END
Raka yang sedang menghisap sebatang rokok di taman hotel tempat mereka menginap langsung mematikan rokoknya dan berlari menuju kamar yang ditempati oleh adiknya dan Jani. Mendengar bahwa kekasihnya menangis setelah berbincang dengan sang ibunda membuatnya panik.
Pasalnya yang ia ketahui, sang ibunda sangat menyetujui hubungannya dengan Jani, maka mendengar kekasihnya menangis membuatnya bertanya-tanya.
tok tok
Sesampainya di depan kamar, Raka langsung mengetuk pintu kamar Rinjani. “Jan... ini aku...”
Selama beberapa detik pintu itu tidak kunjung dibukanya, “Sayang, boleh masuk nggak? Bukain dong...”
Tidak ada jawaban dari pemilik kamar, sampai semenit lewat Raka terus-terusan mengetuk pintu dan mengirim pesan ke Jani.
“Kamu kenapa?” “Kata Bulan kamu nangis? Kenapa?” “Cerita sini sama aku”
Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya Rinjani membuka pintu kamarnya. Raka langsung melesat masuk, menemukan perempuan itu bersembunyi di balik selimutnya.
“Ay, kamu kenapa?” Raka menghampiri Jani dan duduk di pinggir kasur.
Rinjani tidak menjawabnya, hanya menggelengkan kepalanya kecil.
“Liat aku dulu sini, kamu kenapa nangis? Mamah marahin kamu? Atau ada kata-kata mamah yang nyakitin perasaan kamu?”
Kini ia bersuara, menyangkal semua pertanyaan Raka, “Enggak, mamah kamu nggak ngapa-ngapain aku, nggak marahin aku juga.” Ucapnya dengan suara yang bergetar. Rinjani masih menangis di balik selimutnya.
Raka dengan lembutnya menarik selimut yang menutupi wajah cantik kekasihnya itu, Jani masih menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Raka mendekat, menyingkirkan anak rambut yang masuk menutupi wajah Jani.
“Cerita sama aku ya, biar aku tau kamu kenapa... Kalo liat kamu sedih aku jadi ikutan sedih, apa lagi nggak tau kamu kenapa sedihnya, katanya tadi lagi ngomongin aku sama mamah? Mamah ada cerita soal aku yang nyakitin kamu ya? Kalo iya aku mint-”
Belum sempat Raka menyelesaikan kalimatnya, Rinjani memotong, wajahnya terlihat sangat sembab akibat menangis terlalu lama.
“Kamu nggak salah, yang salah aku!
“Selama ini aku mikir kalo diantara kita berdua aku yang paling tersakiti,”
Raka mendengarkan Jani berbicara dengan seksama, sambil tangannya menghapus air mata yang terus-terusan keluar membasahi wajahnya.
“Tadi mamah kamu cerita kalo waktu kita mulai jauh kamu jadi harus bolak balik ke psikiater, aku ngerasa jahat banget sama kamu, Rak!”
Raka tersenyum manis, “Sayang, dari sebelum kita deket, aku juga udah sering bolak balik psikiater kok. Jadi bukan karena kamu!”
“Ya tapi kan karena aku juga kamu jadi makin parah, sampe mamah nunjukin foto kamu waktu itu kurus banget! Sedangkan aku dulu meskipun nangisin kamu terus tapi makanku tetep lancar! Maafin akuuuuuuu!!!!” Tangisan Jani semakin menjadi.
Raka yang melihat kekasihnya ini justru tertawa, lalu direngkuhnya perempuan di hadapannya ke dalam pelukannya.
“Rinjani sayang, itu bukan salah kamu. Apa yang kita hadapin dulu bukan salah aku atau kamu, emang cinta kita aja yang lagi di uji. Biar kedepannya, kita jadi lebih dewasa untuk nanggepin segala hal,”
Rinjani masih tersedu-sedu di pelukan Raka, dengan lembut Raka masih terus mengelus punggungnya. “Kamu nggak perlu minta maaf sama keadaan yang pernah terjadi, nggak perlu ada yang di sesalin atas kita yang dulu ya sayang. Yang penting sekarang, apapun yang kita hadapin di kemudian hari, harus di selesein bareng-bareng ya,”
“Kamu nggak akan ninggalin aku kan?” Tanya Raka.
