sierrabcde

this spaceships sailing to heaven

Jani tidak berhenti-berhentinya memandangi buket bunga yang sekarang ada di pangkuannya tersebut.

“Keburu layu tuh bunga sebelum sampe kalo di liatin gitu mulu.”

Jani melirik tajam ke arah Dika, “Kenapa si! Nggak suka banget.” Dika tersenyum melihat wajah Jani yang sinis itu.

“Btw Kak Dik, ini gue terlalu lebay nggak sih sampe bawa bunga gini.”

“Emangnya kenapa?”

“Ya kan, kita aja nggak pernah komunikasi lagi beberapa tahun terakhir, kalo tiba-tiba gue bawa bunga kaya gini aneh nggak sih malah?” Tiba-tiba moodnya berubah lagi.

“Enggak lah, wajar aja kok.”

Jani menjadi terdiam selama sisa perjalanan menuju kampus Raka, di kepalanya ia sedang berpikir keras, haruskah ia menemui Raka atau tidak.


Kini mereka sudah sampai di parkiran sebuah depan fakultas tempat Raka kuliah, jantung Jani sekarang terasa seperti ingin meledak. Dalam beberapa waktu kedepan, ia akan bertemu dengan seseorang yang belakangan menjadi tokoh utama di pikirannya.

Setelah waktu yang lama ia tidak melihat secara langsung wajah pria tersebut, Jani menjadi takut rasanya. Apakah lelaki yang akan ditemuinya itu akan merasa senang bertemu kembali dengannya atau malah sebaliknya.

“Ayo turun,” Dika memecah lamunan Jani.

“Kak, kayaknya gue nggak jadi turun deh. Ini lu aja ya yang ngasih...”

“Lu jangan gila ya, gue udah nunggu sejam doang buat lu beli bunga, sekarang malah gue yang disuruh ngasih bunganya?”

“Gue takut!”

“Gue lebih takut lagi Jani, gue bisa dipandang lain sama orang-orang kalo ngasih bunga segede ini ke cowo!”

Jani menjadi lebih panik, ia merasa keputusannya mengiyakan untuk bertemu Raka adalah pilihan yang salah.

“Gue takut kadikkk! Gimana dongggg???”

“Yaudah gini aja deh, lu yang penting turun dulu aja. Kita tunggu di bangku pohon depan situ. Nanti gue panggil Rakanya suruh kesini kalo lu juga takut ketemu banyak orang.”

“AHHHHHHH!!!!” Tiba-tiba Jani berteriak.

“HEH! Lu jangan teriak-teriak anjir! Ntar dikira gue ngapain!”

Jani lalu mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Dengan tekad yang kuat, akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka pintu mobil dan keluar.

Jani dan Dika duduk di bawah sebuah pohon besar, di lihat-lihat belum ada tanda-tanda seseorang keluar dari gedung di depannya. Namun beberapa gerombolan mahasiswa cukup banyak yang berkerumun tidak jauh dari tempat duduk mereka.

“Kak, gue mules anjir,” Wajah Jani terlihat sedikt pucat, jantungnya sudah sangat tidak teratur.

“Lu tunggu sini ya, gue beliin minum dulu ke kantin.” Dika bangun dan berniat untuk pergi.

“Jangan lama-lama ya, gue takut ntar tiba-tiba anaknya keluar.”

Dika meninggalkan Jani sendiri, untuk mengurangi ketegangannya, Jani memainkan ponselnya. Namun tidak selang lama, gerombolan mahasiswa tadi mulai menghambur pergi ke depan pintu masuk sambil membuat sorak sorai.

Jani membeku, berharap itu bukan Raka. Karena sekarang Jani benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya, tangannya terasa sangat dingin dan nafasnya mulai menderu.

Saat sedang melihat gerombolan tadi dari jauh, Jani mulai melihat tokoh utamanya, laki-laki berbadan jangkung yang mengenakan kemeja putih. Jani hanya bisa duduk sambil gelisah menunggu Dika yang belum kunjung kembali dari membeli minuman.

Namun saat sedang menunggu Dika kembali, Jani melihat gerombolan tersebut hendak pergi menjauh ke arah lain. Jani refleks langsung berdiri, dalam hatinya ia berpikir bahwa ini kesempatan satu-satunya untuk dia bisa bertemu dengan Raka untuk memberikan ucapan selamat dan bunga tersebut.

Dengan segala keberanian yang ia miliki, Jani melangkahkan kakinya maju untuk menghampiri Raka.

Namun, sepertinya ada satu hal yang Jani lupakan. Dia melupakan kemungkinan adanya Bella di hari itu, dan benar saja. Beberapa langkah Jani maju dari kursi tadi, tiba-tiba ia melihat Bella berlari menghampiri Raka sambil membawa sebuah buket bunga yang besar.

Teman-teman Raka yang ada di sekitarnya meledek Raka habis-habisan, suara mereka terdengar sampai tempat Jani diam mematung. Tanpa disadari, rasa sesak itu muncul kembali, membuat Jani menitikkan air matanya.

Ia buru-buru membalikkan badannya dan menghapus air mata yang menggenang di kedua matanya, ia berjalan menjauh, mengurungkan niatnya untuk menghampiri rindunya.

Selama perjalanan mood jani sedang pada keadaan yang sangat baik, mulutnya melakukan banyak sekali perkejaan, mengeluh tentang liburannya yang sangat membosankan, makan snack yang ia beli di minimarket, bersenandung ria. Ia pergi dalam keadaan tanpa beban.

Dika mengendarai mobilnya dengan cepat, tidak terasa dua jam lewat mereka sudah sampai di daerah Yogyakarta. Sesampainya di sana, Dika membangunkan Jani yang terlelap di kursi penumpang.

“Jan, bangun ayo sarapan dulu!” Ucap Dika lembut.

“U-uudah nyampeee?” Jani menggeliat, menegakkan sandaran kursinya.

“Udah, makan dulu ayo.”

Mereka memasuki salah satu rumah makan yang menyediakan khas masakan daerah tersebut, tepat disamping sebuah Universitas besar.

“Kok lu tau tempat makan gini sih Kak?”

“Semua orang yang ke Jogja juga tau kali Jan tempat ini mah...”

“Kok gue gatau ya?”

