sierrabcde

this spaceships sailing to heaven

Raka yang sedang menghisap sebatang rokok di taman hotel tempat mereka menginap langsung mematikan rokoknya dan berlari menuju kamar yang ditempati oleh adiknya dan Jani. Mendengar bahwa kekasihnya menangis setelah berbincang dengan sang ibunda membuatnya panik.

Pasalnya yang ia ketahui, sang ibunda sangat menyetujui hubungannya dengan Jani, maka mendengar kekasihnya menangis membuatnya bertanya-tanya.

tok tok

Sesampainya di depan kamar, Raka langsung mengetuk pintu kamar Rinjani. “Jan... ini aku...”

Selama beberapa detik pintu itu tidak kunjung dibukanya, “Sayang, boleh masuk nggak? Bukain dong...”

Tidak ada jawaban dari pemilik kamar, sampai semenit lewat Raka terus-terusan mengetuk pintu dan mengirim pesan ke Jani.

“Kamu kenapa?” “Kata Bulan kamu nangis? Kenapa?” “Cerita sini sama aku”

Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya Rinjani membuka pintu kamarnya. Raka langsung melesat masuk, menemukan perempuan itu bersembunyi di balik selimutnya.

“Ay, kamu kenapa?” Raka menghampiri Jani dan duduk di pinggir kasur.

Rinjani tidak menjawabnya, hanya menggelengkan kepalanya kecil.

“Liat aku dulu sini, kamu kenapa nangis? Mamah marahin kamu? Atau ada kata-kata mamah yang nyakitin perasaan kamu?”

Kini ia bersuara, menyangkal semua pertanyaan Raka, “Enggak, mamah kamu nggak ngapa-ngapain aku, nggak marahin aku juga.” Ucapnya dengan suara yang bergetar. Rinjani masih menangis di balik selimutnya.

Raka dengan lembutnya menarik selimut yang menutupi wajah cantik kekasihnya itu, Jani masih menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Raka mendekat, menyingkirkan anak rambut yang masuk menutupi wajah Jani.

“Cerita sama aku ya, biar aku tau kamu kenapa... Kalo liat kamu sedih aku jadi ikutan sedih, apa lagi nggak tau kamu kenapa sedihnya, katanya tadi lagi ngomongin aku sama mamah? Mamah ada cerita soal aku yang nyakitin kamu ya? Kalo iya aku mint-”

Belum sempat Raka menyelesaikan kalimatnya, Rinjani memotong, wajahnya terlihat sangat sembab akibat menangis terlalu lama.

“Kamu nggak salah, yang salah aku!

“Selama ini aku mikir kalo diantara kita berdua aku yang paling tersakiti,”

Raka mendengarkan Jani berbicara dengan seksama, sambil tangannya menghapus air mata yang terus-terusan keluar membasahi wajahnya.

“Tadi mamah kamu cerita kalo waktu kita mulai jauh kamu jadi harus bolak balik ke psikiater, aku ngerasa jahat banget sama kamu, Rak!”

Raka tersenyum manis, “Sayang, dari sebelum kita deket, aku juga udah sering bolak balik psikiater kok. Jadi bukan karena kamu!”

“Ya tapi kan karena aku juga kamu jadi makin parah, sampe mamah nunjukin foto kamu waktu itu kurus banget! Sedangkan aku dulu meskipun nangisin kamu terus tapi makanku tetep lancar! Maafin akuuuuuuu!!!!” Tangisan Jani semakin menjadi.

Raka yang melihat kekasihnya ini justru tertawa, lalu direngkuhnya perempuan di hadapannya ke dalam pelukannya.

“Rinjani sayang, itu bukan salah kamu. Apa yang kita hadapin dulu bukan salah aku atau kamu, emang cinta kita aja yang lagi di uji. Biar kedepannya, kita jadi lebih dewasa untuk nanggepin segala hal,”

Rinjani masih tersedu-sedu di pelukan Raka, dengan lembut Raka masih terus mengelus punggungnya. “Kamu nggak perlu minta maaf sama keadaan yang pernah terjadi, nggak perlu ada yang di sesalin atas kita yang dulu ya sayang. Yang penting sekarang, apapun yang kita hadapin di kemudian hari, harus di selesein bareng-bareng ya,”

“Kamu nggak akan ninggalin aku kan?” Tanya Raka.

Rinjani menggeleng dengan cepat, “Nggak bakal! Aku nggak akan pernah ninggalin kamu apapun alesannya!!!”

“Dah, kalo gitu udah, nggak ada yang perlu dipikirin lagi, aku cuma butuh jawaban itu. Jadi udah ya sayang, jangan ngerasa nggak enak atau apapun.” Ucap Raka sambil mengecup kening Rinjani.


Tidak ada suara lain selain televisi yang dibiarkan menyala, keduanya saling berdiam tanpa berbicara apa-apa. Matanya sama-sama menatap layar televisi tapi tidak dengan pikirannya. Rinjani masih memeluk erat Raka yang kini sudah berbaring di sebelahnya.

“Rak, terus habis ini kamu mau ngapain?” Tanya Jani memecah keheningan.

Raka sedikit terkejut, “Hah? mau ngapain? Nanti Bulan pulang gimana?”

Kini giliran Jani yang mengernyitkan dahi, bangun dan menatap Raka bingung, “Kamu mikir apa sih! Ma-maksud aku tuh hmm itu loh kamu nanti setelah wisuda ini mau ngapain? Planing kamu kedepannya!!! Bukan sekarang mau ngapain!!”

Raka tertawa melihat kekasihnya itu, “Yaudah, nggak usah salting gitu neng...”

Wajah Jani memerah menahan malu, ia lalu bangun dan ingin pergi menjauh dari Raka, namun belum sempat ia terbangun Raka sudah dulu menarik tubuhnya mundur, membuatnya kembali ke pelukan Raka.

“Mau kemana?” Ledek Raka sambil menyolek hidung sang kekasih.

“Jangan ngeledek! Aku malu!” Ujar jani sambil menyembunyikan wajahnya ke dada bidang Raka.

Senyum Raka semakin melebar dibuatnya, “Mikir aku mau ngapain setelah ini nanti dulu ya, biarin hari ini pikiranku isinya kamu doang aja.”

Mendengar itu Jani benar-benar dibuatnya malu, merasakan hatinya berbunga-bunga sampai ingin meledak!

“Terus juga, aku mau nagih kado wisuda aku dari kamu dulu.” Tagih Raka.

Jani yang tidak sempat mempersiapkan apa-apa hanya melihat Raka dengan polosnya, “Yah, maafin aku... Aku nggak sempet nyiapin apa-apa kemaren karena aku mikir mau berangkat kesini aja baru semalem.” Jelas Jani dengan tatapan bersalah.

“Yaudah, yang itu nyusul aja, sekarang yang ada dulu aja...”

Jani clueless, “Hah?”

Raka memiringkan tubuhnya dan menyangganya dengan satu tangan, matanya sempurna menatap Jani, satu tangannya mengusap lembut pipi Jani dan berakhir mengucap sudut bibir Jani.

