gue nggak punya power apa-apa meskipun gue punya pembenaran.

Kini giliran Kang Ibra yang maju, gue bener-bener dikelilingin mereka sendiri, “Dari awal, tugas seorang sekertaris itu yang paling berat diantara semua pekerjaan. Maka dari itu sejak awal saya percayakan penuh tugas ini ke kamu! Tapi kalo hasilnya kaya gini, saya bener-bener kecewa sama kamu, Jani.”

“Siap!” Badan gue bergetar, mata gue mulai panas, gue nangis.

“Kenapa nangis? Kan kata kamu saya yang salah?!” Teh Bintang kembali menodong gue.

“Semua anggota bangun!” Kang Ibra ngasih perintah.

“Lari dua puluh keliling untuk seluruh panitia, dan untuk Rinjani tambah sepuluh putaran! Jelas?!” tambah Kang Ibra.

“SIAP JELAS!” Ucap seluruh panitia.

Setelah diberi aba-aba, gue dan panitia lainnya memulai hukuman kita. Gue lari sambil nangis, karena rasa bersalah gue ini, di pikiran gue, gue rela lari sampe besok pagi kalau diminta.

Kita semua lari sambil nyanyi yel-yel, lima putaran pertama lagu dinyanyikan secara lantang, masuk ke putaran sepuluh, volume kita sudah menurun.

Di putaran ke tiga belas salah satu junior ada yang jatuh, dibantu angkat sama beberapa purna. “Lari di tempat! Grak!”

“Siapa yang sudah tidak sanggup?!” Tanya Kang Ibra. Jelas saja, nggak ada yang berani buat ngomong. Namun setelahnya Kang Ibra langsung memberhentikan kita.

“Masih sanggup nggak nih?” Tanya salah seorang purna.

“Siap tidak kang!” Akhirnya Bagas buka suara!

“Masa baru tiga belas putaran udah nggak sanggup?! Lemah bangett!!”

“Terus mau bagaimana, Bagas?” Tanya Kang Ibra.

“SIAP! Maaf kang, teh, kalo boleh kita lanjutkan hukumannya besok!”

“Masa hukuman di cicil!” Sindir salah seorang purna lainnya.

Kang Ibra yang melihat seluruh panitia sudah sangat kelelahan akhirnya mengijinkan kita untuk melanjutkan hukumannya besok. “Oke, lanjutkan besok tapi tambah 5 putaran lagi! Mengerti?!”

“Tapi itu sekertaris kan seharian cuma di ruang guru aja kang, selesein sekarang juga sanggup lah!” Teh Rani menyindir gue. Jujur, gue masih sanggup buat ngelanjutin ini. Tapi gue takut banget kalo bakal di tatar lebih lama sendirian.

“Sanggup nggak Jani?” Tanya Teh Rani lagi. “Siap sanggup teh!”

“Oke semua bereskan mabes lalu langsung pulang, selain Rinjani!” Setelah Kang Ibra membubarkan barisan, akhirnya hanya tersisa gue. Tapi ternyata nggak cuma gue aja yang menetap di barisan, ada Kang Dika, Kang Iyel, Bagas, dan Keno.

“Kalian mau ngapain disini?” Tanya Teh Rani.

“Siap! Saya mau menyelesaikan hukuman hari ini teh!” Ucap Kang Dika.

“Nggak ada, semua pulang selain Rinjani ini.” Kata Teh Rani dengan suara nyebelinnya.

TAPI KANG DIKA NGGAK ERGERAK SEDIKITPUN. BEGITU JUGA DENGAN YANG LAINNYA.

“Oke, kamu sama Rinjani aja yang disini. Sisanya pulang!” Ucap Teh Rani lagi.

“Kang, Teh, mohon ijin unt-” Belum selesai Kang Iyel ngomong ucapannya udah di potong sama Teh Rani.

“Nggak ada! Kalian semua selain Rinjani dan Dika pulang! Kalo tetep ngotot hukuman mereka saya tambahkan!” Jelas Teh Rani.

Karena nggak bisa berbuat apa-apa lagi jalan satu-satunya untuk menyelamatkan gue dan Kang Dika adalah pulang, mereka akhirnya balik ke mabes dan menyisakan gue sama Kang Dika di lapangan.