“Lu mah taunya apa sih, di jalan tadi ada kuda ngamuk aja nggak tau kan lu?”

“HAH??? DEMI APAA??” Jani terkejut, membuatnya menghentikan suapan makanannya.

“Makanya jangan tidur mulu! Katanya mau liburan...”

“Ya gimana, gue gabisa tidur dari semalem saking excitednya tau gaa!”

“Lebayy...”

Mereka melanjutkan makannya. Setelah selesai makan dan membayar, mereka kembali lagi ke dalam mobil. Bukan langsung pergi, Dika justru sibuk dengan handphone di tangannya.

“Kok nggak berangkat?” Tanya Jani mendesak tidak sabar.

“Bentar, gue lagi ngehubungin temen gue dulu.” Ujar Dika sambil tangannya masih sibuk mengetik.

“Oiya ya, kita mau ketemu temen lu dulu. Btw, siapa deh temen lu? Gue kenal?”

“Hmm... kenal.”

“Hah? Siapaaa?” Jani kaget mendengar jawaban Dika, pasalnya ia mengira bahwa teman yang ingin ditemuinya adalah teman rumah atau SMPnya.

Dika tidak menjawab pertanyaan Jani, ia menengok ke arah Jani yang masih menunggu jawabannya.

“Raka...”

Jani terdiam, saking terkejutnya ia sampai tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Dalam pikirannya kini ia sedang sibuk menerka-nerka, 'sejak kapan Dika punya hubungan se-deket itu sama Raka?'

“Kok bisa?”

“Bisa apannya?” Tanya Dika bingung.

“Temenan sama Raka??”

“Udah lama sih sebenernya...” Jani terdiam, banyak hal yang tiba-tiba melintas ke dalam pikirannya.

“Terus gue gimana?”

“Gimana apanya?”

“Ya gimana gue ketemu Raka!!!”

“Ya tinggal ketemu aja...kan?”

“KA DIKAAAA!!!!!!” Jani memukul tangan Dika dengan keras, pikirannya telah kembali, dan ia mulai panik.

“Gapapa kan?” Tanya Dika.

“Gue nggak mau ikut turun.”

“Kenapa?”

“Kok lu pake nanya kenapa sih? Gue selama ini mati-matian berusaha buat ngelupain dia, lu tau sendiri kak gimana gilanya gue! Tapi sekarang lu malah buat gue ketemu lagi sama dia?!”

Dika duduk menghadap ke arah Jani, “Jan, lu ngerasa kan kalo selama ini lu hanya berdiri diam di satu titik, dan nggak pernah pergi barang se-inchi-pun?”

”-tau kenapa?” Tanya Dika.

”...” Yang ditanya hanya terdiam.

“Karena baik lu ataupun Raka, dari awal nggak pernah ada kata jelas. Semuanya menggantung di langit-langit hati kalian masing-masing. Kalo lu mau beban di hati lu hilang, maka selesein, Jan.”

Jani masih terdiam, sudah lama sekali ia tidak di hadapkan dengan sebuah pilihan yang berhubungan dengan Raka.

“Tapi kan dia yang ninggalin gue kak, apa lagi yang mau di selesein dari kita? Bagi dia mungkin kisah kita udah selesai dari lama, dan emang hanya gue yang masih memilih buat diam di tempat itu. Hadirnya gue lagi juga nggak akan ngerubah apa-apa, dan mungkin malah akan lebih nyakitin buat gue nantinya!”

“Lu nanya langsung ke Raka tentang perasaannya?”

Jani menoleh, “Kak, Raka udah punya Bella. Gue nggak mau ngerusak apapun dari hubungan mereka. Gue tau banget rasanya diusik, dan gue nggak mau jadi pengusik.”

“Gue nggak akan maksa lu, Jan. Gue cuma mau bantu lu aja biar bisa keluar dari semua ini. Karena gue tau banget gimana perjuangan lu selama ini, makanya gue mau lu buat selesein semua ini.”

Keduanya lalu terdiam, Dika memberikan waktu untuk Jani berpikir lebih dalam.

“Kalo lu nggak mau turun gapapa kok, nanti gue aja yang ketemu dia.”

Sejujurnya di dalam hati Jani terdalam, ingin sekali rasanya melihat Raka secara langsung. Ada rindu yang tiba-tiba kembali merabung setelah sekian lama ia simpan rapat-rapat.

“Tapi gue mau nitip bunga...” Jani bersuara.

“Oke, kita cari florist dulu.”

Dika langsung kembali melajukan mobilnya meninggalkan.

Dari awal nggak pernah terbayangkan bagi gue seorang Mahardika Abidzar bisa berakhir jadi hmm... Teman? Babu? Perantara? Entah apapun sebutannya, untuk seorang Reino Adraka.

Semua bermula di akhir masa SMA.

Waktu itu malam terakhir dari rangkaian perpisahan SMA kita di Bandung, gue terlalu suntuk untuk ngikutin party ala-ala anak OSIS. Akhirnya gue cabut dari dalam ruangan itu dan menuju ke sebuah pendopo di balik gedung yang menghadap ke kota di bawah.

Suasana malam itu ngedukung banget buat sepasang kekasih yang menghabiskan malamnya untuk deep talk sebelum keduanya menjalin long distance relationship, ditemani taburan lampu kota dan udara yang dingin. Sangat mendukung bukan?

Namun nahasnya, gue yang jomblo ini hanya ditemani asap dari sebatang rokok yang gue hisap. Sampai akhirnya ada seseorang yang muncul dari belakang dan ikut duduk di samping gue.

“Boleh bagi?” Ucap Raka.

“Sejak kapan lu ngerokok?”

“Udah lama, tapi semenjak deket sama Jani, gue berhenti.”

Kita nggak sama-sama bicara untuk waktu yang cukup lama, sama-sama sibuk berlomba menghabiskan sebatang rokok.

“Jadi Jani gimana? Udah fix dilepas?” Gue mulai membuka pembicaraan.

“Gue nggak bisa sama Jani, Dik.” Ucap Raka singkat.

Malam itu entah apa yang ada di pikiran Raka, tapi semua tentang Reino Adraka gue ketahui. Raka cerita semua tentang hidupnya ke gue. Mulai dari Bella yang di jodohin sama keluarganya, bokapnya yang diktator abis, almarhum kakaknya, sampai Rinjani. Raka cerita semuanya ke gue.