“Jan, may i?”

Dengan wajah yang semakin memerah, seketika Jani membisu, tidak ada kata-kata yang mampu keluar dari bibirnya, ia hanya mengangguk dua kali dan langsung memejamkan matanya, merasa tidak sanggup menatap mata Raka terlalu lama.

Setelahnya ia dapat merasakan sebuah bibir yang menyentuh bibirnya dengan gentle. Tidak ada paksaan sama sekali.

Tangan Raka perlahan menuju belakang tengkuk Jani, seakan memintanya untuk tetap dan jangan dilepaskan, begitupun dengan Jani, tangannya ia lingkarkan di leher Raka. Seakan keduanya sudah tidak ingin lagi berpisah.

Bagi mereka sudah cukup 2 tahun menjalin hubungan tanpa kejelasan, dan 4 tahun berpisah dengan tidak baik-baik saja, mereka hanya ingin di tahun ke 7 pertemuan mereka, akan menjadi selamanya.

-END

Sejak pagi Raka terus memandangi ponselnya, menunggu jawaban pesan dari kekasihnya. Pasalnya, sejak pagi, Jani tidak membalas pesannya. Raka takut kalau saja Jani merasa tidak nyaman karena tempo hari Raka terus memaksanya untuk datang ke wisudanya, sedangkan Rinjani selalu menolak dengan alasan ada pekerjaan kuliah. Padahal, Raka tau kalau Jani masih merasa canggung dan tidak nyaman untuk bertemu dengan keluarganya.

“Bisa meledak tuh HP di pantengin terus dari tadi.” Salah satu teman Raka yang duduk di sampingnya membangunkan Raka dari lamunannya.

“Lebay anjir.” Raka menyengir.

Saat acara dimulai ia mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya.


“Mbak Rinjani, ya?” Salah seorang pengendara taksi online berhenti di depan Rinjani.

“Oh iya pak..” Rinjani lantas masuk ke dalam mobil tersebut.

“Titiknya sudah sesuai ya mba?” Sang pengemudi memastikan kembali tujuannya.

“Iya pak, sudah sesuai. Tapi saya boleh minta tolong buat mampir dulu nggak ya? Nanti saya tambahin gapapa biayanya.”

Mobil tersebut lantas melaju menuju alamat baru yang diberikan oleh Rinjani. Selama perjalanan, ia tidak merasa tenang. Semakin mendekati tujuan, hatinya berdegup lebih cepat.

“Mbanya mau ngehadirin wisuda siapa nih?” Bapak pengemudi itu memecah kesunyian di dalam mobil.

“E-eh? Ohh itu pak, pacar saya.” Jani yang terkejut lantas kembali sadar dari lamunannya.

“Wah, senangnya pacarnya mba ini, wisudanya di datangi perempuan cantik seperti mba, bawa bunga segala, pasti sayang banget ya mbanya ini sama pacarnya? Hihihi...”

Rinjani hanya membalasnya dengan tertawa seadanya, hatinya sedang tidak bisa diajak basa-basi.

Perempuan itu memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan dia hadapi, akankah ia diterima oleh keluarga sang kekasih, atau justru ia akan di usir dan dipermalukan di hadapan orang banyak? Semua kemungkinan itu memenuhi pikirannya.

Ya, benar, Rinjani akhirnya memutuskan untuk menghadiri wisuda kekasihnya itu. Pagi-pagi buta ia sudah berangkat menuju kota tetangga, tempat dimana Raka sedang melangsungkan wisudanya.

“Mba, ini kayaknya macet banget di depan, saya berhentikan di halte depan saja gimana Mba? Kalo nunggu jalan bakal lebih lama, sepertinya ini sudah selesai acaranya juga.” Sang supir menjelaskan.

Rinjani akhirnya mengiyakan, dengan wajah yang jelas-jelas terlihat sangat tegang, ia berjalan menuju pelataran gedung dimana para wisudawan mulai keluar satu persatu dan berhambur dengan keluarga serta teman-temannya.

Ia mencoba menghubungi Raka, mencari tau dimana posisinya. Namun, ponsel Raka mati, ia tidak bisa di hubungi. Lantas Jani hanya bisa berusaha menerobos kerumunan untuk mencari kekasihnya sambil memeluk bunga yang sempat ia beli di perjalanan.

Hampir 10 menit ia masih belum menemukan kekasihnya itu, sudah hampir putus asa dibuatnya. Namun, saat hendak menyerah dan berhenti mencari, tiba-tiba ada seseorang yang menyapanya, “Jani?? Lo kok disini?”.

Itu Bella, teman sekaligus perempuan yang sempat dibenci oleh Rinjani, ia menyapanya dengan senyuman cantiknya, seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu.

“Eh, Bel? Apa kabar?” Sahut Jani yang merasa senang setidaknya bertemu dengan orang yang ia kenal.

“Baik! Lo sendiri gimana?” Balas Bella.

“Baik juga kok!”

“Lo kok sendiri? Raka mana?” Tanya Bella bingung.

“A-ah ini, gue kesini Raka nggak tau. Terus barusan gue hubungin dia nggak bisa, makanya sekarang lagi nyari-nyari.” Jelas Jani.

“OH! Ayo sini bareng gue! Anak teknik biasanya ngumpul di depan kalo habis wisuda.” Ujar Bella sambil menggandeng Jani agar tidak tertinggal.

Jani lantas mengekor di belakang Bella, mereka kembali menembus kerumunan orang-orang. Jani baru sadar, Bella tidak sendiri, ia bersama seorang laki-laki yang ia duga adalah kekasihnya.

Setelah berhasil menembus kerumunan, mereka akhirnya melihat segerombolan wisudawan yang sedang di kelilingi oleh pasukan yang memakai sergam korsa warna senada. Dari kejauhan akhirnya Jani bisa melihat kekasihnya yang sedang tertawa bersama dengan teman-teman dan adik tingkatnya.

“Jan...” Jani menoleh ke arah suara, Bella tiba-tiba memecah atensinya.

“Maafin gue dulu ya, dulu gue bener-bener nggak bisa mikir apa-apa. Gue bener-bener takut sama keadaan, dan saat itu satu-satunya orang yang bisa gue andelin cuma Raka.”

”...”

“Dari dulu Raka nggak pernah naruh hatinya buat siapapun selain lo, Jan. Juga mungkin kalo lo masih inget, dulu gue pernah bilang kalo kita pernah punya hubungan, itu gue bohong Jan.”

Jani menarik lembut lengan Bella, “Gue udah nggak mikirin yang lalu-lalu, Bel. Gue udah tau semuanya dari Raka, dan gue juga nggak nyalahin lo sama sekali. Mungkin kalo gue ada di posisi lo dulu, gue juga akan ngelakuin hal yang sama.”