Rinjani menggeleng dengan cepat, “Nggak bakal! Aku nggak akan pernah ninggalin kamu apapun alesannya!!!”
“Dah, kalo gitu udah, nggak ada yang perlu dipikirin lagi, aku cuma butuh jawaban itu. Jadi udah ya sayang, jangan ngerasa nggak enak atau apapun.” Ucap Raka sambil mengecup kening Rinjani.
Tidak ada suara lain selain televisi yang dibiarkan menyala, keduanya saling berdiam tanpa berbicara apa-apa. Matanya sama-sama menatap layar televisi tapi tidak dengan pikirannya. Rinjani masih memeluk erat Raka yang kini sudah berbaring di sebelahnya.
“Rak, terus habis ini kamu mau ngapain?” Tanya Jani memecah keheningan.
Raka sedikit terkejut, “Hah? mau ngapain? Nanti Bulan pulang gimana?”
Kini giliran Jani yang mengernyitkan dahi, bangun dan menatap Raka bingung, “Kamu mikir apa sih! Ma-maksud aku tuh hmm itu loh kamu nanti setelah wisuda ini mau ngapain? Planing kamu kedepannya!!! Bukan sekarang mau ngapain!!”
Raka tertawa melihat kekasihnya itu, “Yaudah, nggak usah salting gitu neng...”
Wajah Jani memerah menahan malu, ia lalu bangun dan ingin pergi menjauh dari Raka, namun belum sempat ia terbangun Raka sudah dulu menarik tubuhnya mundur, membuatnya kembali ke pelukan Raka.
“Mau kemana?” Ledek Raka sambil menyolek hidung sang kekasih.
“Jangan ngeledek! Aku malu!” Ujar jani sambil menyembunyikan wajahnya ke dada bidang Raka.
Senyum Raka semakin melebar dibuatnya, “Mikir aku mau ngapain setelah ini nanti dulu ya, biarin hari ini pikiranku isinya kamu doang aja.”
Mendengar itu Jani benar-benar dibuatnya malu, merasakan hatinya berbunga-bunga sampai ingin meledak!
“Terus juga, aku mau nagih kado wisuda aku dari kamu dulu.” Tagih Raka.
Jani yang tidak sempat mempersiapkan apa-apa hanya melihat Raka dengan polosnya, “Yah, maafin aku... Aku nggak sempet nyiapin apa-apa kemaren karena aku mikir mau berangkat kesini aja baru semalem.” Jelas Jani dengan tatapan bersalah.
“Yaudah, yang itu nyusul aja, sekarang yang ada dulu aja...”
Jani clueless, “Hah?”
Raka memiringkan tubuhnya dan menyangganya dengan satu tangan, matanya sempurna menatap Jani, satu tangannya mengusap lembut pipi Jani dan berakhir mengucap sudut bibir Jani.
“Jan, may i?”
Dengan wajah yang semakin memerah, seketika Jani membisu, tidak ada kata-kata yang mampu keluar dari bibirnya, ia hanya mengangguk dua kali dan langsung memejamkan matanya, merasa tidak sanggup menatap mata Raka terlalu lama.
Setelahnya ia dapat merasakan sebuah bibir yang menyentuh bibirnya dengan gentle. Tidak ada paksaan sama sekali.
Tangan Raka perlahan menuju belakang tengkuk Jani, seakan memintanya untuk tetap dan jangan dilepaskan, begitupun dengan Jani, tangannya ia lingkarkan di leher Raka. Seakan keduanya sudah tidak ingin lagi berpisah.
Bagi mereka sudah cukup 2 tahun menjalin hubungan tanpa kejelasan, dan 4 tahun berpisah dengan tidak baik-baik saja, mereka hanya ingin di tahun ke 7 pertemuan mereka, akan menjadi selamanya.
-END