Semenjak kejadian Raka yang nggak dateng ke pantai hari itu, gue udah ngecap dia sebagai laki-laki paling brengsek sedunia. Tapi malem itu, gue berpikir ulang.

Setelah malam itu gue dan Raka kembali jadi seperti semula, nggak ada pembicaraan lanjut antara kita. Kita sama-sama bersikap seakan nggak terjadi apa-apa. Kaya waktu gue belum tau tentang dia. Sampai pada akhirnya dia tau kalo Jani keterima di Universitas yang sama kaya gue.

Awalnya dia cuman taya-tanya tentang Jani keterima di jurusan apa, terus dia tinggal dimana? Ada saudara atau ngekos? Terus dia nanya-nanya Jani ada kesusahan atau nggak selama di sana. Sampai akhirnya dia minta tolong gue buat jagain Jani selama di Semarang.

Dia kasih tau gue semua tentang kebiasaan-kebiasaan Jani, tentang penyakit gerd dan asthma-nya yang suka kambuh kalo stress, kebiasaannya kalo keluar nggak pernah pake jaket, sampai dia ngeperhatiin hal-hal kecil kaya mood Jani selalu buruk kalo lagi datang bulan.

Disitu gue tau, kalo Raka juga cinta banget sama Rinjani.

Raka sering banget transfer gue di akhir bulan, katanya gini, “Dik, tolong ajak Jani makan yang enak ya, dia anaknya boros, tapi nggak suka minta kalo nggak dikasih sama orang tuanya duluan.” Dalam hati gue, anjir, nih mereka berdua bener-bener jatuh cinta yang sejatuh-jatuhnya njir. Niat gue buat balik deketin Jani lagi gue urungkan. Gue nggak ada apa-apanya dibanding Raka men!!!

Mereka masih sama-sama saling mencitai dalam diam. Meskipun mungkin sebenarnya di hati mereka sama-sama punya luka yang harus di jahit dua belas jatihan. Mereka sama sekali nggak menuntut keadaan untuk bisa berpihak ke arah mereka, mereka ikhlas, tapi masih sama-sama saling mencintai.

Pernah sekali, waktu Jani lagi sibuk-sibuknya jadi panitia ospek. Berangkat jam 4 subuh, pulang jam 10 malem. Di hari setelah acara selesai dia tumbang, telpon gue malem-malem bilang kalo lambungnya kambuh, dan yang parahnya apa? Dia udah kesakitan dari pagi dan baru bilang ke gue malemnya! Seharian dia nahan kesakitan cuma gara-gara nggak mau nyusahin orang.

Dia bilang udah minum obatnya seharian tapi nggak ngaruh apa-apa. Gue yang saat itu panik langsung dateng ke kosannya, buat ngeliat keadaanya.

Jani nangis-nangis kesakitan, tapi batunya anak ini, dia nggak ngebolehin gue buat ngabarin keluarganya di rumah. Katanya eyangnya juga lagi sakit waktu itu dan nih anak nggak mau bikin keluarganya panik. GUE YANG GATAU HARUS APA YA BINGUNG SETENGAH MATI LAH.

Akhirnya gue telpon Raka, minta sarannya harus gue apain nih anak. Gue yakin banget Raka juga panik setengah mampus, karena apa? Karena dia langsung berangkat dari Jogja ke Semarang saat itu juga. Jam 11 malem. Pas gue telpon Raka, dia nyuruh gue langsung bawa Jani ke rumah sakit aja, karena kalo obatnya udah nggak ampuh berarti udah parah banget.

Nggak sampe situ, gue masih harus debat sama nih anak batu. Dia pake acara nggak mau dibawa ke rumah sakit pula. Tapi setelah gue paksa dengan dalil, “Jan, kalo lu sampe kenapa-kenapa, bokap lu nggak akan marah ke gue, tapi ada orang lain yang pasti ngebunuh gue tau ga?!” Entah di sadar atau nggak, akhirnya dia mau dibawa ke rumah sakit.

Dua jam setelah gue telpon Raka, dia ngabarin kalo udah di lobby UGD. Mukanya keliatan panik banget, tapi langsung gue tenangin. Kita duduk di ruang tunggu UGD, dia nggak mau ketemu sama Jani, nggak berani katanya.

“Udah Rak, nggak usah panik. Jani udah bisa istirahat kok, udah nggak sakit berarti.” Jelas gue.

“Kata dokter kenapa, Dik?”

“Ya biasa, gerdnya kumat lagi makanya sesek nafas juga dan obatnya nggak mempan karena emang dia kekurangan nutrisi dan cairan, ternyata bener dia telat makan mulu saking sibuknya.”

Raka ngehela nafasnya kasar, “Dari dulu dia selalu gitu kalo sakit, nggak pernah mau ngomong. Tapi nggak pernah nurut juga kalo disuruh makan yang teratur.”

Kata dokter beberapa hari kedepan masih harus di pantau, makanya disarankan buat rawat inap aja. Raka yang denger langsung dari dokternya langsung nyautin, “Dok, pokoknya nanti bilang ke dia wajib rawat inap ya dok, karena kalo nggak dia pasti milih buat rawat jalan aja.”

Gue yang berada di posisi itu merasa amaze banget ngeliat Raka, rasanya gue mau mengumpat ke dunia yang bikin kisah cinta mereka sesulit ini!

Oiya! Jani nggak tau kalo ada Raka waktu itu, dan Raka juga minta gue buat nggak bilang apa-apa sama Jani, termasuk dia yang ngebayarin rumah sakitnya. Raka nyuruh gue bilang ke Jani kalo yang bayar itu gue, kalo Jani nolak pura-pura suruh bayar aja nanti kalo udah sembuh.

TAPI GUYS! YAKALI GUE NGGAK BERKONTRIBUSI APA-APA DALAM BAYAR MEMBAYAR... Setelah edisi rebutan bayar tagihan RS, akhirnya kita sepakat! Gue yang bayar UGDnya, Raka yang bayar rawat inapnya. Heheheheh.

Selama beberapa hari juga Raka bolak balik Jogja semarang hanya untuk beliin Jani ini dan itu. TANPA MASUK BUAT JENGUK SECARA LANGSUNG.