“Tapi sekarang gue ikut bersyukur, lo udah bisa nemuin seseorang yang bisa ngedampingin lo setulus hatinya, tanpa paksaan siapapun. Gue juga berharap lo bisa menemukan kebahagiaan dengan pilihan lo sendiri ya, Bel.”

Bella memeluk Jani, “Thanks ya Jan, gue juga berharap lo sama Raka bisa selamanya bersatu, dan nggak ada hal lain yang misahin kalian.”

Siapa sangka, di waktu dan tempat yang tidak terduga ini ada hubungan yang kembali terikat, pertemanan antara Jani dan Bella.


“Gue panggilin Raka ya, lo tunggu sini aja.”

Saat dilihat acara “keluarga besar” fakultas sudah selesai, Bella dan sang kekasih berjalan menuju tengah lapangan, menuju segerombolan wisudawan. Sedangkan Rinjani masih dengan rasa gugupnya yang sudah berkurang sedikit karena melihat pancaran wajah bahagia Raka, jalan perlahan ikut menghampiri kekasihnya.

Saat Bella memberitahu bahwa Jani ada di sana, mata Raka langsung mencari keberadaan kekasihnya yang kedatangannya mengejutkannya. Dari jauh ia dapat melihat perempuannya berjalan ke arahnya sambil tersenyum anggun, mengenakan tweed jacket dan skirt dengan warna senada.

Raka berlari menuju Jani, belum sempat Jani mengucapkan selamat, kekasihnya itu sudah terlebih dahulu berlari memeluknya erat, membuatnya mundur beberapa langkah.

“Katanya kamu nggak mau dateng? Aku udah sedih banget padahal!” Raka langsung menyerocos.

“Siapa yang bilang nggak mau? Kan kemarin aku bilang kayaknya nggak bisa.”

Raka melepas pelukannya, melihat ke wajah kekasihnya yang cantik itu, “Aku tau kamu dari awal nolak buat dateng karena belum siap ketemu keluarga aku kan?”

Jani yang mendengar ucapan Raka sedikit terkejut, “Maaf ya.” Ucapnya dengan raut penyesalan.

“Nggak apa-apa, yang penting pacar aku yang cantik ini udah ada di hadapan aku! Makasih banyak ya sayang.” Ucap Raka sambil mengelus surai Rinjani.

“My pleasure, sayang.”


Setelah dibuat lupa sedikit dengan keadaan, kini Jani kembali menegang. Pasalnya, mereka kini sudah dalam perjalanan menuju halaman samping gedung pertemuan untuk bertemu dengan keluarga Raka.

“Jangan takut, Ayah baik orangnya.” Melihat kekasihnya terlihat memucat, Raka hanya bisa menertawai dan menyemangati Jani.

Jani sudah tidak bisa memikirkan apapun, ia hanya fokus berjalan lurus di samping Raka, sampai, “Mas Raka!!” Dari kejauhan ada perempuan cantik yang melambaikan tanggan ke arah mereka, Jani yakin itu Bella, dan kedua orang tua mereka.

Sesampainya bertemu dengan keluarga Raka untuk yang pertama kalinya, mereka langsung bergantian memeluk anaknya yang telah diwisuda tersebut.

“Selamat ya, Mas. Kamu berhasil sampai sejauh ini.” Sang Ayah terlebih dahulu memeluk dan memberi selamat.

Lalu sang ibunda, “Mas, mamah bangga sekali sama kamu. Selamat ya Mas, sudah menyandang status sarjana dan menjadi salah satu mahasiswa terbaik.” Mendengar itu Jani memandang ke arah Raka, tidak ada habis-habisnya Raka membuatnya merasa kagum.

“MAS!!!! SELAMAT YAAA!!!” Terakhir, giliran adik perempuannya yang langsung memeluk erat kakak laki-lakinya. Sangat terlihat jelas, hubungan baik antar keduanya.

Setelah mereka semua menyelamati Raka, secara refleks mereka semua menoleh tipis ke arah Rinjani, seakan bertanya “Siapa perempuan ini?”, meski nyatanya tidak, mereka semua tentu sudah tau dan mengenal Rinjani, meski tidak secara langsung.

“Yah, Mah, Lan, kenalin ini Rinjani, pacar Raka.” Ucap Raka.

Dengan sedikit terbata-bata, Rinjani memperkenalkan dirinya, “Halo, Om, Tante, Bulan, saya Rinjani.”

Inilah saat-saat yang sangat ditakuti Jani, yaitu saat-saat menunggu respon orang tua Raka terhadapnya.

Lelaki paruh baya di hadapannya berjalan maju ke arahnya, “Halo Rinjani, yang mungkin sudah lupa saya?” Sambil tangannya mengulur ke arahnya.

“E-eh? G-gimana maksudnya Om?” Sambil tangannya membalas salam dari ayah Raka.

Yang ditanya tidak menjawab, hanya menjauh sambil melemparkan senyuman hangat.

Belum sempat memproses keadaan, kini giliran sang ibunda yang berjalan menghampiri Jani, namun betapa terkejutnya, perempuan itu memeluk anak gadis di samping Raka yang justru diam mematung.

“Halo Rinjani, tante senang akhirnya kesempatan untuk bertemu kamu secara datang juga. Terima kasih ya nak, sudah bertahan sejauh ini.” Ucap sang ibunda sambil mengelus punggung Rinjani lembut.


“Udah sekarang jawab jujur, ini baju sama daleman siapa?” Wajah Raka sangat serius. Ia sudah mengenakan pakaian kering yang diberikan Jani.

“Itu punya Dika,”

“Ngapain punya Dika sampe sini? Dia pernah nginep disini? Ngapain?!”

“Ih dengerin dulu! Baru baikan udah ngomel-ngomel aja!” Kini giliran Jani yang mengomel. “Itu kado sidangnya dia besok, dia request minta dibeliin baju sama daleman merek itu. Liat aja tuh tag-nya baru aku lepas.”

Benar, Raka melihat ada box dan tag dari baju yang sekarang sedang ia gunakan di meja.

“Lagian cowo ada-ada aja sih mintanya, pake daleman segala. Emang aku emaknya apa!” Ujar Jani sinis.

“Besok aku tendang pantatnya.” Balas Raka.

Keduanya lantas diam sama-sama canggung, kehabisan percakapan, sama-sama bingung apa yang biasanya orang-orang bicarakan setelah sekian lama tidak bertemu.

Mereka terlihat seperti anak laki-laki dan perempuan yang baru saja bertemu dan jatuh cinta. Perasaan yang dulu pernah ada, kembali menyeruak masuk ke dalam hati.

“Sini...” Raka tiba-tiba membuka percakapan.

“Kenapa?”

“Bajuku udah nggak basah, jadi peluk nggak?”

Wajah Jani langsung memerah, “Ih!! Aku kan tadi cuma refl-” Raka tidak mempersilahkan Jani untuk menyelesaikan kalimatnya, ia pun sudah setengah mati rindu ingin memeluk perempuannya.

“Aku juga kangen banget sama kamu.” Ucap Raka sambil memeluk Jani dengan erat.