Gue akhirnya melanjutkan hukuman lari gue yang masih tujuh belas putaran lagi, gue bisa melihat temen-temen gue satu persatu pulang dan para purna masih ngobrol di pinggir lapangan sama Kang Ibra.

Awal gue lari semua baik-baik aja, tapi tiba-tiba gue NANGIS! Gatau kenapa tiba-tiba air mata gue turun gitu aja. Gue pikir itu cuma keringat yang menetes, tapi nggak hati gue juga ikutan sakit.

Sepanjang lari gue bener-bener marah sama diri gue sendiri, marah karena gue nggak bisa apa-apa lagi selain nangis. Gue ngerasahidup gue berantakan banget saat itu, acara nggak berjalan sesuai ekspetasi gue, di tambah lagi gue lagi kehilangan Raka. Rasanya gue pengen ngehilang aja dari bumi ini saat itu.

Usaha yang selama ini gue jalanin hancur gitu aja, ekspetasi gue tentang acara yang berjalan lancar, gue dapet pujian dari semua orang, pulang dengan rasa puas dan bisa dapet pelukan dari Raka hilang gitu aja.

Emang hal yang paling salah itu kalo udah berekspetasi sama yang namanya manusia, even itu diri kita sendiri.

“Jangan nangis, nanti lo makin cape.” Dari belakang Kang Dika berusaha menenangkan gue. Mendengar itu gue malah makin nangis sejadi-jadinya.

Di putaran ke dua puluh purna-purna mulai ijin ke Kang Ibra untuk pulang, sekarang udah hampir maghrib dan mereka melenggang pergi gitu aja tanpa inget YANG NGASIH GUE ABA-ABA LARI ITU TEH RANI YANG SEKARANG UDAH MAU PULANG!!!

“Masih kuat nggak?” Kang Dika memelankan tempo larinya, menyetarakan langkahnya dengan gue.

“S-siap, masih kang.” Gue menjawab dengan sisa-sisa tenaga gue.

Hukuman lari Kang Dika udah selesai, dua puluh putaran. Tapi dia tetep nemenin gue lari!

Masuk ke putaran dua puluh dua, kaki gue mulai melemah, sampai akhirnya gue tersandung kaki gue sendiri dan berakhir terjatuh di pinggir lapangan, tepat di sebrang Kang Ibra.

Kang Dika ngebantu gue untuk bangun, dan Kang Ibra menghampiri kami.

“Rinjani masih punya tenaga?” Ucap Kang Ibra.

“S-ssiap! Masih kang!” Nafas gue udah pendek banget, rasanya oksigen dalam tubuh gue kaya udah kekuras habis.

“Masih punya tenaga untuk nangis?”

“Siap! Tidak kang!” Gue menghapus air mata yang bercampur dengan air keringat itu.

Kaki gue udah bener-bener lemes, beberapa kali badan gue hampir jatuh, untung aja beberapa kali itu Kang Dika megang pundak gue, ngebantu gue buat tetep berdiri dengan baik.

“Udah, besok di lanjut lagi. Saya mau pulang.” Kang Ibra langsung melenggang pergi gitu aja ke mabes, dan setelahnya gue beneran jatuh di tengah lapangan.

Gue masih sadar, tapi nafas gue bener-bener habis. Gue udah nggak sanggup bangun dan berakhir tiduran di tengah lapangan di susul Kang Dika yang juga ikutan ngelurusin punggungnya nggak jauh dari tempat gue.

Menatap langit sore itu yang berwarnakn jingga bercampur orange membuat gue tertawa pilu, ternyata dunia tetap berjalan dengan semestinya, meskipun dunia gue sedang hancur.

Bulan-bulan itu gue lewatin dengan ke-hectican ngurusin acara Paskib, bolak balik gue nangis gara-gara diomelin Bagas, bolak balik juga gue jadi bahan omongan guru-guru karena keseringan dispen.

Kadang gue suka bingung sama diri gue sendiri, bisa-bisanya Rindu Rinjani ngelewatin hari-harinya dengan selamat sentosa sampai hari ini. Ya, sedikit banyak Kak Raka ngebantu gue banget buat ngelewatin ini semua sih.