Raka beliin fresh flower setiap hari karena tau Jani suka banget bunga, dia beliin makanan yang Jani suka kalo gue bilang Jani makannya dikit, pokoknya ARGGGGHHHH!!! ANJING SO SWEET BANGET NIH SI ADRAKA!!!


note;

Maap ya guys, ini gue juga emosi banget kalo cerita tentang mereka. Gue juga team #rakajanisailingtheworld pokoknya.

tw // car accident , mentioning of die

Malam itu, malam dimana gue 'terpaksa' memutus hubungan yang belum sempat dimulai antara gue dengan Jani, terjadi bukan tanpa sebab.

Setelah dapet kabar kalo nyokapnya Bella meninggal, gue langsung balik arah ke rumah sakit. Bella udah jatuh nangis di depan kamar nyokapnya. Pikiran gue kalut, satu sisi gue harus nenangin Bella, satu sisi lagi gue mikir gimana ngejelasin keadaan ke Rinjani.

Tapi yang bikin semuanya lebih rumit adalah kehadiran Ayah gue yang tiba-tiba itu. Seharusnya Ayah balik beberapa bulan kemudian, tapi entah karena alasan apa, beliau sudah hadir berdiri di depan gue saat itu.

Ayah narik gue waktu nyokap sama Bella lagi ngurusin administrasi rumah sakit, gue di tarik ke salah satu lorong gelap yang nggak tau menuju ke arah mana. Beliau nampar gue, bahkan saat itu tamparannya udah nggak terasa sama sekali di pipi gue. Saking terbiasanya.

“Mau kemana kamu tadi?!” Beliau nggak berteriak, sadar kalau ini di rumah sakit.

“Ada urusan sebentar Yah.” Ucap gue yang nggak berani natap wajah beliau.

“Urusan apa?!”

“Ada yah.”

“Apa? Saya tanya sama kamu Adraka!” Beliau mulai narik kerah baju gue.

“Bukan apa-apa yah.”

“Siapa? Rinjani?”

Gue langsung mendongak begitu denger nama Rinjani keluar dari mulut beliau. Gue kaget setengah mati, gimana caranya beliau ini bisa tau Rinjani.

“Siapa Rinjani ini sampai bisa membuat seorang Adraka mendongakan kepalanya di depan saya?”

“Bukan siapa-siapa yah, cuma adik kelas aja kok.”

“Adik kelas macam apa Rinjani ini sampai membuat kamu banyak berubah seperti ini?”

“Yah! Rinjani bukan siapa-siapa!” Gue mulai meninggikan suara.

“Kalau bukan siapa-siapa, jauhkan dia.”

“Kenapa sih Yah? Sekarang Raka mau temenan sama siapa aja juga jadi urusan Ayah?!”

“Dia yang sudah buat kamu berubah Adraka! Nilaimu turun! berantem sampai di hukum! Selalu pulang malam! Apa lagi yang kamu dapatkan dari berteman dengan dia?”

Gue nggak bisa jawab pertanyaan Ayah, gue yakin banget kalo Ayah tau banyak tentang gue dan Rinjani, entah dari mana.

“Kamu tau kan saya bisa lakukan apa saja yang saya mau?!”

Begitu beliau ngucapin kalimat itu gue langsung berlulut di depannya, gue tau banget kalo kalimat itu bukan sekedar kalimat buat nakut-nakutin gue, beliau pernah ngelakuin itu ke Mas Habil.


flashback

Cerita tentang Mas Habil, mungkin yang kalian tau gue cuma dua bersaudara, gue dan adik gue Bulan. Tapi enggak, gue sempet punya kakak laki-laki yang bernama Mas Habil.

Tapi sayangnya, Mas Habil sekarang udah nggak ada di tengah-tengah kita, dia udah pergi ninggalin kita semua.

Kepergian Mas Habil jadi salah satu penyebab berubahnya sikap Ayah gue jadi makin nggak terkendali. Dulu kita semua hidup dengan rukun, Ayah nggak pernah marah-marah, tapi sifat tegasnya emang udah ada dari dulu.

Ayah selalu membanggakan Mas Habil di depan keluarga besar dan teman-temannya, Mas Habil ini sosok paling sempurna yang gue kenal, pinter, well mannered, ganteng, kaya semua hal baik ada di dia. Yang bikin Ayah makin bangga-banggain Mas Habil salah satunya yaitu karena Mas Habil nggak pernah ngelawan perintah Ayah.

Waktu gue disuruh Ayah untuk ngejauhin Rinjani, gue sedikit deja vu. Gue inget banget dulu pernah ada kejadian yang sama, tapi bukan di diri gue melainkan Mas Habil. Dulu Mas Habil juga pernah diperintahkan Ayah sama seperti gue sekarang.

Mas Habil pernah nolak perintah Ayah yang nyuruh dia buat lanjutin kuliah di Jerman, alhasil Ayah bertindak, beliau pergi ke rumah kekasih Mas Habil saat itu yang diduga jadi salah satu alasan kenapa Mas Habil tetap mau melanjutkan studinya di tanah air.

Ayah pergi tanpa sepengetahuan Mas Habil. Alhasil hubunga Mas Habil dan kekasihnya kandas, Mas Habil diputus secara sepihak oleh kekasihnya dulu. Hal tersebut mengganggu pikirannya dan akhirnya mau nggak mau Mas Habil berangkat ke Jerman untuk ngelanjutin studinya.

Sampai pada saat tahun ketiga kuliah, Mas Habil pulang ke Indonesia. Berniat untuk melepas rindu setelah tiga tahun tidak pulang sama sekali, dan kebetulan juga saat itu bertepatan dengan ulang tahun gue yang nggak lama lagi.

Namun nahasnya, saat perjalanan menuju bandara, taxi yang ditumpangi Mas Habil terlibat kecelakaan beruntun. Saat mendengar kabar bahwa Mas Habil mengalami kecelakaan, Mamah langsung terbang menuju Jerman sendirian, karena posisi Ayah yang sedang berlayar dan gue yang masih sekolah diminta untuk menemani Bulan di rumah.

Mas Habil sempat kritis beberapa hari di rumah sakit dan berakhir meninggal. Gue nggak bisa apa-apa saat itu cuma bisa nangis dan nenangin Bulan yang juga ikut terpukul mendenga kabar tersebut.