Hari itu, Rinjani seharian tidak melepas pandangan dan jemarinya dari Adraka. Mereka sama-sama saling menceritakan hal-hal yang selama ini saling mereka lewatkan. Hari itu juga Jani tau, alasan kenapa saat itu Raka meninggalkannya. Tumpah ruah seluruh air matanya, merasa bersalah karena selama ini berpikiran bahwa ialah yang paling tersakiti.

“Dari dulu aku nggak pernah berniat buat ninggalin kamu, tapi aku terpaksa ngelakuin itu biar kamu nggak kenapa-kenapa.” Jelas Raka.

Jani yang bersender di bahu Raka hanya bisa menangis mendengar semua cerita Raka, “Tapi kan kamu bisa bilang ke aku! Aku juga pasti bakal nunggu kamu,”

“Aku waktu itu juga nggak bisa ngejanjiin apa-apa Jani, aku juga belum yakin kalo suatu saat bisa balik ke kamu. Egois banget rasanya kalo aku nyuruh kamu tetep nunggu aku, sedangkan akunya sendiri belum yakin.”

“Maafin akuuuuuuu...” Jani malah semakin menjadi tangisnya.

Raka menarik Rinjani ke dalam pelukannya, “Udah, nggak usah nangis yaa... Kan sekarang akunya udah disini, udah nggak akan kemana-mana lagi. Aku bakal ngelindungin kamu, ngejaga kamu dari deket, dan pastinya nyayangin kamu sepenuh hati,”

“Sekarang kalo ada apa-apa, balik ke aku lagi ya ngadunya. Tugas Dika jagain kamu udah selesai. Rakanya Jani udah balik.” Ucap Raka seraya mengelus surai Jani.

Sore itu hujan mengguyur tubuh Raka yang berdiri mematung di luar gerbang kos milik Rinjani, yang bisa ia lakukan hanyalah terus menerus mengirimkan pesan kepada Rinjani, sambil berharap perempuannya itu setidaknya mau menerima maafnya.

Semua emosi sudah memuncak, membuat Raka akhirnya mengeluarkan kata-kata yang selama ini sangat ingin ia sampaikan.

Di sisi lain, Rinjani termangu mendapat pesan yang tidak ia sangka-sangka, saat itu juga seluruh amarah, kecewa, dan sedihnya luruh, ia sudah tidak bisa menahannya.

Rinjani keluar dari kamarnya dan berlari sambil menghapus air matanya.

Laki-laki yang ia lihat dari kejauhan masih memegang ponselnya tajam, masa bodoh dengan hujan yang semakin deras. Yang ada di pikiran laki-laki itu hanyalah mengharapkan adanya pesan balasan darinya. Saat itulah akhirnya ia mendapat jawaban, ia mendengar dari kejauhan seorang yang berlari dari dalam gedung dan menembus hujan, menuju ke arahnya.

Rinjani berlari ke arah Adraka sambil membawa payung, lelaki di depannya itu menyambutnya dengan senyum hangat. Rinjani ingin sekali memeluk Raka, namun saat Rinjani maju mendekat, Raka justru mundur selangkah, “Bajuku basah banget...”

Hhh... benar kata Dika, Raka bodoh soal percintaan.

“Kamu kenapa batu sih! Kenapa nggak pernah dengerin kalo aku ngomong! Kenapa hujan-hujanan! Kalo sakit gimana?” Rinjani mulai mengomel sambil menangis sesegukan. Sekaligus malu.

“Kamu mau marahin aku atau mau nangis? Pilih salah satu.” Ucap Raka sambil menundukkan badannya, menyetarakan wajahnya dengan wajah Rinjani.

Dilihatnya dalam-dalam wanita di depannya itu, sudah sangat lama sejak terakhir kali ia bisa melihat cantiknya wajah perempuannya dalam jarak sedekat itu.

“Aku mau minta maaf sama kamu, soal kemarin, soal selama ini.”

Rinjani semakin menjadi-jadi, ia tidak butuh kesalahan Raka yang terdahulu, dengan adanya Raka di hadapannya saja ia sudah sangat bersyukur.

“Ayo ganti baju dulu, jangan disini terus.” Ajak Rinjani.

Raka menghapus air mata Jani, “Udah terlanjur basah semua sampe dalem-dalem, aku harus pulang dulu.”

Rinjani menatap Raka, memasang wajah cemas takut kalau Rakanya tidak akan kembali lagi. Rasanya berpisah selama 4 tahun membuatnya ingin menghabiskan hari-hari hanya bersama Raka.

“Aku ada baju ganti kok buat kamu, daleman cowo juga aku punya!” Ucap Rinjani dengan polosnya.

Raka terkejut mendengar ucapan Jani, “Punya siapa! Kenapa kamu punya daleman cowo!!!”

Sebelum Raka banyak bicara Jani sudah lari duluan masuk ke dalam kosnya, dan di ikuti Raka yang mau tidak mau juga mengekor di belakangnya karena rasa penasarannyaa.

Setelah mendengar kabar dari Dika, Raka langsung melajukan mobilnya melesat melewati ramainya kota malam itu. Meskipun apartement Raka tidak jauh, namun keramaian malam itu terbilang sulit untuk di tembus.

Sepanjang jalan Raka terus menerus menelpon Rinjani, namun tidak ada balasan sama sekali dari perempuannya. Raka hanya bisa berteriak frustasi dalam mobilnya, merasa tidak berdaya di kemacetan tersebut.

Ia berpikir bahwa dengan adanya dia di dekat Rinjani, mungkin akan membuat perempuan yang ia sayangi itu menjadi aman. Namun ternyata tidak, bagaimana bisa Raka melindungi Rinjani ketika ia saja selalu bimbang ketika ingin menghubungi Rinjani kembali.

Setelah berhasil menembus kemacetan, Raka langsung memarkirkan mobilnya asal dan masuk ke dalam bar tersebut, ia mencari ruangan yang sebelumnya sudah di kirim oleh Dika.

Tanpa basa-basi setelah ia menemukan ruangan tersebut, ia langsung membuka paksa ruangan di depannya, dan ia mendapati hatinya terasa sakit sekaligus marah. Wanita yang selama ini ingin ia jaga sepenuh hati sedang berada di samping laki-laki brengsek yang menggodanya.

“Kak Raka?” Jani sangat terkejut melihat Raka di depannya, ia langsung menangis dan hendak berdiri, namun tangannya di tahan oleh Randy.

“Lepasin dia, selagi gue masih ngomong baik-baik.” Ucap Raka yang masih berdiri di ujung pintu.

“Lo siapa? Ada urusan apa disini?”

Raka yang sudah kehabisan kesabaran karena kemacetan tadi tidak lagi berbasa-basi, ia maju menaiki meja marmer di hadapannya dan langsung menendang wajah Randy.