Meskipun dia juga lagi sibuk sama tumpukan ujian-ujian dan persiapan buat pendaftaran kuliahnya, kita tetap berhubungan dengan baik. Kita masih sering ke daerah atas cuma buat makan indomie soto buatan Bu Asih, atau ke alun-alun buat beliin titipan cimolnya Kira.

Oiya, sekarang Kak Raka juga udah bersahabat banget sama Bu Rita, iya nyokap gue. Dia udah jadi anak kesayangannya sekarang, setiap pagi bekel bawaan gue ada 2 tempat, dia udah punya tempat makan sendiri, nggak perlu ngambil punya Kira lagi.

Bokap gue udah nggak pernah ngajak Kak Raka main catur lagi, soalnya kalah terus dari Kak Raka. Mereka sekarang lagi hobby ngisi penuh buku TTS, gue suka nggak paham kesenangan bapak-bapak itu. Oiya, sekarang si Kira makin ngelunjak sama gue, semenjak ada Kak Raka. Dikit-dikit dia ngadu, dan berakhir gue yang di suruh ngalah.

Sebenernya disini anaknya keluarga pinus tuh gue apa Kak Raka sih???

Belakangan ini Acel kehilangan temen pulangnya, soalnya Mila lagi sering pulang bareng Kang Iyel. Iya bener! Ini kemajuan yang baik namun terlambat, mereka deket disaat keduanya udah hampir dipisahin sama waktu. Denger-denger, Kang Iyel mau lanjut di Belanda soalnya.

Waktu denger itu, Mila hancur banget. Dia sampe ngajak gue ngecamp di pantai. Sepanjang malem gue dengerin keluh kesahnya dia, Mila nyesel banget katanya nggak lebih caper waktu itu ke Kang Iyel. Padahal kalo di liat-liat, Mila itu orang paling caper yang gue kenal.

Ngomong-ngomong soal kuliah, Mila udah tau Kang Iyel mau ke Belanda, tapi gue masih nggak tau Kak Raka mau kuliah dimana. Semenjak kejadian di mobil waktu ke Bogor, gue udah nggak pernah nyinggung soal kuliah lagi di depan Kak Raka.

Kak Raka nggak pernah ngajak gue buat cerita-cerita hal pentingnya dia, obrolan kita selalu yang nggak penting. Contohnya kaya, “Kenapa ada istilah buang-buang air? Padahal air itu siklusnya ya di bumi aja, nggak akan kemana-mana. Kecuali yang dibawa sama para astronot ke luar angkasa.”

Gue juga suka heran sama yang ada di pikiran orang pinter...

tw // panic attack

“Kok kamu pake baju kaya gitu sih?” Tanya Raka ketika mereka baru saja memasuki mobil.

“Ih kenapa? Aneh yaa? Yaudah aku ganti dulu deh...” Jani terlihat panik.

“Nggak, nanti kalo ketuker sama peri kebun gimana?”

“RAKAAAA!!!!” Jani memukul lengan Raka dengan keras, menutupi rasa malunya.


Sepanjang perjalanan mereka menghabiskan waktu dengan mendengarkan beberapa lagu dari playlist Raka. Ditemani love story by Taylor Swift, Jani menggigit jagung yang ia beli di abang-abang keliling. Di tengah kemacetan Jani sudah mulai bosan, duduknya sudah tidak anggun lagi, lupa ia sedang mengenakan dress putih.

“Tau macet gini kita nggak usah main jauh-jauh ya kak, kamu kalo cape bilang ya nanti aku yang nyupir.” Ucap Jani di sela-sela menggigit jagungnya.

“Emang kamu udah punya SIM?” Tanya Raka sambil mengambil remahan jagung yang menempel di pipi perempuan di hadapannya.

“Yaa.. belum sih.”

“Kok kemaren berani-beraninya kamu nyupirin aku ke alun-alun???”

“Aku mah udah bisa bawa mobil, cuma belum punya SIM aja. Kata yayah besok aja bikinnya kalo mau kuliah.”

Raka masih menunggu kemacetan, tidak bosannya ia menatap Jani yang sedang melakukan private mukbang untuk Raka. Dilihatnya perempuan yang menggemaskan di hadapannya, tidak bisa ia menahan senyumannya.