Mas Habil dikubur di Jerman, karena keadaannya yang nggak memungkinkan untuk dibawa ke Indonesia. Setelahnya disitu semua berubah, saat pertama kali Ayah pulang ke rumah selepas Mas Habil meninggal, beliau berubah derastis.

Ayah jadi lebih banyak diam dan nggak berbicara ke gue pun Bulan. Sampai pada saat kita lagi makan malam di meja makan, Ayah bicara. Beliau bilang kalau kepergian Mas Habil semua gara-gara gue.

kalau aja kamu nggak minta-minta Habil untuk pulang, mungkin dia nggak akan pergi ninggalin kita semua

Sebenarnya saat itu Ayah udah melarang Mas Habil untuk pulang dulu, karena juga posisinya Ayah sedang tidak ada di rumah maka kepulangannya pun tidak bisa mengobati rasa rindu Ayah.

Tapi bodohnya gue yang gatau apa-apa, merengek minta Mas Habil untuk pulang karena sudah lama sekali tidak bertemu.


“Raka udah nggak bahagia sama sekali hidup di dunia ini. Yah, bunuh Raka aja, Yah,” Gue masih berlulut di depan Ayah.

“Raka selama ini udah berusaha mati-matian untuk ikutin semua kemauan Ayah yang minta Raka untuk gantiin posisi Mas Habil! Tapi Raka bukan Mas Habil, Yah!”

Air mata gue mulai menetes, gue merasa bener-bener sedang berada di titik terrendah.

“Yah, jangan lakuin hal yang Ayah lakuin ke pacar Mas Habil dulu ke Rinjani, Yah. Dia beneran nggak ada hubungannya sama kelakuan Raka!”

“Nggak! Untuk kebaikan anak-anak saya, semua hal yang mengganggu nggak akan saya biarkan!”

Entah dapat keberanian dari mana gue bangun, “Kebaikan anak-anak Ayah? Nggak yah, ini semua semata-mata hanya untuk ego Ayah, sama sekali bukan untuk kebaikan anak-anak Ayah!”

”-Mas Habil pergi ninggalin kita semua bukan karena Raka ataupun kecelakaan itu yah! Itu semua gara-gara Ayah! Ayah yang maksa Mas Habil untuk kuliah di sana! Kalo aja Ayah nggak maksa Mas Habil untuk kuliah disana, sekarang Mas Habil masih ada di tengah-tengah kita!”

Beliau cuma diam, nggak menjawab satupun perkataan gue, raut wajahnya berubah dan tangannya hanya diam mematung. Gue keluarkan semua emosi yang selama ini penuh di hati, saat itu rasanya gue udah nggak takut kalau aja gue bakal mati dihajar sama beliau.

“Raka udah nggak mau yah ikutin semua perintah Ayah, Raka mau hidup dengan pilihan Raka sendiri!”

“Silahkan, maka kamu tanggung sendiri konsekuensinya.”

“Yah!!!” Untuk pertama kalinya dalam hidup gue ngebentak beliau tepat di depan wajahnya.

“Kamu sudah tidak usah banyak tingah, cukup jalani hidup yang sudah semestinya kamu jalani.”

“Kalo Ayah masih bersih keras nggak mau denger omongan Raka, jangan salahkan Raka kalo Ayah akan kelihangan seorang anak yang Ayah pergunakan, untuk yang kedua kalinya.” Gue melenggang pergi gitu aja, meninggalkan beliau di dalam kegelapan lorong rumah sakit.

Setahun terakhir kelas tiga, gue habiskan untuk belajar mati-matian ngepersiapin SBMPTN, jaga-jaga kalo gue bener nggak bisa dapet jalur SNMPTN. Dan bener aja, gue gagal.

Gue bener-bener hancur banget waktu pengumuman, bukan karena gagalnya aja, tapi saingan yang gue harapin nggak dapet kuota itu, dia justru keterima. Bella resmi diterima di Universitas terbaik yang jadi impian gue, dan bersiap nyamperin pangerannya.

Sedangkan gue? Gue masih harus nguras semua tenaga gue buat belajar SBM dan Ujian Mandiri. Tapi emang kayaknya gue se-bodoh itu, usaha gue belajar mati-matian semuanya sia-sia. Gue nggak keterima sama sekali di univ itu, baik jalur SBM maupun UM.

Gue bener-bener gila, bingung setengah mampus bakal kuliah dimana. Dari awal tujuan gue cuma satu Universitas itu doang. Jadi gue nggak ada persiapan buat ikut-ikut ujian di univ lain. Tapi berkat bantuan (mantan) senior galak gue yang ngasih sedikit banyak wejangan, di detik-detik terakhir gue keterima di salah satu Universiatas di Semarang.

Dan disanalah gue akhirnya...

Tahun pertama, sebagai mahasiswa gue seneng banget, sedikit banyak mulai kenal temen baru dan mulai lupa sama kenangan menyakitkan yang setahun terakhir nguras emosi gue.

Tahun kedua, gue mulai aktif lagi di organisasi, ikut seminar sana sini, daftar volunteer sana sini sampe beberapa kali liburan nggak gue pake untuk pulang ke rumah dan malah buat ngurusin acara kampus. Ditambah lagi tahun itu kelas praktikum gue lagi full-fullnya.

Di tahun itu gue pernah sampe tumbang, gerd gue kambuh lagi. Bangun-bangun perut gue sakit banget dan nggak bisa ngapa-ngapain, posisinya itu setelah gue baru aja nyelesein acara ospek maba. Akhirnya gue dibawa ke rumah sakit sama Dika.

Nggak, kalian nggak salah baca. Selama gue di Semarang, Dika banyak banget ngebantu gue ini dan itu. Gue punya banyak temen, yang literally banyak banget. Tapi entah kenapa, gue ngerasa nggak sedeket itu untuk minta bantuan, padahal nota benenya kita main setiap hari.

Dan tahun ini, tahun ketiga, kesibukan gue mulai beralih ke akademik, gue mulai stress lagi, nyusun proposal penelitian, mulai nyari-nyari tempat untuk magang, dan persiapan KKN.

Kalo kalian nanya gimana kabar perasaan gue sama Raka, tentu aja. Masih sama.