Laki-laki itu lantas tak sadarkan diri, Raka benar-benar menendang wajah Randy tepat di wajahnya menggunakan sepatu boots lapangannya. Genggaman tangan Randy dengan Rinjani terlepas, dan Raka langsung menarik Rinjani keluar dari ruangan tersebut. Namun ternyata tidak semudah itu, kacung-kacungnya masih punya nyawa untuk meladeni Raka. Salah seorang teman Randy menghalangi Raka dan Rinjani di depan pintu.

“Gue udah nggak ada tenaga banget buat ngeladenin lo semua, jujur. Mending udah ya, sebelum gue sebar foto lo semua dan sampe ke dekan rektor univ lo?” Ucap Raka sambil mengambil gambar para penjahat tersebut.

“Gue tau lo semua udah di tahap akhir kan? Dari pada usaha lo selama ini ancur karena kasus ini kesebar? Gamau kan lo?”

Yang awalnya Raka berpikiran akan menjadi malam yang panjang untuk meladeni segerombolan nyamuk ini ternyata salah, mereka tidak sebernyali itu. Dengan sedikit ancaman dari Raka, nyali mereka menciut dan kembali terduduk.


Raka langsung membawa Jani menuju mobilnya, dan meninggalkan daerah tersebut. Keduanya tidak berbicara sama sekali, Jani yang menahan tangisnya dan Raka yang masih dengan pikiran yang panas.

Setelah menembus keramaian kota, mereka akhirnya sampai di depan kost Jani. Raka sadar bahwa seharusnya ia menanyakan keadaan Rinjani terlebih dahulu, namun karena emosinya ia hanya berdiam diri sepanjang jalan.

“Maaf, aku kebawa emosi.” Raka menghadapkan diri ke arah Rinjani. “Kamu gapapa?”

Tangis yang sedari tadi ia tahan akhirnya lolos, “Aku takut banget...”

Raka langsung menarik Jani ke dalam pelukannya, dan Rinjani menangis sejadi-jadinya. Saat ini pikiran Rinjani sedang kusut dibuatnya, disamping ia masih gemetar karena kejadian tadi, ia juga merasa bahagia bahwa ada Raka di sampingnya.

“Maafin aku ya, nggak bisa jagain kamu.” Ucap Raka sambil mengelus rambut Jani.

Jani tak menjawab apa-apa, kehadiran raka sudah cukup baginya.

Setelah dirasa cukup tenang, Jani melepaskan pelukannya dan menghapus air mata yang sudah membasahi baju Raka.

“Kamu gapapa kan? Nggak ada yang luka?” Tanya Raka memastikan.

Jani hanya menggeleng, nafasnya masih tersenggal karena tangisannya.

“Aku takut...” Jani memberanikan diri berbicara.

“Kamu lagian kenapa bisa-bisanya kesana? Kamu kan tau sendiri kena asap rokok aja kamu nggak bisa? Ini pake segala mau-mau aja diajak ke tempat kaya gitu?!”

Jani menoleh ke samping, “Kamu pikir aku mau ke tempat gituan?! Aku dipaksa sama dia! Aku udah nolak berkali-kali, tapi aku takut! Aku nyoba buat ngehubungin Dika siapa tau dia bisa bantu aku, tapi nggak bisa di hubungin! Setiap aku mau pergi, aku selalu di tahan sama dia! Dan kamu masih bisa bilang aku mau-mau aja diajak ke tempat kaya gitu?”

“Nggak, ak-”

“Kamu nggak tau apa-apa tapi bisanya selalu nyalahin aku, dari dulu kayaknya emang aku nggak pernah bener ya di mata kamu! Sampai dengan gampangnya kamu ninggalin aku secara sepihak tanpa kejelasan?”

Jani yang tersulut semosinya langsung keluar dari mobil meninggalkan Raka diiringi tangisan yang semakin menjadi-jadi. Sedangkan Raka sangat merasa bersalah telah berbicara tanpa pikir panjang yang menyakiti hati Jani.

“Kak Ren, ini mau kemana ya?” Jani bertanya ketika keduanya sudah berada di sebuah jalan utama yang dipadati hotel-hotel.

“Udah tenang aja, urusan gue bentar doang kok.” Ucap sang kakak tingkat.

Sejujurnya Jani sudah tidak merasa enak, sejak ia diperingati oleh Dika tempo hari, ia jadi merasa lebih was-was.

Mobil yang dikendarai oleh Randy melesat jauh melewati jalanan kota, hingga akhirnya Randy menghentikan mobilnya di salah satu bangunan yang di depannya banyak berjejer mobil-mobil lainnya.

“Rin ikut turun yuk,” ajak Randy.

Rinjani merasa tidak nyaman, bagaimana tidak kini di depannya adalah salah satu bar terbesar di kota itu, dan bar bukanlah suatu tempat yang ramah baginya.

“Duh, nggak usah deh kak. Aku disini aja ya nunggu,” Jani menolak dengan baik.

“Yah masa gitu sih, udah ikut aja, nanti proposal lo gue bantuin sampe selesai. Gue punya salinan proposal temen gue yang satu permasalahan sama lo,” Randy masih memaksa.

“Maaf kak, tapi sebelumnya aku belum pernah ke tempat-tempat kaya gini,”

“Nah yaudah pas tuh, sekarang gue kasih tau di dalem ada apa aja.”

Jani sudah kehabisan alasan, ingin sekali rasanya ia menelepon Dika untuk minta di jemput, namun karena panik, Jani hanya bisa berdiam diri dan tidak melakuka apa-apa.

Randy sudah keluar dari mobil, dan kini menghampiri Jani dan membuka pintu mobilnya. Jani yang masih ragu hanya berdiam diri. Randy terus menerus meyakinkan Jani agar mau ikut dengannya. Kedua tangan Randy bersangga pada kedua lututnya, mendekatkan diri ke arah Jani.

“Sebentar aja kita masuk, kalo lo nggak nyaman, nanti kita pindah deh.” Ujar Rendy meyakinkan.

Jani yang sudah tidak ada kata-kata menolak akhirnya turun dan mengekor di belakang Randy.

Mereka berjalan masuk menuju salah satu meja yang sudah diisi oleh beberapa orang laki-laki yang disampingnya ada perempuan-perempuan berbaju cukup terbuka.

Jani yang tidak tau harus apa hanya duduk dan melihat ke sekeliling, melihat para perempuan yang duduk di samping laki-laki yang diketahui adalah teman-teman Randy dengan tatapan yang canggung.

“Rinjani emang nggak pernah ke bar kaya gini ya?” Tanya Viktor salah satu teman Randy.

“Oh nggak, nggak begitu suka.” Ucap Jani setengah berteriak, karena suasana di salam sangat bising.

Selama disana Randy bukannya menemani Jani, ia malah asik mengobrol dengan teman-temannya dan meninggalkan Jani sendirian di ujung kursi.

“Kak, aku ijin ke toilet sebentar ya.” Ijin Jani kepada Randy.

Jani berhasil kabur, setidaknya untuk sementara, karena kabur pun tidak bisa, tas dan berkas-berkasnya ia tinggal di mobil Randy. Setelah ia masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi, ia langsung mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menelpon Dika. Namun sayangnya, Dika tidak bisa di hubungi sama sekali, sepertinya ponselnya mati.