“Ngomong-ngomong soal kuliah, Kak Raka mau kuliah dimana?”

“Hmm... belum kepikiran sih.”

“Dih?? Gimana belum kepikiran? Sebentar lagi udah mulai pendaftaran-pendaftaran kan?” Jani menaruh jagungnya.

“Ya nanti aja gampang, masih agak lama. Nggak usah ngomongin itu ya.”

“Tapi di Indo kan kak? Apa keluar negeri?” Jani masih penasaran.

Raka membenarkan posisi duduknya, kembali menghadap kedepan. Ia membuka kaca mobilnya, tiba-tiba dadanya mulai terasa sesak. Ia memukul dadanya dengan tangannya.

Melihat perubahan wajah pada Raka, Jani menjadi ikut panik. “Kak Raka kenapa? Apa yang sakit?”

Raka lantas meminggirkan mobilnya, menepi di pinggiran jalan, mencoba menenagkan dirinya.

Jani yang melihat ada warung di depan lantas keluar dari mobil menuju warung tersebut. Sedangkan Raka yang merasa sesak tersebut lantas keluar dari mobil dan berdiri di sisi mobil sebelah kiri. Ia memandang jauh ke depan hamparan kebun teh.

“Kak Raka, ini minum dulu.” Jani kembali membawa segelas teh hangat.

Tangan Jani mengusap punggung Raka, menunggunya sampai kembali tenang. Raka mencoba terus menatap jauh pandangannya ke hamparan kebun teh, mengontrol nafasnya yang mulai normal kembali.

“Mau duduk?” Tanya Jani.

Tanpa berbicara, Jani sudah mengerti jawaban Raka. Dibukanya pintu mobil tempatnya duduk.

“Ini minum lagi tehnya, biar nggak kedinginan.” Ujar Jani sambil menyodorkan teh hangat tersebut.

Bukan menerima teh tersebut, namun Raka justru menarik Jani, memeluk perempuan di depannya tersebut.

“Maaf ya...” Raka membuka suaranya.

“Kenapa minta maaf?” Jani mengelus lembut kepala Raka yang sedang bersandar pada tubuhnya tersebut.

“Aku bikin kamu panik terus...”

“Nggak kok, kan kamu tau aku emang anaknya lebay. Nggak ada apa-apa juga aku panik hahaha,” Jani mencoba mencairkan suasana.

“Kalo kamu nggak kuat gapapa, aku yang gantiin nyetir ya. Kita pulang aja yaa...”

“Nggak kok, aku udah gapapa. Aku kan yang pengen banget ngajak kamu ke kebun mamahku.” Raka melepas pelukannya.

“Bener udah nggak apa-apa?” Tanya Jani memastikan.

“Iyaa...” “Bener kayaknya kata Bi Surni, perawatku canggih banget.” Ledek Raka.

“Kekuatan teh hangat anak PMR keren juga ya ka, hahaha.” Keduanya tertawa.

Mereka lantas melanjutkan perjalanannya.

tw // mentioning of blood

Setelah mendengar kabar bahwa Raka sudah menunggu di pos jaga dekat rumahnya, Jani segera mengumpulkan nyawanya dan berjalan menuju tempat tersebut.

Dari jauh ia sudah melihat ada mobil hitam yang terparkir di bawah pohon yang rindang, dengan langkah kaki yang masih sempoyongan, Jani berjalan mendekat. Meskipun dari luar tidak terlihat orang di dalamnya, namun ia yakin bahwa mobil tersebut adalah mobil Raka.

Dibukanya pintu bangku penumpang, dan betapa terkejutnya Jani mendapati Raka yang bajunya sudah banyak dilumuri darah.

“Kak Raka kenapaaaa???” Seperti dugaan, Jani terlihat sangat panik saat melihat Raka.

“Tenang dulu, gue gapapa.”

“Gimana gapapa?! Ini berdarah semuaaaa.” Tangisnya semakin kejer.

“Boleh peluk gue dulu nggak, Jan?”

Tanpa berpikir panjang Jani langsung memeluk laki-laki dihadapannya tersebut. Runtuh sudah semua emosi yang ada di dada Raka. Tangisnya pun ikut pecah, bagaimana tidak, tangan Jani dengan lembut mengusap punggung yang bergetar itu.