Gue berusaha buat ngelupain Raka, meskipun emang itu adalah hal yang mustahil menurut gue. Gue berusaha buat nyari-nyari kesibukan biar nggak inget terus sama Raka. Tapi justru ketika gue lagi capek banget, gue malah nyari Raka. Gue scroll lagi galeri lama, nyari-nyari kenangan yang siapa tau bisa ngobatin rasa capek gue.

Tapi pada akhirnya gue berakhir dengan menangis, lagi dan lagi.

Setelah dapat kabar dari Kira , adik Jani, Keno langsung melajukan kendaraannya menuju rumah Jani, yang hanya beda blok saja. Sebelum ke rumahnya, tidak lupa Keno membelikan nasi goreng kesukaan Jani di depan komplek, berharap sahabatnya itu mau makan.

Setelah sampai di rumah Jani, Kira sudah menunggu dan duduk di depan teras. “Kak Keno!” Sapa Kira.

“Belum keluar juga kakak?” Tanya Keno.

“Belum, masih nangis aja dari tadi.”

Setelahnya Keno langsung menuju kamar Jani, terdengar sayup-sayup tangisnya dari depan pintu kamarnya.

“Jan... Ini gue Keno.”

Tidak ada jawaban dari dalam, “Jan, makan dulu, gue bawa nasi goreng depan.”

“Gue nggak laper Ken, sorry ya.” Dari dalem akhirnya ada jawaban, meskipun bukan itu yang diharap.

“Yaudah buka dulu, temenin gue makan deh, gue mau cerita, habis berantem sama Bunbun.” Bohong Keno.

“Sorry Ken, gue capek banget, besok aja ya.” Jawab Jani dari dalam.

“Yahh... nggak bisa tidur deh malem ini gue, nggak kasian apa lo sama gue?”

Jani kembali diam, tidak ada jawaban dari dalam kamarnya. Namun selang sebentar, akhirnya kunci pintu kamar Jani terbuka, tanda bahwa Keno boleh masuk.

Keno masuk ke dalam kamar sahabatnya itu, dan mendapati Jani kembali bersembunyi di dalam selimutnya.

“Makan dulu ayo...” Ucap Keno sambil duduk di pinggir kasur.

“Kan gue udah bilang nggak laper, lu aja yang makan.” Jani tetap bersembunyi di balik selimutnya.

“Yaudah, dengerin gue cerita ayooo...” Keno menarik-narik selimut Jani.

“Ihhhh!!! Jangan di tarik-tarikkk!!! Cerita aja, gue dengerin dari sini!!” Jani mengomel.

“Yaaa liat gue siniiii!!!” Keno kembali menarik selimut Jani.

Kesabarannya sudah habis, Jani langsung bangun dan muncul dari balik selimutnya. “KENNNN!!!”

Keno tersenyum, akhirnya ia bisa melihat wajah sahabatnya yang berantakan tersebut.

“Ayoo makan dulu, nangisnya di tahan dulu. Kira takut kakaknya nangis lagi katanya.” Keno merapihkan rambut Jani yang berantakan menutupi wajahnya.

Jani tidak berbicara, sahabat di depannya membuatnya ingin menangis.

Mata mereka bertemu, Keno merasa sakit melihat wajah sahabatnya yang benar-benar berantakan, wajahnya yang pucat, ditambah kantung matanya yang sangat terlihat, membuat Rinjani terlihat seperti mayat hidup.

“Kenapaaa?”

Detik itu juga saat Keno menanyakan kepada dirinya, tangisnya kembali pecah.

“Kennnnnnnn...” Jani menghambur ke pelukan sahabatnya tersebut.

“Udah jangan nangisss...” Keno menenangkan Jani.

“Kenapa sih Ken gue selalu aja kalah? Kenapa gue nggak boleh bahagia sih? Kenapa semua orang nggak percaya sama usaha gue? Emang salah kalo gue mau ambil kuliah di Jogja? Emang dia doang yang boleh kuliah disana deket-deket sama Rakaaaa???” Jani mengadu sambil sesegukan.

“Pelan-pelan, gue dengerin semuanya, tapi berhenti dulu nangisnya...” Ucap Keno sambil mengelus punggungnya.

“Gue nggak minta apa-apa Ken!!! Gue cuma mau Rakaaa!!!” Tangisnya malah semakin keras.

Dika melajukan mobilnya kembali, sepanjang perjalanan Jani hanya menatap gelapnya langit dari jendela di sampingnya. Tidak ada bintang yang terlihat malam itu, langit digantungi awan hitam yang mungkin sebentar lagi akan menumpahkan bulirnya.

Sepertinya pengobatan kali ini gagal, Jani tidak pulang dalam keadaan baik-baik saja. Ia tidak menangis sama sekali, tapi matanya seperti sudah terlalu lelah untuk menahan.

Dika menghentikan mobilnya di bahu jalan, jalanan malam itu sangat sepi, hanya ada satu motor yang melintasi mereka. Mungkin semua orang sudah berada di dalam rumahnya masing-masing, menerka bahwa sebentar lagi turun hujan.

Dika melemparkan jaketnya ke wajah Jani, sempurna menutupi seluruh kepalanya. “Gue mau ngerokok dulu, dua batang aja. Sebentar ya.”

Lantas Dika keluar dari mobil sambil menenteng sebuah payung, ia berdiri di depan kap mobil, memandang jauh ke depan sambil mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya. Sedangkan yang ditinggalnya di dalam mobil, nafasnya mulai menderu. Matanya mulai terasa panas, dan saat itu juga air matanya turun bersamaan dengan turunnya air hujan di luar.

Rinjani menangis.

Tangisannya begitu menyakitkan untuk di dengar, mungkin ini tangisan terhebat Rinjani. Semua tenaganya lolos bersama dengan air matanya, ia menjerit dalam diam. Tangisnya ia tahan sekuat tenaga, merasa malu untuk di dengar bahkan oleh seekor semut pun.

Jani sedang tidak baik-baik saja, benar-benar hancur. Di kepalanya penuh oleh Reino Adraka. Rinjani tidak menduga akan mendapati kisahnya berakhir secepat ini, bahkan ketika semuanya belum di mulai.

Ketakutan Rinjani yang selama ini ia pendam sendiri benar-benar terjadi, ia takut kalau saja ia terlalu cepat jatuh hati, dan benar saja, Rinjani telah jatuh cinta dengan prianya itu. Jatuh yang sejatuh-jatuhnya.