“Duh... gue minta tolong siapa...” Gerutu Jani dalam hati.

Terlintas nama Raka di layar ponselnya, sebenarnya pilihan itu patut untuk di coba, siapa tau Raka bisa menolongnya keluar dari sini. Tapi hanyalah tapi, Jani tidak memiliki keberanian untuk menghubungi Raka terlebih dahulu.

Saat sedang menimbang-nimbang haruskah ia menelpon Raka atau tidak, tiba-tiba ponselnya berdering, Randy menelpon. Rupanya kakak tingkatnya itu sudah menunggu di depan toilet.

“Kenapa lama banget? Gue tungguin dari tadi tau...” Ucap Randy setelah bertemu Jani.

“Eh? Maaf kak, tadi agak antri.”

“Yaudah ayo, kita mau pindah ke ruangan atas.”

Jani sudah merasa tidak nyaman disana, selain ia tidak nyaman dengan suara yang keras, asap rokok sudah membuatnya sedikit sesak.

“Kak, kayaknya aku mau pulang aja deh. Kita reschedule aja bimbingannya, boleh nggak?” Ucap Jani.

“Loh? Kenapa? Bentar lagi ya, di atas enak loh nggak seberisik disini.” Randy masih mencoba menahan Jani.

“Duh, gimana ya kak?”

Jani adalah manusia paling bodoh ketika harus menolak tawaran, ia selalu saja merasa tidak enak dan sungkan untuk menolaknya.

“Setengah jam deh, kita beneran keluar. Oke?”

Tanpa menunggu jawaban dari Jani, Randy langsung menarik tangannya untuk mengikutinya. Sepanjang jalan menuju ruangan yang dituju, Jani mencoba menghubungi Dika berkali-kali, tapi tetap saja, tidak ada jawaban.

Hingga sudah di depan pintu ruangan, Jani menyempatkan untuk mengirim pesan kepada Dika, takut membayangkan di dalam ia tidak bisa menghubungi Dika kembali.

Setelah mendapat pesan dari Jani, Dika langsung membangunkan Raka, yang kini sedang menumpang tinggal sementara di kosnya.

“Woy!” Dika menendang pelan kaki Raka.

“Emmm…” Raka tidak bergeming, hanya bersuara

“Ini Jani,”

Sedetik kemudian nyawanya langsung penuh, duduk tegak menghadap Dika menampakkan wajah berantakannya.

“Mana?” Tanya Raka.

“Ya di kosannya lah…”

Raka hanya melemparkan tatapan sinisnya, “Lu kalo mau bercanda ntar dulu ya, gue masih ngantuk banget sumpah.” Lalu ia melanjutkan tidurnya.

“Ini anaknya minta jemput gue, motornya mogok lagi. Gimana nih?”

Raka bangun kembali dari tidurnya, kini ia seratus persen telah tersadar.

“Yaudah jemput lah.” Ujar Raka.

“Katanya sekarang Jani udah mau lu jagain sepenuhnya? Giliran suruh gerak malah nyuruh gue?” Dika mengomel.

“Ya maksud gue besok gitu, ini gue mesti harus adaptasi dulu lah minimal.”

“Udah deh lu majuin aja tuh proses-proses lu, keburu Jani di gebet orang lu ntar depresi lagi. Ini ada kating fakultasnya dia yang kayaknya lagi balik deketin dia lagi, malah sekarang jadi asdos penyusunan proposalnya pula,” Jelas Dika.

Raka yang mendengarnya menjadi bimbang, sepertinya untuk kembali lagi seperti dulu akan terlihat sulit, mengingat tempo hari saat keduanya bertemu saja Jani menghindari Raka.

“Dah lu jangan banyak mikir, kasian ntar anaknya telat juga. Gue mau berangkat duluan, kelas gue lima menit lagi,” Dika melenggang keluar kamarnya.

“Jangan lupa kunci ya!”

Raka masih teduduk termenung, memikirkan apa yang harus ia lakukan, kini ia sudag menggenggam ponselnya, siap menghubungi Rinjani.

Kepulangan Raka kali ini banyak terjadi perubahan, terutama sang Ayah. Biasanya Ayah Raka selalu saja menanyakan Raka terkait hal-hal akademiknya saja, seperti bagaimana nilai-nilainya, bagaimana progres penelitiannya, lalu apa yang sedang ia persiapkan untuk kedepannya, namun kali ini tidak.

Obrolan di meja makan jadi lebih ringan, sang Ayah banyak bertanya hal-hal yang sebelumnya tidak pernah iya tanyakan. Bagaimana kehidupannya selama di Jogja, apakah selama kuliah ia merasa kesulitan dalam menjalaninya, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan yang bukan tipe Ayah Raka.

Sampai tiba di suatu malam, saat mereka sedang makan malam, ayah Raka tiba-tiba membahas hubungan Raka dengan Bella, “Gimana kamu sama Bella?” Tanyanya.

Raka yang saat itu sudah tau Bella memiliki kekasih bingung setengah mati untuk menjelaskannya, “Hmm... baik-baik aja kok, yah.”

“Berarti kamu benar-benar menyanggupi permintaan Ayah Bella?”

“Belum tau yah, Raka masih belum memikirkan itu. Lagian juga kita masih sama-sama muda. Masih banyak hal-”

“Tapi saya dengar dia punya pacar lain?” Belum sempat Raka menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba sang Ayah memotong dengan sebuah fakta yang mengejutkan. Raka hampir saja tersedak liurnya sendiri.

“Kok Ayah tau?” Raka menatap Ayahnya bingung.

“Jadi kamu akan tetap sama Bella? Meskipun tau dia sudah punya pacar lain?”

“B-bukan gitu yah...” Raka mulai kebingungan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Ayahnya.

“Kamu ini masih saja tidak punya pendirian, jadi apa mau-mu sebenarnya?” Raka hanya terdiam.

“Lalu gimana dengan Rinjani-Rinjani itu?” Tanya sang Ayah sambil masih menyantap hidangannya.

Kali ini wajah Raka terangkat, mendengar nama itu keluar dari mulut Ayahnya membuatnya terkejut.

“Raka udah nggak pernah berhubungan sama dia lagi yah! Ayah kan udah janji sama Raka! Kalo Raka ikutin apa mau Ayah, Ayah nggak akan ngapa-ngapin Jani?!” Nada bicaranya mulai meninggi.

Kini giliran sang Ayah yang menatap sang anak, “Kamu tuh jadi lebay sekali ya, saya kan cuma nanya. Nggak ada saya bilang mau ngapa-ngapain dia?!”

Raka menyadari, responnya memang sangat berlebihan.

“Maaf yah,”

“Gimana kabarnya?”

Kini tidak hanya Raka, namun seisi meja, yaitu sang Ibu dan anak perempuannya pun ikut terkejut. Yang ditanya hanya diam termanggu.