“Kak Raka kenapa? kok bisa beginiii?” Jani kembali menanyakan keadaannya.

“Bisa kaya gini dulu sebentar nggak? Gue capek banget Jan...”

“Tapi ini diobatin dulu ya Kak, nanti infeksi.”

Raka masih belum mau melepas pelukannya, yang ia butuhkan sekarang hanyalah Rinjani di dekapnya.

Perempuan dipelukannya terus menenagkan dirinya, tangannya masih sibuk mengirimkan mantra-mantra. Dilepasnya pelukan hangat tersebut, perempuannya sudah berhenti menangis, lalu di sekanya air mata yang masih tertinggal di pelupuk mata Jani.

“Maaf ya, baju lo jadi kena darah gini...”

“Ini bisa hilang, tapi ini sembuhnya bakal lama kalo nggak di obatin,” Ucap Jani sambil mengelap darah yang keluar dari pelipis wajah Raka.

“Ayo ke rumah sakit...” Lanjut Jani.

“Nggak usah, lo obatin aja ya...” Tangannya memohon, memegang tangan Jani.

“Mana bisa gue ngobatin, gue kan anak Paskib, bukan anak PMR.”

“Yaudah ke apotik aja ya, beli salep sama perban.” Ucap Raka.

“Kak Raka... yang bener aja dong.”

Tidak bisa menang atas permintaan Raka, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke apotik terdekat, membeli beberapa obat-obatan. Karena Jani tidak mau mengambil resiko tiba-tiba Raka pingsan, maka kini ia yang mengendarai mobil.

Tidak ada pembicaraan selama di perjalanan, Raka hanya menyenderkan kepalanya yang mulai terasa sakit ke bantalan kepala jok mobilnya.


Setelah mendapatkan semua obat, Jani mengendarai mobil menuju alun-alun. Ia yakin Raka belum menyuap sesendok nasi pun.

“Tunggu disini, gue beliin makan dulu.”

Jani mengerjakan semuanya dalam diam, tidak dalam keadaan panik, namun juga tidak lambat. Ia dengan sigap melakukan pekerjaan untuk Raka.

Sekembalinya dari membeli seporsi bubur, Jani mendapati Raka yang tengah tertidur. Hatinya kembali sakit melihat keadaan Raka, darah yang keluar dari pelipis wajahnya sudah berhenti, namun masih tertinggal mengering di kulitnya.

Tidak ingin membangunkan Raka, Jani menutup pintu mobil secara perlahan, kemudian ia mengeluarkan semua obat-obatan yang ia beli dari apotek dan mulai membersihkan luka di wajah Raka secara perlahan.

Disekanya secara lembut wajah Raka, dilihatnya tiap inci. Bahkan lebam biru yang belum sempat ia obati kemarin kini bertambah lagi luka yang lebih dalam.

“Maaf ya, aku jadi ngerepotin kamu.” Raka membuka matanya, irisnya saling bertemu.

“Kalo waktu itu Kak Raka yang bilang mau terus-terusan di repotin Jani, sekarang biar Jani yang bilang kaya gitu. Jani mau direpotin terus sama Kak Raka,”

“Kalo Kak Raka mau, Kak Raka boleh ngeluh ke Jani, Kak Raka juga boleh nangis sepuasnya di bahu Jani. Kalo mau main ke rumah juga boleh kapan aja, Kak Raka mau apa aja boleh sama Jani,”

“Tapi, Kak Raka nggak boleh luka kaya gini. Jani nggak pernah punya luka kaya yang diterima Kak Raka, tapi Jani tau itu sakit, jadi jangan terluka ya kak, Jani sedih.”

“Maaf ya Jan, kamu harus lihat aku begini.”

Jani mengelus surai Raka, merapihkannya. “Iya, diamaafin.”

“Maaf juga, aku belum bisa cerita.”

“Gapapa, masih ada besok, lusa, dan hari-hari setelahnya.” Ucap Jani tak menuntut.

tw // kekerasan fisik , mentioning of blood , family abuse

“Bi Surni, coba tolong dilihatkan di kamarnya, Raka sudah bangun atau belum.” Ucap ibu Raka.