'Kebahagiaanya' sudah hilang malam itu.

Rinjani masih ingin berharap, masih ingin setidaknya untuk sebentar saja memeluk Adraka dan menangis di hadapannya. Masih ingin menanyakan, apa harapan yang selama ini Adrakanya berikan ini merupakan harapan yang sebenarnya dibuat sendiri oleh Rinjani?

Namun, sepertinya sudah tidak ada muka lagi baginya untuk menghadap Raka. Rakanya sudah memilih untuk pergi, bukan? Adrakanya memilih hadir, namun sepertinya bukan untuk RInjani.

Entah ada hubungan apa antara Rinjani, Adraka, dan Hujan, ketiganya sering kali dihadapkan pada situasi yang saling berkesinambung.

Sebenarnya, malam itu Rinjani belum mau menemui Adraka, namun akhirnya ia turunkan egonya dan menembus dinginnya malam hari untuk menemui Adrakanya.

Jani sudah melihat mobil Raka dari kejauhan, tiba-tiba hatinya bergemuruh. Langkahnya terasa berat, namun hatinya ingin sekali berlari.

Jani membuka pintu itu, mata keduanya bertemu. Keduanya sama-sama saling merindu. Namun sama-sama tidak ada yang berani membuka percakapan. Keduanya terdiam.

“Gimana hari ini?” Raka memulai pembicaraan.

Yang ditanya hanya diam , namun mendengar suara lelaki di sampingnya membuat hatinya kembali bergemuruh. Hatinya terlalu berantakan untuk menatap Raka.

Raka tau yang dibutuhkan Jani saat ini hanyalah pelukannya, “Sayang, boleh aku peluk?”

Rinjani mendongak, menatap Raka. Pelupuk matanya sudah tidak dapat lagi menahan tangisan. Rinjani kalah, ia menghambur ke dalam pelukan Raka.

Raka memeluk perempuannya dengan hangat, mengelus surainya, sedangkan Jani menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Raka. Tidak ada percakapan, mereka hanya sama-sama saling melepas rindu.

“Kamu mau cerita atau nggak sama aku?” Tanya Raka.

Rinjani hanya menggeleng, ia tidak mampu berbicara.

Namun saat Rinjani masih menangis di dalam pelukan Raka, ponsel lelaki itu tiba-tiba berdering, ada nama Bella di layarnya, dan Rinjani melihatnya. Rinjani lantas melepas pelukannya, ia menghapus air mata yang masih saja keluar dari matanya.

“Maaf ya, aku pulang aja.” Ucap Rinjani.

Raka menahan tangan Jani, “Jan, aku nggak maksa kamu buat percaya sama aku, tapi aku percaya sama kamu. Kamu nggak akan ninggalin aku kan?”

Rinjani menatap wajah lelaki di hadapannya tersebut, di usap wajahnya, “Kamu istirahat juga ya.”

“Jan, may i?” Raka mendekat ke arah Jani.

Rinjani menutup matanya, mempersilahkan Adrakanya. Raka mencium kening Jani, tangis keduanya gugur.

Mila's POV

Halo semua, dengan Mila sahabat sejati Rinjani disini. Kali ini biarkan gue curhat tentang kehidupan gue menemani Rindu Rinjani di titik ter-rendahnya.

Sebelum masuk ke cerita panjang Rinjani, gue mau ngasih sedikit TMI. IYA! GUE LDR SAMA KANG IYEL, yang sekarang gue panggil Mas Iyel. INDONESIA-BELANDA. Mas Iyel beneran berangkat ke Belanda, nggak ada drama prank-prankan, bener-bener berangat.

Gausah nanya gimana gue nangis-nangis di bandara kaya orang gila gara-gara nggak bisa nganterin Mas Iyel sampe depan gerbang keberangkatan, karena ada umi sama abinya. Gue cuma bisa ngeliat dia pergi dari jauh sambil di tenangin sama anak-anak.

Sebelum keberangkatan dia ke Belanda, kita banyak ngobrol-ngobrol. Membicarakan hal-hal yang TIDAK dilakukan oleh Rinjani dan Kak Raka. Waktu itu Mas Iyel bilang ke gue, “Mila, saya nggak bisa menjalin hubungan seperti kebanyakan orang-orang, tapi saya cinta sama kamu.”

Kalian semua tau, selama gue deket sama Mas Iyel dia nggak pernah bahas-bahas itu. TAPI DI DETIK-DETIK KEBERANGKATAN DIA KE BELANDA, DIA BILANG KALO DIA CINTA SAMA GUE! The real gue beneran pengen lompat dari atas monas.

“Kalau kamu nggak keberatan untuk nunggu, sepulang saya menyelesaikan pendidikan saya di Belanda, saya berniat untuk langsung melamar kamu. Itu pun kalau kamu mau-” belum sempat dia menyelesaikan ucapannya gue udah tau jawaban dari hati gue paling dalam.

“Iya kang, Mila mau.” Gue di lamar secara unofficial di kelas 3 SMA. Sesuatu hal yang nggak pernah gue bayangkan semumur hidup gue. Namun sayangnya, kebahagiaan gue nggak bisa di rasakan juga sama sahabat tercinta, Rinjani.

Semenjak kejadian Jani sempat menghilang nggak ada kabar sepulangnya dari pantai sama Kang Dika, setelahnya dia banyak banget berubah. Susah banget buat ngeliat dia senyum belakangan itu.

Malam itu jadi malam yang panjang buat kita semua, kita terus-terusan ngehubungin Jani yang ngilang gitu aja padahal di rumahnya lagi nggak ada orang sama sekali, ditambah lagi, malam itu gue dapet kabar di grup kelas kalo nyokapnya Bella meninggal.

Besok paginya gue langsung ke rumah Jani sama Keno, betapa kagetnya gue nemuin Jani terduduk di lantai kamar mandinya dengan keadaan demam dan air yang masih nyala nggak tau dari kapan.

Selama seminggu Jani nggak masuk sekolah, bukan karena demamnya aja, gerd dan asthmanya juga kambuh. Ditambah entah apa yang terjadi antara dia sama Kak Raka buat gue nggak sanggup liat dia. Kata Kira, setiap malem kakaknya selalu nangis dalam tidurnya.