“Saya tanya kamu, gimana kabarnya?”

“O-oh? Nggak tau yah, tapi kayaknya baik.”

Sang Ayah tertawa kecil, “Benar rupannya, kamu tidak tau apa-apa tentang dia.”

“Apa maksudnya, Yah? Ayah beneran nemuin Jani???”

“Sudah, habiskan dulu makananmu. Jangan membuat keributan di meja makan!”

“Yah!!”

Sang Ayah hanya diam melanjutkan makannya, meninggalkan Raka yang masih penasaran dengan ucapan sang Ayah Terakhir.


“Yah...” Raka menghampiri Ayahnya ketika sedang merokok di halaman depan rumahnya, lantas duduk di sampingnya.

“Mau nanya apa kamu?”

“Ayah beneran nyamperin Jani kaya dulu Ayah nyamperin pacar mas Habil?”

“Kalo saya bilang nggak juga kamu nggak akan percaya kan?”

“Tapi gimana Ayah bisa tau keadaan Jani?”

flashback

“Maaf bu, karena penerbangan kali ini full pax, jadi kita tidak bisa memindahkan ibu ke kursi lain.” Ujar salah satu pramugari di dalam pesawat.

“Tapi anak saya masih kecil mba, nggak mau di pisah. Nanti kalau nangis malah nggak enak sama penumpang lain.” Ujar salah seorang ibu yang kursinya terpisah oleh sang anak.

Tiba-tiba salah seorang perempuan bangun dari kursinya, “Ibu di kursi saya aja, biar saya yang pindah ke kursi ibu.”

Rinjani bangun dan pergi menuju kursi milik ibu tadi, diantar oleh pramugari tadi. “Silahkan kak, kursi 19F di ujung ya kak.”

Setelah mendapatkan kursi pengganti Rinjani langsung duduk, selang beberapa menit ada seorang pria paruh baya yang duduk di sampingnya. Ia menyadari, bahwa pria tersebut merupakan pria yang sejak di ruang tunggu memperhatikannya.

Ia semakin merasa tidak nyaman dan langsung menghubungi Dika, namun karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk ia pindah tempat duduk, akhirnya dengan berat hati Rinjani hanya sibuk melihat ke luar jendela disampingnya.

Sampai take off, semua terlihat baik-baik saja, para pramugari mulai membagikan snack dan minuman kepada penumpang. Jani yang sedang pura-pura tertidur, dibangunkan oleh pria di sebelahnya, “Mba...mba...”

Ternyata lelaki paruh baya tadi membantu pramugri yang ingin menawari Jani minuman, diselimuti kecanggungan, Jani hanya berusaha bersikap senatural mungkin.

“Kamu kuliah di Semarang, Mba?” Lelaki tersebut membuka pembicaraan.

Jani yang terkejut menoleh, “E-eh? Iya Pak, saya kuliah.”

“Sudah kuliah semester berapa?”

Percakapan berlanjut, suasana canggung diantara keduanya sudah hilang. Mereka saling berbagi cerita dan pengalaman sampai lelaki tersebut bertanya, “Itu foto di ponsel mba, pacarnya ya?” Secara reflek Jani mengambil ponsel yang ia letakkan di meja kecil di depannya.

“Ahh... hahaha, bukan Pak, cuma temen aja.” Ucapnya canggung.

“Wah temennya beruntung banget punya temen kaya kamu, sampai di jadikan wallpaper...” Ledek bapak tersebut.

Jani ikut tertawa, jawabannya tidak masuk akal memang, “Sebenernya bukan temen juga sih Pak, ini cowo yang pernah saya sayang, dan masih sampai saat ini hehehe...”

Entah dari mana keberanian itu muncul, Jani memulai bercerita tentang kisahnya dengan orang yang baru ia temui dan sempat ia curigai awalnya.

“Loh? Kamu suka sama dia tapi nggak pacaran kenapa? Dia nggak suka sama kamu?”

Jani tertawa kecil, menyadari realita pahit itu, “Hmm... kayaknya sih gitu Pak, sekarang dia udah punya pacar juga, tapi saya aja yang belum bisa ngelupainnya.”

“Emang dia udah ngelakuin apa aja sampai kamu nggak bisa lupain dia?” Tanya si Bapak penasaran.

“Hmm... banyak banget, kita dulu waktu SMA pernah deket, tapi entah kenapa tiba-tiba dia ngejauh dari saya. Kita udah nggak pernah berhubungan lagi setelah dia nyuruh saya buat nggak nunggu dia...”

Menceritakan hal tersebut membuat memori masa lalunya yang kelam kembali muncul, rasa sakit yang begitu dalam ia rasakan kembali terkuak.

“Tapi kenapa kamu masih sayang sama dia?”

Jani terdiam, mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.

“Karena cinta?”

Kini giliran Bapak itu yang terdiam, mendengar jawaban dari perempuan cantik di sampingnya ini membuatnya merasa berat hati.

“Meskipun saya tau dia sudah punya yang lain, tapi jujur, di dalam hati saya yang terdalam, saya masih berharap banyak sama dia, Pak. Saya percaya kalau suatu saat dia akan balik lagi ke saya” Lanjut Jani.

“Karena entah segimanapun cara saya buat lupa sama dia, pada akhirnya saya selalu gagal. Lagi-lagi saya jatuh cinta sama dia. Sampai akhirnya saya merasa lelah untuk berusaha terus-menerus melupakan dia, dan akhirnya saya hanya bisa menerima semua keadaan ini,”

“Saya tetap hidup ngejalanin apa yang saya hadapi, tanpa berusaha buat lupain dia.”

“Maaf ya nak, saya tidak tahu ada perempuan sebaik dan setulus kamu.” Ucap sang Bapak.

“Loh? kok Bapak yang minta maaf sih? Hahahah. Emang Bapak salah apa?” Jani terheran mendengar ucapan sang Bapak.

flashback end


“Saya pikir selama ini dia tidak pernah baik-baik saja, saya tau dari suaranya yang bergetar saat menceritakan sosok laki-laki di wallpaper ponselnya.” Ucap Ayah Raka.

”...” Raka terkejut dengan cerita sang Ayah.

“Saya tidak pernah menyesal mendidik kamu dengan keras selama ini, karena saya mendidik kamu dengan keras bukan tanpa alasan, saya paham betul apa yang saya lakukan,” Sang Ayah menghela nafasnya.

“Tapi jujur, saya menyesal pernah mengambil keputusan yang mungkin membuat orang lain menanggung akibatnya. Mungkin karena keputusan saya, beberapa tahun terakhir ini tidurnya tidak pernah tenang, tawanya digantikan oleh tangis,”

Ini adalah kali pertama, Ayah Raka berbincang terbuka dengan Raka sepeninggal Habil, sang anak sulung.

“Sekarang, saya pikir kamu sudah dewasa, sudah bisa bertanggung jawab dengan hal-hal bodoh yang mungin akan kamu lakukan kedepannya. Jadi, silahkan ambil komando hidupmu sendiri, detik ini juga saya lepaskan seutuhnya.”

