Jani tidak berhenti-berhentinya memandangi buket bunga yang sekarang ada di pangkuannya tersebut.
“Keburu layu tuh bunga sebelum sampe kalo di liatin gitu mulu.”
Jani melirik tajam ke arah Dika, “Kenapa si! Nggak suka banget.” Dika tersenyum melihat wajah Jani yang sinis itu.
“Btw Kak Dik, ini gue terlalu lebay nggak sih sampe bawa bunga gini.”
“Emangnya kenapa?”
“Ya kan, kita aja nggak pernah komunikasi lagi beberapa tahun terakhir, kalo tiba-tiba gue bawa bunga kaya gini aneh nggak sih malah?” Tiba-tiba moodnya berubah lagi.
“Enggak lah, wajar aja kok.”
Jani menjadi terdiam selama sisa perjalanan menuju kampus Raka, di kepalanya ia sedang berpikir keras, haruskah ia menemui Raka atau tidak.
Kini mereka sudah sampai di parkiran sebuah depan fakultas tempat Raka kuliah, jantung Jani sekarang terasa seperti ingin meledak. Dalam beberapa waktu kedepan, ia akan bertemu dengan seseorang yang belakangan menjadi tokoh utama di pikirannya.
Setelah waktu yang lama ia tidak melihat secara langsung wajah pria tersebut, Jani menjadi takut rasanya. Apakah lelaki yang akan ditemuinya itu akan merasa senang bertemu kembali dengannya atau malah sebaliknya.
“Ayo turun,” Dika memecah lamunan Jani.
“Kak, kayaknya gue nggak jadi turun deh. Ini lu aja ya yang ngasih...”
“Lu jangan gila ya, gue udah nunggu sejam doang buat lu beli bunga, sekarang malah gue yang disuruh ngasih bunganya?”
“Gue takut!”
“Gue lebih takut lagi Jani, gue bisa dipandang lain sama orang-orang kalo ngasih bunga segede ini ke cowo!”
Jani menjadi lebih panik, ia merasa keputusannya mengiyakan untuk bertemu Raka adalah pilihan yang salah.
“Gue takut kadikkk! Gimana dongggg???”
“Yaudah gini aja deh, lu yang penting turun dulu aja. Kita tunggu di bangku pohon depan situ. Nanti gue panggil Rakanya suruh kesini kalo lu juga takut ketemu banyak orang.”
“AHHHHHHH!!!!” Tiba-tiba Jani berteriak.
“HEH! Lu jangan teriak-teriak anjir! Ntar dikira gue ngapain!”
Jani lalu mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Dengan tekad yang kuat, akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka pintu mobil dan keluar.
Jani dan Dika duduk di bawah sebuah pohon besar, di lihat-lihat belum ada tanda-tanda seseorang keluar dari gedung di depannya. Namun beberapa gerombolan mahasiswa cukup banyak yang berkerumun tidak jauh dari tempat duduk mereka.
“Kak, gue mules anjir,” Wajah Jani terlihat sedikt pucat, jantungnya sudah sangat tidak teratur.
“Lu tunggu sini ya, gue beliin minum dulu ke kantin.” Dika bangun dan berniat untuk pergi.
“Jangan lama-lama ya, gue takut ntar tiba-tiba anaknya keluar.”
Dika meninggalkan Jani sendiri, untuk mengurangi ketegangannya, Jani memainkan ponselnya. Namun tidak selang lama, gerombolan mahasiswa tadi mulai menghambur pergi ke depan pintu masuk sambil membuat sorak sorai.
Jani membeku, berharap itu bukan Raka. Karena sekarang Jani benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya, tangannya terasa sangat dingin dan nafasnya mulai menderu.
Saat sedang melihat gerombolan tadi dari jauh, Jani mulai melihat tokoh utamanya, laki-laki berbadan jangkung yang mengenakan kemeja putih. Jani hanya bisa duduk sambil gelisah menunggu Dika yang belum kunjung kembali dari membeli minuman.
Namun saat sedang menunggu Dika kembali, Jani melihat gerombolan tersebut hendak pergi menjauh ke arah lain. Jani refleks langsung berdiri, dalam hatinya ia berpikir bahwa ini kesempatan satu-satunya untuk dia bisa bertemu dengan Raka untuk memberikan ucapan selamat dan bunga tersebut.
Dengan segala keberanian yang ia miliki, Jani melangkahkan kakinya maju untuk menghampiri Raka.
Namun, sepertinya ada satu hal yang Jani lupakan. Dia melupakan kemungkinan adanya Bella di hari itu, dan benar saja. Beberapa langkah Jani maju dari kursi tadi, tiba-tiba ia melihat Bella berlari menghampiri Raka sambil membawa sebuah buket bunga yang besar.
Teman-teman Raka yang ada di sekitarnya meledek Raka habis-habisan, suara mereka terdengar sampai tempat Jani diam mematung. Tanpa disadari, rasa sesak itu muncul kembali, membuat Jani menitikkan air matanya.
Ia buru-buru membalikkan badannya dan menghapus air mata yang menggenang di kedua matanya, ia berjalan menjauh, mengurungkan niatnya untuk menghampiri rindunya.