Setelah Jani mulai masuk sekolah, dia banyak berubah. Jadi nggak banyak ngomong, dia juga jadi jarang senyum dan ketawa. Tentu aja gue sama anak-anak lain berusaha buat balikin mood Jani, tapi bener-bener nggak bisa.

Entah kejadian apa yang membuat Kak Raka dan Rinjani jadi sebegitu merenggangnya, setiap mereka nggak sengaja papasan di koridor, keduanya sama-sama saling diam. Ngelewatin keberadaan masing-masing begitu aja, seakan mereka nggak pernah mengenal. Dari yang gue tau juga mereka udah nggak pernah chat-an sekedar menanyakan kabar.

Rinjani juga udah nggak pernah membahas perihal Kak Raka ke kita, kita pun ngerti dan memilih buat nggak memulai membahasnya. Tapi, meskipun Rinjani nggak pernah membahas Kak Raka, bukan berarti Rinjani udah ngelupain dia, Rinjani masih berdiri di tempatnya, mencintai Kak Raka sepenuh hatinya. Gue tau banget itu.

Privat twitter Rinjani udah nggak pernah membahas Kira yang suka membawa motornya tiap pagi atau nyindir Acel yang kerjaannya ngomel-ngomel mulu. Sekarang tweetnya cuma dipenuhi kenangannya sama Kak Raka.

Saat kelulusan angkatan Kak Raka, Jani lagi-lagi menghilang. Ia kembali ke dermaga pantai. Tapi malam itu dia telpon ke gue, dengan suara tangis yang bercampur dengan deru angin dan ombak.

“Mil, gue harus gimana Mil?” Ucapnya dengan tersedu-sedu. “Lo dimana Jan? Gila lu ke pantai malem-malem gini?” “Mil, malem ini kelulusan Raka, Mil. Besok-besok gue udah nggak bisa ngeliat dia lagi. Gue harus gimana Mil? Kalo gue lagi butuh dia gue harus kemana? Cuma Raka yang bisa nenagin gue, cuma Raka yang tau gimana harus memperlakukan gue Mil. Gue harus apa Milaaaa???” Tangisannya benar-benar pecah, gue yang mendengarnya nggak tega sama sekali.

Jani juga jadi sering nyalahin dirinya sendiri, dia pikir alasan Kak Raka ninggalin dia itu karena sifat egois dan pemarahnya, dia pernah bilang, “Mil, gue nyesel banget marah ke dia nggak jelas gara-gara dia masih sering pulang sama Bella, kalo aja gue mau dengerin dia ngejelasin, mungkin semuanya nggak akan kaya gini kan?”

Jujur gue udah kehabisan kata-kata buat bales omongan dia, karena gue yakin, dia nggak butuh ucapan gue. Semua jawaban dari pertanyaan-pertannyaan dia udah ada di dalam kepalanya, dan dia nggak butuh saran dari orang lain. Yang dia butuhin cuma Kak Raka.

Sepanjang tahun kelas tiga, Jani berubah drastis di kelas kaya bukan Jani lagi. Dia jadi lebih ambis, bukan Jani yang dulu suka bolos kelas dan milih buat ngadem di mabes. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, tapi yang gue tau, dia pengen bisa lolos di universitas yang satu kota sama Kak Raka.

Oh iya! Dulu Jani pernah cerita ke gue katanya pilihan Kak Raka kalo nggak Depok, ya Semarang, tapi ternyata hasilnya berbeda guys. Kak Raka diterima di salah satu universitas di Jogja.

Dika melajukan mobilnya kembali, sepanjang perjalanan Jani hanya menatap gelapnya langit dari jendela di sampingnya. Tidak ada bintang yang terlihat malam itu, langit digantungi awan hitam yang mungkin sebentar lagi akan menumpahkan bulirnya.

Sepertinya pengobatan kali ini gagal, Jani tidak pulang dalam keadaan baik-baik saja. Ia tidak menangis sama sekali, tapi matanya seperti sudah terlalu lelah untuk menahan.

Dika menghentikan mobilnya di bahu jalan, jalanan malam itu sangat sepi, hanya ada satu motor yang melintasi mereka. Mungkin semua orang sudah berada di dalam rumahnya masing-masing, menerka bahwa sebentar lagi turun hujan.

Dika melemparkan jaketnya ke wajah Jani, sempurna menutupi seluruh kepalanya. “Gue mau ngerokok dulu, dua batang aja. Sebentar ya.”

Lantas Dika keluar dari mobil sambil menenteng sebuah payung, ia berdiri di depan kap mobil, memandang jauh ke depan sambil mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya. Sedangkan yang ditinggalnya di dalam mobil, nafasnya mulai menderu. Matanya mulai terasa panas, dan saat itu juga air matanya turun bersamaan dengan turunnya air hujan di luar.

Rinjani menangis.

Tangisannya begitu menyakitkan untuk di dengar, mungkin ini tangisan terhebat Rinjani. Semua tenaganya lolos bersama dengan air matanya, ia menjerit dalam diam. Tangisnya ia tahan sekuat tenaga, merasa malu untuk di dengar bahkan oleh seekor semut pun.

Jani sedang tidak baik-baik saja, benar-benar hancur. Di kepalanya penuh oleh Reino Adraka. Rinjani tidak menduga akan mendapati kisahnya berakhir secepat ini, bahkan ketika semuanya belum di mulai.

Ketakutan Rinjani yang selama ini ia pendam sendiri benar-benar terjadi, ia takut kalau saja ia terlalu cepat jatuh hati, dan benar saja, Rinjani telah jatuh cinta dengan prianya itu. Jatuh yang sejatuh-jatuhnya.

'Kebahagiaanya' sudah hilang malam itu.

Rinjani masih ingin berharap, masih ingin setidaknya untuk sebentar saja memeluk Adraka dan menangis di hadapannya. Masih ingin menanyakan, apa harapan yang selama ini Adrakanya berikan ini merupakan harapan yang sebenarnya dibuat sendiri oleh Rinjani?

Namun, sepertinya sudah tidak ada muka lagi baginya untuk menghadap Raka. Rakanya sudah memilih untuk pergi, bukan? Adrakanya memilih hadir, namun sepertinya bukan untuk RInjani.