Air mata Raka lolos begitu saja, ia tidak kuat menahan tangis bahagia atas hal yang beberapa tahun terakhir ia perjuangkan mati-matian. Terbayar sudah semua penantiannya.


Seminggu setelah insiden Jani yang tiba-tiba dihubungi kembali oleh Raka membuatnya tidak tenang selama berada di rumah, sepanjang hari ia uring-uringan memandangi room chat miliknya dan Raka.

Niatnya untuk berlibur dan membenahi kembali pikirannya berantakan total, Jani justru semakin tertekan. Selama liburan singkat itu ia hanya sekali bertemu dengan Mila dan Axel, karena keduanya juga sudah mulai masuk kuliah terlebih dahulu membuat waktunya untuk bermain dengan sahabatnya tersebut menjadi sangat sulit.

“Kak, kamu liburan kok malah di rumah mulu sih? Bukannya main gitu kemana?” Ujar sang ibu di sela-sela kegiatan bercocok tanam di kebun rumahnya.

“Ya liburan emang mesti pergi kemana gitu? Kan aku pulang cuma mau istirahat doang...” Jani beralasan.

“Ya kamu aneh deh kak, kalo cuma mau guling-guling rebahan kaya gitu doang itu mah di kosan kan bisa?”

“Mamah gimana sih, kemaren Jani nggak pulang nyuruh-nyuruh pulang. Sekarang Jani udah pulang malah suruh balik ke kosan! Jadi Jani harus kemana nih?”

Sang ibu hanya terdiam, melanjutkan memupuk tanaman di depannya.

“Kakak besok kereta jam berapa?” Sang ayah mengalihkan pembicaraan.

“Jam 7 malem yah,”

“Yaudah besok yayah anter ya, sekarang mau jalan-jalan sama yayah nggak kemana gitu?”

Jani yang moodnya mudah memburuk setelah insiden dengan Raka menjadi malas untuk berbicara, “nggak yah, Jani mau ngerjain proposal aja di kamar.” Ujar Jani lantas pergi masuk ke kamarnya.

Bella dan Raka adalah seorang anak yang sejak kecil selalu hidup berdampingan, Bella yang merupakan anak tunggal dari sepasang suami istri sering kali di titipkan ke rumah Raka. Meskipun Bella memiliki pengasuh, namun tetap saja ia selalu merengek minta diantarkan ke rumah keluarga Raka.

Kedua orang tua mereka merupakan teman lama, jadi tidak heran lagi kalau hubungan dua keluarga tersebut terbilang sangat baik.

Meskipun sejak dulu mereka tumbuh kembang bersama, namun bukan rahasia lagi kalau hubungan keduanya memang tidak sebaik yang diperkirakan. Setiap bertemu, mereka selalu saja berantam. Di rumah Raka, Bella diperlakukan seperti bagian dari keluarga itu oleh semua orang, kecuali Raka.

Saking seringnya berantam, setiap ada pertemuan antara kedua keluarga, salah satu Ayah selalu saja ada yang bilang, “Udah lah, kalo berantem terus besok di jodohin aja ini berdua. Biar berantemnya makin seru.” Yang di balas dengan tatapan sinis dari kedua anak tersebut.

Namun siapa sangka, ucapan yang tadinya hanya sebagai bahan bercandaan oleh kedua keluarga tersebut berakhir dengan pembicaraan yang serius.

Semua bermula saat Bella masuk SMA, saat itu ibunda Bella di diagnosis mengidap Leukemia. Bella belum diberitahu sama sekali oleh keluarganya, namun Raka tau terlebih dahulu.

Saat itu kedua orang tua Bella datang ke rumah keluarga Raka untuk memberikan informasi tersebut. Ayah Bella meminta tolong kepada keluarga Raka untuk membantu menjaga Istrinya dan Bella karena Ayah Bella yang saat itu masih bekerja sebagai Nahkoda kapal kargo, dan mengharuskan beliau untuk pergi meninggalkan rumah berbulan-bulan.

Ayah Bella juga menyampaikan sebuah pesan yang bisa dibilang sebagai sebuah wasiat, karena mereka tidak bisa menjamin kesehatan ibunda Bella akan membaik, meskipun mereka juga tetap berusaha dengan sekuat tenaga, juga pekerjaan Ayah Bella yang sangat beresiko tinggi, membuat mereka harus menyiapkan segala kemungkinan yang akan mereka hadapi.

Ayah Raka menyampaikan pesan kepada Raka, “Nak Raka, Om tau, mungkin ini bukan hal mudah yang harus kamu dengar di usia kamu yang masih remaja ini, tapi Om minta maaf terlebih dahulu, karena Om nggak tau harus mengatakan ini ke siapa lagi,”

Raka yang saat itu belum mengerti banyak hal hanya diam mendengarkan, “Boleh Om menitipkan Bella ke kamu? Om tau, kamu dan Bella tidak berhubungan baik satu sama lain, tapi diantara semua orang, cuma kamu yang kenal Bella dengan baik,”

“Jadi, kalau sampai nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menimpa Om atau Tante, boleh Raka bantu jaga Bella? Sebenarnya Om sangat berharap kamu bisa berhubugan baik dengan Bella sampai kedepannya, tapi Om juga nggak akan memaksa kamu,”

“Jadi, minimal tolong jaga dan temani Bella sampai sekiranya dia bisa memilih jalan terbaikknya sendiri.”

Namun Raka juga tidak sebodoh yang dikira, dia tau kalau kedua keluarga ini secara tidak langsung sedang menjodohkan dirinya dengan Bella. Sesuatu hal yang tidak pernah terbayangkan sedikitpun oleh Raka. Dan mau tidak mau, karen tidak adanya kekuatan yang ia miliki, jadi Raka hanya mengiyakan permintaan dari keluarga Bella.

Selama SMA sampai kuliah, Raka benar-benar menjaga Bella secara diam-diam. Ia tidak ingin dirinya dan Bella sama-sama memiliki perasaan satu salam lain. Namun siapa sangka, Bella tidak bisa menahan perasaannya, ia menyukai Raka sebagai lelaki.

Bella menyukainya dalam diam, karena dia tau kalau Raka tidak menyukai dirinya. Oh iya! Bella juga sudah tau kalau dirinya dijodohkan dengan Raka setelah mamahnya memasuki fase yang kritis, saat Bella menaiki kelas 2 SMA.

Hubungan (perjodohan) mereka berjalan sampai mereka kuliah, dan saat Bella juga menyusul Raka kuliah di kota yang sama saat itulah Bella mulai mengetahui sisi Raka yang selama ini tidak ia tahui. Raka terlihat sangat berantakan, hidupnya terlihat sangat kacau dan ia tau penyebabnya. Selain karena Ayahnya, ia juga jadi salah satu penyebabnya.

Karena dirinya, Raka terpaksa harus menjauhi perempuan yang ia cintai.