“Baik bu...”


tok tok tok

“Mas Raka...” Panggil Bi Surni dari depan pintu.

Yang dipanggil lalu menampakkan wajahnya yang masih terlihat sangat berantakan dan masih separuh tertidur. “Kenapa Bi?” Tanya Raka.

“Sama Ibu disuruh turun, Mas.”

Setelahnya Raka menuruni tangga dan menuju ruang makan, sudah ada kedua orang tuanya disitu.

“Sini sarapan Mas, temani Ayah mau berangkat hari ini.”

Raka yang sebenarnya masih belum berniat untuk sarapan turut duduk di meja makan, meskipun hanya meminum susunya, ia harus tetap berada di meja makan itu.

“Kamu sudah selesai ujian?” Tanya Ayah Raka yang sedang menyantap sarapannya.

“Sudah, Yah.”

“Gimana nilainya menurut kamu?”

“Belum tau, Yah.” Raka hanya bisa menunduk, memainkan jari-jarinya.

“Gimana bisa belum tau?! Kamu kan yang mengerjakan soalnya bukan?! Kamu harus sudah bisa prediksi nilai dari hasil pekerjaanmu dong!”

Raka terdiam, tidak ada pembelaan yang bisa ia ucapkan.

“Kamu sudah kelas tiga, awas sampai nilai-nilaimu turun ya! Saya tidak akan tinggal diam.”

“Sudah Yah, Raka juga selama ini sudah belajar dengan terus-terusan. Nilainya juga tidak pernah turun kan?” Ibu Raka ikut menimpali, membantu meredakan suasana.

“Gimana bisa dibilang belajar terus-terusan?! Lihat saja mukanya kemarin, pulang-pulang dengan keadaan habis berantem kan? Masih bisa-bisanya kamu ribut-ribut di luar sana ya! Buat malu saya di depan Ayah Bella!”

“Tapi kan setelah itu Ayah juga yang hancurkan muka Raka.” Kini Raka mulai berbicara, mengangkat wajahnya untuk menatap sang Ayah.

“Kamu berani ya melawan saya!! Siapa yang ajarkan kamu begitu? Mamah-mu?!” Ayah Raka berdiri dari kursinya.

“Jangan bawa-bawa Mamah, Yah. Mamah selalu ngajarin Raka hal-hal baik, beda dengan Ayah!”

Setelahnya sebuah gelas melayang begitu saja, tepat terkena wajah Raka dan berakhir pecah berhamburan di lantai. Ayahnya menghampiri Raka dan menamparnya.

“Ngomong di depan saya!” Ayah Raka mencengkram kerah baju tidurnya.

“Ayah egois!”

Sebuah pukulan mendarat di wajahnya, luka yang kemarin sudah mulai mengering tiba-tiba terbuka kembali. Darah mulai mengalir dari pelipis Raka, turun mengenai pipinya.

“Ayah!!!” Ibu Raka yang panik dengan apa yang terjadi di hadapannya langsung berlari ke arah Raka, dipeluknya erat.

“Raka, sudah masuk kamarmu Mas.” Ucap sang Ibunda.

“Masih bisa-bisanya kamu membela anak yang tidak tau diuntung ini! Biarkan dia saya kasih pelajaran! Biar tidak membangkan ke orang tuanya!”

Raka yang baru saja ingin maju mendekat ke Ayahnya di peluk mundur oleh ibunya, terdengar tangisan yang tersedu-sedu di telinga Raka.

“Mas, udah ya... Kamu masuk kamar aja.” Ujar Ibu Raka sambil masih menangis.

Raka yang sudah tidak kuat menahan emosinya langsung menyambar kunci mobil yang ada di meja, ia berjalan keluar meninggalkan kegaduhan yang ada.

“Raka!!! Mau kemana kamu!!! Mulai berani ya kamu kabur! Tidak usah kamu kembali lagi ke rumah ini!!!” Dari dalam Ayah Raka terus berteriak.

Tanpa mengganti pakaiannya, Raka langsung melajukan mobilnya menjauh dari rumahnya. Tanpa disadari air matanya sudah melolos begitu saja, semua emosi yang memuncak keluar begitu saja.

Tanpa membawa apapun Raka hanya memacu kendarannya menembus jalanan, tanpa arah dan tujuan.